Ini Deretan Ancaman soal Jika Ojol Dilarang Gunakan Pertalite Cs

Jum'at, 29/11/2024 11:22 WIB
Ojek online di Indonesia. (Istimewa).

Ojek online di Indonesia. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Sebagaimana diketahui, pengemudi ojek online (ojol) terancam tidak lagi bisa membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Dia memberi sinyal ojol tidak akan diberi pertalite cs karena merupakan kegiatan usaha.

"Enggak (masuk kriteria). Ojek dia kan pakai untuk usaha. Ojek itu alhamdulillah, kalau motor itu, motor punya saudara-saudara kita (ojol), yang bawa motornya. Tapi sebagian kan juga punya orang yang kemudian saudara-saudara kita yang bawa itu dipekerjakan. Masa yang kayak gini di subsidi?" katanya saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu (27/11).

Meski demikian, Bahlil menyebut pengemudi ojol atau driver masih bisa menerima subsidi apabila memenuhi kriteria.

"Tetapi kita hitung baik-baik, yang jelas bijaksana, untuk bijaksana," imbuhnya.

Tak tinggal diam, para driver ojol pun menanggapi pernyataan Bahlil tersebut. Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia menolak keras rencana tersebut, bahkan mengancam akan melakukan protes secara besar-besaran jika pemerintah benar-benar melarang mereka mengonsumsi pertalite cs.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengatakan pernyataan yang disampaikan Bahlil tersebut menantang para pengemudi ojol.

"Pernyataan yang disampaikan Pak Bahlil ini merupakan pernyataan menantang kami para pengemudi ojol untuk melakukan protes besar terhadap pemerintah, blunder apalagi yang akan disampaikan pemerintah ini?" kata Igun, Kamis (28/11) seperti melansir cnnindonesia.com.

"Tiba-tiba Menteri ESDM menolak ojol sebagai penerima BBM bersubsidi karena bukan angkutan publik, sehingga kami anggap hal ini merupakan hal yang tidak dapat kami terima. Jika sampai ojol tidak dapat menerima atau mengisi BBM bersubsidi nanti, maka pastinya akan terjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia untuk memprotes keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ini," sambungnya.

Lantas tepatkah mendepak ojek online dari daftar penerima subsidi BBM sehingga ojol dilarang mengonsumsi pertalite cs?

Direktur Riset di Bright Institute Andri Perdana menilai langkah Bahlil melarang ojol mendapatkan BBM subsidi karena merupakan kegiatan usaha sangat tidak tepat. Apalagi banyak yang memilih sebagai driver ojol atas dasar keterpaksaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan.

Pemerintah, katanya, perlu mengetahui kondisi perekonomian mayoritas driver ojol saat ini sangat memprihatinkan. Apalagi banyak yang memilih sebagai driver ojol atas dasar keterpaksaan karena minimnya lapangan pekerjaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sambungnya, driver ojol dihitung sebagai "bekerja sendiri" atau self-employed.

"Walaupun dari golongan ini ada sekian persen pekerja yang memiliki pendapatan tinggi, namun secara proporsi hampir seluruh pekerja dalam golongan ini merupakan pekerjaan yang sangat rentan dan berpenghasilan rendah, yang mayoritas berbentuk usaha mikro dan pengemudi ojol tersebut," katanya.

Andri mengatakan mereka yang berada dalam golongan self-employed sering kali tidak memiliki jalan lain karena keterbatasan lapangan pekerjaan.

Mayoritas dari mereka pasti akan memilih pekerjaan formal jika tersedia. Karena itu lah asosiasi pengemudi ojol sejak dulu ingin memperjuangkan status sebagai karyawan dibandingkan self-employed.

"Jadi sangat salah jika Pak Bahlil mengatakan pengemudi ojol ini layaknya pengusaha karena secara praktik mitra ojol ini tidak memiliki daya tawar terhadap perusahaan pengontrak dan berada dalam posisi yang lebih lemah daripada sebagai karyawan formal. Mereka inilah yang paling membutuhkan bantuan subsidi, bukan sebaliknya," katanya.

Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai tak tepat jika pemerintah melarang driver ojol mengonsumsi pertalite cs karena merupakan kegiatan usaha. Apalagi banyak yang memilih menjadi driver ojol karena tidak punya pilihan pekerjaan lain.

"Dan ojol ini tidak pasti pendapatan bulanannya, kadang-kadang mungkin bisa lebih dari UMR, tapi saya yakin itu di bawah UMR karena saking banyaknya jumlah mereka. Sehingga kita memasukkan ojol sebagai pekerja informal. Mereka tidak dapat kepastian status hukum, tidak mendapat jaminan kesehatan, dan lain-lain," katanya.

Karena itu, Rhonny menilai jika driver ojol harus membeli BBM non subsidi seperti pertamax maka akan semakin membebani driver ojol yang rata-rata pendapatannya di bawah UMR. Justru pekerja informal seperti ojol yang seharusnya mendapatkan subsidi dari pemerintah.

"Kalau mereka tidak mendapatkan subsidi menurut saya pemerintah agak keterlaluan juga karena mereka sektor informal, jelas-jelas pendapatannya tidak pasti," katanya.

Rhonny mengatakan pemerintah memang tidak memiliki data siapa yang berhak mendapatkan dan tidak mendapatkan subsidi. Karena itu, pemerintah asal melontarkan pernyataan saja seperti bakal melarang driver ojol mendapatkan BBM subsidi.

"Kalau kita mau kembali ke logika subsidi bahwa orang-orang yang menerima subsidi adalah yang benar-benar dianggap layak, let`s say miskin, keluarkan data miskinnya, lembaga apa yang mengeluarkan, bagaimana metodologi penetapannya, apa kriterianya, kita perdebatkan sehingga setelah disetujui publik itu yang menerima subsidi baru oke," katanya.

Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan subsidi BBM bagi driver ojol sebenarnya bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk masyarakat luas yang menggunakan layanan ini. Karenanya, penghapusan subsidi BBM untuk ojol berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan perekonomian.

Tanpa subsidi, sambungnya, biaya operasional driver ojol akan meningkat drastis dan hampir pasti akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk kenaikan tarif.

"Ini berisiko mengurangi aksesibilitas transportasi murah bagi kelas menengah dan bawah, meningkatkan biaya hidup, dan pada akhirnya menekan daya beli masyarakat yang sudah terhimpit oleh inflasi," kata Achmad.

Lebih jauh, kebijakan ini berisiko mendorong driver ojol keluar dari pasar karena tidak mampu menanggung beban biaya operasional yang tinggi. Ini dapat memicu peningkatan pengangguran di sektor informal, yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di perkotaan.

Karena itu, Achmad menyarankan pemerintah seharusnya tidak serta-merta menghapus subsidi BBM untuk ojol, tetapi justru memastikan subsidi ini lebih tepat sasaran. Subsidi BBM seharusnya diberikan berdasarkan kebutuhan dan kontribusi ekonomi penerimanya.

Menurutnya, kelompok seperti driver ojol, petani, nelayan kecil, dan angkutan umum berpelat kuning adalah contoh penerima yang layak mendapatkan subsidi.

Kelompok tersebut katanya tidak hanya menggunakan BBM untuk kegiatan sehari-hari, tetapi juga untuk mendukung aktivitas produktif yang memberikan dampak langsung pada perekonomian nasional. Mereka berada di garis depan dalam menyediakan layanan transportasi, distribusi barang, dan mendukung ketahanan pangan.

"Sebaliknya, subsidi BBM yang dinikmati oleh kelompok dengan kemampuan ekonomi tinggi justru menciptakan ketimpangan. Kendaraan mewah dengan kapasitas mesin besar, kendaraan dinas, atau kendaraan yang dimiliki oleh perusahaan besar seharusnya tidak mendapatkan subsidi BBM," katanya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar