Analisis Hukum RUU Perampasan Aset yang Tak Kunjung Disahkan
Presiden Joko Widodo meneken surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset pada Jumat (5/5/2023). (Istimewa)
Baru baru ini DPR telah menyetujui 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025-2029, serta menetapkan 41 RUU sebagai prioritas Prolegnas tahun 2025.
Namun RUU Perampasan Aset, yang didesak banyak pihak untuk segera dibahas dan disahkan, hanya masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah alias tidak dimasukkan ke prioritas Prolegnas tahun 2025. Sehingga RUU ini tidak akan dibahas atau disahkan pada tahun 2025.
Terkatung katungnya pembahasan RUU Perampasan Aset sejauh ini memang menimbulkan tanda tanya. Padahal banyak pihak yang mengharapkan agar RUU yang satu ini bisa disahkan segera.
Mengapa pengesahan RUU Perampasan Aset ini penting untuk dilakukan segera ?. Tetapi mengapa RUU ini tak kunjung disahkan jua ?. Apa substansi yang terkandung dalam RUU Perampasan Aset yang sangat penting bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ?
Penting Segera Disahkan
RUU Perampasan Aset sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan segera.Karena keberadaan RUU Perampasan Aset sangat penting bagi penegak hukum dalam upaya proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi terutama yang ada di mancanegara.
Saat ini selain UU No.8 Tahun 2010, terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perampasan asset, seperti dalam Pasal 10 KUHP, perampasan aset masuk dalam pidana tambahan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).
Tak hanya itu, pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti Pasal 67 UU 8/2010 jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lainnya. Kemudian Pasal 32, 33, dan 34 UU 31/1999 melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Namun demikian, bagi aparat penegak hukum pengaturan dalam proses tersebut masih dirasa belum cukup fleksibel dan belum sesuai kebutuhan yang ada. Karena itu, dibutuhkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana penting untuk dapat disahkan menjadi UU sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Pentingnya segera disahkan RUU Aset sudah disuarakan oleh banyak pihak, antara lain oleh ICW (Indonesian Corruption Watch). Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhan, RUU Perampasan Aset penting untuk segera diundangkan segera. Tujuannya, agar upaya pemberantasan korupsi semakin dikebut sehingga tercapai tujuannya.
"RUU Perampasan Aset ini menjadi penting khususnya terhadap pemberantasan korupsi. Mengingat gap antara kerugian keuangan dengan uang pengganti masih sangat tinggi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Senin, 20/12/21 seperti dikutip media.
Sementara itu Kepala Pusat Bermitra Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Supriadi, menegaskan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini belum disahkan meski telah diperjuangkan selama 16 tahun. Menurutnya, ketiadaan payung hukum yang kuat dalam hal perampasan aset kejahatan, berisiko melemahkan upaya pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya.
“Kasus-kasus tindak pidana semakin rumit dengan modus yang terus bertransformasi seiring perkembangan teknologi. Tanpa RUU ini, pelaku tindak pidana akan semakin leluasa menyembunyikan hasil kejahatan mereka, yang pada akhirnya merugikan negara secara material maupun immaterial,” ucap Supriadi dalam Kelas Literasi bertajuk ‘Mengapa RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan?’ via Live Youtube PPATK, Rabu (20/11).
Sementara itu menurut Direktur Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mungki Hadipraktito, terdapat lima poin urgensi pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana:
Pertama, menghemat waktu dan biaya penanganan perkara. Sebab, tahapan perampasan aset membutuhkan waktu panjang sejak penyelidikan hingga eksekusi barang rampasan aset hasil tindak pidana. Bila menggunakan instrumen yang terdapat dalam RUU Rampasan Aset Tindak Pidana bakal jauh lebih efisien dari sisi waktu dan biaya.
Kedua, jangkauan perampasan aset lebih jauh dari peraturan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi asset recovery-nya. Terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas, seperti aset yang diperoleh hasil dari tindak pidana; aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan aset; aset yang merupakan barang temuan; aset sitaan dari tindak pidana; dan aset yang sah untuk mengganti dari tindak pidana.
Ketiga, substitusi aset untuk aset yang tidak dapat disita di mancanegara. Menurutnya, bila terdapat aset hasil tindak pidana di luar negeri yang tidak dapat dirampas, maka dapat diganti aset yang setara nilainya. Dengan begitu, tidak perlu merampas dengan mekanisme yang sulit menggunakan mutual legal asistance (MLA) yang panjang prosesnya.
Keempat, pengelolaan aset sitaan/rampasan di satu lembaga bakal lebih efektif dan efisien. Praktik di lapangan, kendati terdapat rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), namun masing-masing institusi penegakan hukum melakukan pengelolaan barang rampasannya.
Kelima, menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh. Menurutnya, melalui mekanisme tersebut termohon harus bisa membuktikan harta yang dihasilkan bukanlah hasil tindak pidana. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 sudah mengatur pembuktiakn terbalik. Sayangnya, terbatas pengaturannya.
Mengapa Tak Kunjung Disahkan?
Meskipun hampir semua pihak sepakat RUU Perampasan Aset harus disahkan segera, namun kenyataannya RUU ini terus terkatung katung nasibnya. Pada hal RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2008. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.
Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, sayangnya usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI kembali mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023, namun ternyata tidak ada kelanjutan pembahasannya.
Karena tak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset maka Indonesia sebenarnya telah tertinggal 17 tahun lamanya. Sebab seharusnya, RUU tersebut telah disahkan sejak Indonesia meratifikai perjanjian internasional dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Terkait dengan RUU Perampasan Aset ini, Presiden Jokowi melalui surat presiden dengan nomor R-22/Pres/05/2023, pernah mendorong DPR untuk memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana (RUU PATP) tersebut. Namun sejak saat itu hingga sekarang proses pembahasan RUU tersebut tidak jelas tindaklanjutnya
Padahal dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi sudah beberapa kali menyebutkan bahwa RUU Perampasan Aset harus segera disahkan, hal ini dibuktikan dengan surat presiden pada 4 Mei 2023 yang berisikan penugasan langsung pada pimpinan DPR untuk segera menggarap UU Perampasan Aset tersebut.
Sebenarnya tidak ada alasan bagi DPR untuk menolaknya karena dalam surat tersebut ditugaskan pula berbagai instansi lainya, yaitu Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk mendukung percepatan prosesnya.
Terlepas dari ironi yang diperlihatkan oleh anggota DPR pada rapat mereka yang justru menyampaikan pesan bahwa seharusnya yang dilobi itu jangan langsung ke DPR, tapi pada para petinggi partai politik dahulu. Demikian alasan Bambang Pacul, anggota DPR dari fraksi PDIP ketika ditanyakan soal pembahasan RUU Perampasan Aset. Dari pernyataaanya bisa ditangkap pesan bahwa anggota DPR itu hanya jadi wayang saja, dalangnya adalah Ketua Umum Partainya.
Fenomena tersebut menguatkan adanya dugaan lemahnya political will dari DPR untuk menindaklanjuti RUU Perampasan Aset yang sangat diharapkan pengesahaannya oleh seluruh warga bangsa. Pada hal setingkat RUU Cipta Kerja yang berisikan 1.203 pasal dari 79 UU bisa diselesaikan dalam waktu 167 hari saja. Bandingkan dengan RUU Perampasan Aset yang tidak sampai ratusan halaman seperti halnya RUU Cipta Kerja.
Perihal mengapa RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman disebabkan karena ada ketakutan dari DPR atau pejabat publik jika RUU Perampasan Aset disahkan. “Karena RUU Perampasan Aset ini kemungkinan ditakuti oleh DPR, dan elite politik karena bisa menyasar mereka yang selama ini punya kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya,” kata Zaenur, kepada pers, Jumat (17/9/2021).
Sejalan dengan Pukat UGM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md juga berpendapat sama. Dia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang takut apabila RUU Perampasan Aset tersebut disahkan segera."Terus terang, secara psikologis saya berdiskusi dengan beberapa teman di kantor saya, kenapa itu terjadi? Memang ada masalah yang agak menghawatirkan, dalam pengertian banyak orang yang takut," kata Mahfud dalam sebuah diskusi di Youtube Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, Jumat (2/4/2021).
Pernyataan dari Menkopolhukam tentang adanya pihak pihak yang khawatir atau takut kalau RUU Perampasan Aset disahkan itulah rupanya yang membuat nasib RUU Perampasan Aset terkatung katung nasibnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa gerangan pihak pihak yang khawatir dan takut itu sehingga menyebabkan pengesahan RUU Pengesahan aset menjadi tertunda ?.
Apakah karena banyak pimpinan partai politik yang menjadi “pengendali” anggota DPR itu tersandera kasus hukum sehingga takut asetnya bisa dirampas kalau kelak kasusnya diadili di Pengadilan nantinya ?.
Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berkuasa dan yang mempunyai kewenangan untuk mendorong dan “memaksa” disahkannya RUU Perampasan Aset, apakah juga sedang dilanda ketakutan untuk menjalankan kekuasaaannya? Pada hal bukankah RUU itu telah menjadi keinginan kuat rakyat untuk bisa diwujudkan demi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia? Tetapi mengapa pembuat Undang Undang seperti gamang untuk segera mengesahkannya?
Kalau penguasa saja merasa takut untuk mengambil sikap menentukan kebijakannya lalu bagaimana halnya dengan nasib rakyat jelata? Ketakutan yang melanda kalau RUU Perampasan Aset disahkan menjadi salah satu indikasi kuat betapa lemahnya political will pemerintah dan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kita patut merasa prihatin soal inkonsistensi pemerintah dalam mewujudkan visi pemberantasan korupsi yang sering kali tertuang dalam program kerja. Dari Nawacita era Jokowi hingga Astra Cita yang sekarang jadi cantolan program pemerintah Prabowo, isu pemberantasan korupsi selalu ada. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan. Salah satu yang seharusnya menjadi prioritas adalah penyelesaian RUU Perampasan Aset yang terus terkatung katung pengesahannya.
Analisis Hukum RUU Perampasan Aset
Terlepas dari aspek urgensi RUU Perampasan Aset dan dinamika kelambatan pengesahannya, kiranya menarik untuk mencermati draf dari RUU Perampasan Aset yang saat ini beredar untuk bisa disahkan segera. RUU Perampasan Aset terdiri dari 7 Bab dan 68 Pasal.
Secara umum, Ruang RUU Perampasan Aset memiliki beberapa tujuan dan ruang lingkup pengaturan, antara lain:
Pertama, Pengembalian Kerugian Negara. Salah satu tujuan utama RUU ini adalah untuk memulihkan aset yang diperoleh melalui cara-cara ilegal, sehingga negara dapat mengambil kembali harta yang seharusnya menjadi milik masyarakat.
Kedua , Mencegah Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.RUU ini bertujuan untuk memperkuat mekanisme hukum dalam mencegah dan menanggulangi pencucian uang serta pendanaan untuk terorisme. Dengan menyita aset yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan tersebut, negara dapat mengurangi dampak negatif dari tindakan kriminal ini.
Ketiga, Memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana. Agar mereka yang telah melakukan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Karena dengan perampasan asset berarti mempunyai sasaran untuk memiskinkan para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang sangat merugikan masyarakat dan negara. Biasanya koruptor itu lebih takut miskin daripada masuk penjara
Ke empat, Mencegah pelaku tindak pidana untuk menggunakan kembali aset hasil tindak pidana. Sehingga pelaku kejahatan itu terdorong untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana secara sukarela.
Ke Lima, Perampasan Aset Tanpa Putusan Pengadilan. Dalam beberapa hal, RUU ini memungkinkan perampasan atau penyitaan aset meskipun pelaku kejahatan belum dihukum oleh pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah negara dalam menanggulangi kejahatan yang memiliki dampak besar pada perekonomian dan keamanan negara.
Ke Enam, Perluasan Tindak Pidana yang Dapat Dikenakan Perampasan Aset. RUU ini mengatur bahwa tidak hanya tindak pidana yang berhubungan langsung dengan kejahatan ekonomi (seperti korupsi atau pencucian uang), tetapi juga kejahatan lainnya, seperti terorisme, bisa dikenakan tindakan perampasan aset.
Ke Tujuh, Prosedur dan Mekanisme Penyitaan Aset. RUU ini juga mengatur prosedur yang lebih jelas dan terperinci dalam proses penyitaan, termasuk mengenai mekanisme administrasi, hak-hak pemilik aset, serta prosedur pengadilan yang perlu ditempuh untuk menilai apakah perampasan atau penyitaan tersebut sah.
Selain itu RUU Perampasan Aset juga mengatur tentang perampasan aset yang diperoleh atau diduga diperoleh dari tindak pidana, baik pidana umum maupun pidana khusus. Tindak pidana yang dapat dirampas asetnya meliputi: Tindak pidana korupsi; Tindak pidana pencucian uang; Tindak pidana perpajakan; Tindak pidana perdagangan orang; Tindak pidana narkotika; Tindak pidana terorisme; dan Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
Selain itu RUU Perampasan Aset menerapkan beberapa prinsip, yaitu: Prinsip proporsionalitas, yaitu aset yang dirampas harus sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana;
Selanjutnya, Prinsip kepastian hukum, yaitu perampasan aset harus dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;. Terakhir Prinsip keadilan, yaitu perampasan aset harus dilaksanakan secara adil dan tidak diskriminatif.
RUU Perampasan Aset juga mengatur tentang perampasan aset tanpa pemidanaan. Perampasan aset tanpa pemidanaan merupakan upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi tanpa terlebih dahulu menjatuhkan pidana pada pelakunya.
Secara umum, RUU ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
Pertama, Mencakup berbagai tindak pidana. RUU ini mengatur perampasan aset untuk berbagai tindak pidana, tidak hanya tindak pidana korupsi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya tindak pidana ekonomi dan korupsi.
Kedua, Lebih komprehensif. RUU ini mengatur secara komprehensif berbagai aspek perampasan aset, mulai dari definisi aset, prosedur perampasan aset, hingga penggunaan aset yang telah dirampas. Hal ini akan mempermudah penerapan RUU ini dalam praktiknya nanti.
Ketiga, Meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana. RUU ini akan meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana, khususnya tindak pidana ekonomi dan korupsi. Hal ini karena aset yang diperoleh dari tindak pidana dapat dirampas dan dikembalikan kepada negara atau korban.
Yang jelas dengan adanya RUU Perampasan Aset nantinya akan menjadi angin pembaharuan bagi mekanisme penegakan hukum tindak korupsi sebab terdapat tiga paradigma baru yang ditawarkan dalam RUU perampasan aset ini.
Pertama, pihak yang didakwakan dalam suatu tindak pidana tidak hanya subjek hukum yang dikenakan sebagai pelaku kejahatan melainkan juga atas aset yang diperoleh dari kejahatan tersebut.
Kedua, mekanisme peradilan yang digunakan dalam mengadili persoalan perampasan aset atas tindak pidana korupsi adalah melalui mekanisme peradilan perdata. Ketiga, tidak dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku tersebut sebagai halnya yang dikenakan pada pelaku kejahatan lainnya.
Sungguhpun demikian, selain beberapa kelebihan, RUU ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
Pertama, Kontroversi Istilah ‘Perampasan’. Ada yang berpendapat bahwa istilah ‘perampasan aset’ yang menjadi judul RUU ini dianggap memiliki konotasi negatif. Sebagian pihak mengusulkan istilah alternatif seperti ‘pemulihan aset’ atau ‘asset recovery’ yang dianggap lebih tepat mencerminkan tujuan dari undang-undang ini. Terlepas dari istilah perampasan, yang lebih penting adalah substansinya.
Kedua, Masih terdapat pengaturan yang tumpang tindih. RUU ini dinilai masih terdapat beberapa pengaturan yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketiga, Mekanisme Perampasan Aset Dinilai Belum Jelas.RUU ini mengatur perampasan aset tanpa pemidanaan. Namun, masih terdapat ketidakjelasan terkait mekanisme perampasan aset ini. Hal ini perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan kontroversi.
Selain ketiga hal yang dikemukakan diatas, persoalan yang juga harus mendapatkan perhatian adalah soal pembuktian.Adanya kecacatan yang ada di dalam RUU Perampasan Aset bisa berpotensi membuat hukum pembuktian tipikor di kedepannya menjadi bermasalah dan tidak jelas. Hukum pembuktian sendiri merupakan hukum yang bertujuan untuk menjadi dasar penilaian dari pengambilan putusan di persidangan.
Melalui proses pembuktian yang diatur dalam hukum pembuktian hakim dapat menentukan keyakinannya yang kemudian akan menjadi sebuah putusan. Hukum pembuktian yang bermasalah dan tidak jelas justru pada akhirnya mempersulit hakim untuk mengambil putusan untuk menyelesaikan perkara.
Problematika permasalahan dan ketidakjelasan pembuktian di RUU Perampasan Aset terletak pada ketentuan mengenai perampasan aset itu sendiri yang bertentangan dengan hukum pembuktian dan hukum beracara dari tipikor yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu permasalahan yang timbul dalam hukum pembuktian tipikor akibat adanya ketentuan perampasan aset ini adalah terkait dengan adanya sistem pembuktian terbalik murni di dalam hukum pembuktian tipikor.
Sistem pembuktian terbalik murni berlaku bagi kasus gratifikasi diatas 10 juta yang diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi "yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;" dan juga ketentuan mengenai penjatuhan kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan seluruh harta bendanya yang diatur dalam Pasal 37 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan." Ketentuan sistem pembuktian terbalik murni ini bertujuan untuk menjatuhkan putusan perampasan aset terhadap harta kekayaan terdakwa.
Dalam RUU Perampasan Aset telah diatur bahwa perampasan aset bukanlah putusan pengadilan yang membutuhkan pembuktian tetapi tindakan yang dilakukan selama proses pemeriksaan pendahuluan untuk mengamankan harta dari tersangka. Perbedaan ini pada akhirnya akan menimbulkan hukum pembuktian yang membingungkan dan tidak jelas yang akan mempersulit hakim dalam membuat keputusan.
Sistem pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia sendiri menggunakan sistem pembuktian negatif atau undang-undang secara terbatas. Sistem ini mengandalkan pembuktian yang harus sesuai dengan undang-undang dan juga keyakinan hakim.
Tidak jelasnya hukum pembuktian berarti akan menyebabkan hakim tidak mampu untuk membentuk petunjuk yang berasal dari keyakinan hakim. UU No. 31 Tahun 1999 dan juga perubahannya UU No. 20 Tahun 2001 sendiri menerapkan sistem pembuktian negatif ini karena terdapat Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini." sehingga adanya kejelasan hukum pembuktian sangat penting bagi penyelesaian perkara tipikor.
Selain itu RUU Perampasan Aset juga tidak mampu mengakomodir konsekuensi jika terdakwa dapat membuktikan keabsahan atau halal nya harta yang ia dapatkan. Berdasarkan ketentuan di Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya." maka dapat diketahui bahwa jika terdakwa mampu membuktikan keabsahan dan halal nya harta yang ia dapatkan maka pembuktiannya digunakan oleh pengadilan untuk tidak menjatuhkan putusan perampasan aset.
Sementara dalam RUU Perampasan Aset diatur bahwa perampasan aset dilakukan tanpa adanya pemeriksaan alat bukti di persidangan terlebih dahulu. Dari fakta ini seharusnya RUU Perampasan Aset mengakomodir penyelesaian jika ternyata harta yang sudah dirampas terbukti keabsahan dan halal nya di persidangan.
Secara keseluruhan, RUU Perampasan Aset merupakan instrumen hukum yang penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana. Namun, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap RUU ini agar dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
Beberapa masukan untuk penyempurnaan RUU Perampasan Aset diantaranya :
Pertama, Perlu Penyusunan peraturan perundang-undangan turunan untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait berbagai aspek perampasan aset. Hal ini akan mempermudah penerapan RUU ini dalam praktiknya nanti.
Kedua, Perlu dilakukan koordinasi antarlembaga terkait pelaksanaan RUU Perampasan Aset . Hal ini guna mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan diantara pihak terkait tersebut
Ketiga, Perlu dilakukan sosialisasi secara masif terkait RUU Perampasan Aset kepada masyarakat. Hal ini untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang RUU ini supaya tidak terjadi kesalahan pahaman tentang perampasan Aset itu sendiri
Dengan adanya penyempurnaan tersebut, diharapkan RUU Perampasan Aset dapat menjadi instrumen hukum yang efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana, khususnya tindak pidana ekonomi dan korupsi di Indonesia.
Dari semua hal yang dikemukakan diatas, yang jauh lebih penting adalah bagaimana upaya untuk mendorong kesadaran elite bangsa khususnya DPR yang “dikendalikan” oleh pimpinan partainya agar bersedia memprioritas pembahasan RUU Perampasan Aset. Karena selama RUU itu tidak diundangkan maka semua hanya omon omon saja.
Pada hal Undang Undang itu hanya salah satu variable efektifitas penegakan hukum. Diluar Undang Undang masih ada variable lainnya seperti tersedianya sarana prasarana, budaya hukum masyarakat, para penegak hukumnya sendiri dan sebagainya. Kalau dari sisi peraturan alias Undang Undangnya saja mereka alergi untuk membahasnya lalu bagaimana nanti dengan penegakan hukumnya ?
Komentar