Nawaitu Redaksi
Pesta Sudah Berakhir, Tugas Berat Prabowo Cuci Piring Kotor Jokowi
Ilustrasi: Presiden (2024-2029) terpilih Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. (Sekneg)
Jakarta, law-justice.co - Keberhasilan dan kegagalan silih berganti selama 10 tahun Jokowi alias Mulyono berkuasa. Berbagai visi dan misi serta janji selama kampanye telah berusaha dilaksanakannya. Namun hasilnya menuai pro dan kontra. Ada yang bilang berhasil tapi banyak pula yang menilai gagal menjadi nakoda Indonesia.
Mereka yang menilai berhasil, membuktikannya dengan masih tingginya tingkat kepuasan masyarakat Indonesia terhadap kinerjanya. Hasil survey menunjukkan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Mulyono masih cukup tinggi di angka 75,6%, sebagaimana dilansir pada artikel Kompas.id pada 20 Juni 2024.
Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan terhadap Mulyono alias Presiden Jokowi yang paling besar dibandingkan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Kondisi dan situasi yang demikian sekali lagi tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur yang semakin merata di berbagai wilayah Indonesia. Selai itu program kesejahteraan, utamanya bantuan sosial, yang anggarannya dari tahun ke tahun semakin meningkat, serta Jokowi sebagai presiden pertama yang mencetuskan program dana desa.
Tetapi mereka yang kontra mempunyai catatan kritis dalam mengevaluasi Pemerintahan Jokowi yang sudah sepuluh tahun berkuasa. Bahkan mereka menganggap selama sepuluh tahun berkuasa, Jokowi tak ubahnya tengah menggelar pesta kekuasaan untuk kepentingan kroni dan keluarganya.
Sebagai contoh,ambisi membangun politik dinasti jusru menimbulkan stigmatisasi bahwa Jokowi “haus kuasa”. Kepentingan untuk memajukan kesejahteraan rakyat seakan menjadi klise karena terdapat udang di balik batu, yakni “kepentingan keluarga”. Sikap Jokowi tidak lagi menggambarkan seorang negarawan yang menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara. Alih-alih memikirkan kepentingan bangsa dan negara, tetapi sejatinya politik yang dijalankan oleh Jokowi semata-mata berorientasi pada keuntungan diri dan keluarganya.
Seperti halnya pagelaran sebuah pesta, setelah pesta berakhir akan meninggalkan jejak jejak peninggalan yang harus dibereskan segera. Jika pesta itu ibarat jamuan makan lengkap dengan peralatan makannya, maka piring piring kotor harus dicuci agar bisa digunakan untuk ritual makan berikutnya.
Selama sepuluh tahun berkuasa, pesta yang digelar Jokowi telah meninggalkan “piring kotor” yang begitu banyak jumlahnya. Diantara piring piring kotor yang harus dicuci oleh pemerintah yang sekarang berkuasa warisan dari penguasa sebelumnya, yaitu :
Pertama, Warisan Utang Yang Begitu Besar Jumlahnya. Pemerintahan Joko Widodo selama 10 tahun dipastikan mewarisi utang jumbo ke pemerintahan Prabowo Subianto. Utang pemerintah meningkat signifikan selama satu dekade pemerintahan sebelumnya. Jokowi membawa utang Indonesia pada level yang berbahaya.
Pada hal masa awal pemerintahan Jokowi diwarisi level utang yang relatif rendah dari pemerintah sebelumnya. Ketika baru dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewarisi utang sebesar Rp 2.608 triliun. Angka itu sama dengan 24,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Jokowi memanfaatkan rendahnya warisan utang pemerintah sebelumnya itu untuk menarik utang lebih besar di masa pemerintahannya. Di akhir masa jabatan pertama Jokowi pada 2019, level utang pemerintah dari PDB mencapai 30,6% atau Rp 4.786,58 triliun.
Lonjakan utang yang sebenarnya kemudian terjadi pada periode kedua Jokowi berkuasa. Pada 2020, utang pemerintah melonjak 27,01% dari tahun sebelumnya menjadi Rp 6.079,17 triliun. Nilainya kembali naik pada 2021 menjadi Rp 6.913,98 triliun, dan pada 2022 tembus Rp 7.776,74 triliun. Kemudian, utang pada 2023 mencapai Rp 8.163,07 triliun.
Besarnya utang pemerintah saat ini tak ayal membuat beban negara untuk membayar utang beserta bunganya semakin berat saja. Pada 2024 atau tahun terakhir Jokowi, utang jatuh tempo yang harus dibayarkan pemerintah mencapai 434,29 triliun. Jumlah itu akan melonjak pada 2025, ketika pemerintahan baru harus membayar utang pokok mencapai Rp 800,33 triliun, belum termasuk bunga.
Pada 2026, utang jatuh tempo akan lebih membengkak menjadi menjadi 803,19 triliun. Pada 2027, utang jatuh tempo masih menggunung, yakni Rp 802,61 triliun. Utang jatuh tempo baru berkurang pada 2028, ketika pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 719,81 triliun. Total utang jatuh tempo sepanjang 2025-2028 mencapai 3.125 triliun, belum termasuk bunga.
Besarnya utang yang ditinggalkan oleh pemerintah Jokowi memang menjadi beban yang berat bagi pemerintah yang mewarisinya. Ibaratnya Pemerintah Prabowo harus cuci piring dari pesta utang yang telah dilakukan Jokowi selama berkuasa. Karena memang cara gampang untuk mendapatkan uang adalah dengan ngutang meskipun sebenarnya sangat beresiko bagi kelangsungsan keuangan negara. Apakah Prabowo nantinya kan mewarisi kebiasaan ngutang ini untuk membiayai roda pemerintahannya ?
Kedua, Sumberdaya Alam (SDA) Dijual Murah ke China Tanpa Penambahan untuk Pemasukan ke Anggaran Negara. Diantara jenis SDA itu adalah nikel yang digembar gemborkan memberikan keuntungan berlimpah bagi negara. Lewat Program hilirisasi, Jokowi pernah mengklaim adanya kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun
Tetapi menurut ahli ekonomi, Faisal Basri, klaim Jokowi soal kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun berkat hilirisasi nikel tidak jelas sumbernya. Ia menilai hilirisasi justru hanya menguntungkan China.
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ujar Faisal dalam unggahan blog pribadinya, Jumat (11/8).
Faisal menilai uang hasil ekspor itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya."Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.
Faisal menyebut perusahaan smelter nikel bebas pajak karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.
Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
Melihat kondisi tersebut , Faisal menyebut hilirisasi nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah bagi negara. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi hampir seluruhnya dinikmati oleh China. Kalau memang benar begitu kenyataannya, apakah pemerintah Prabowo nanti akan meneruskan kebijakan Jokowi yang nyata nyata merugikan Indonesia ? Atau harus mencuci piring alias menghentikannya ?
Ketiga, Anggaran Negara lebih 90 Persen dari Pajak. Sebagian besar anggaran untuk membiayai operasional negara didapat dari pajak. Artinya rakyat yang harus membiayai negara untuk menjalankan pemerintahannya.
Selama 10 tahun berkuasa, soal pajak dinilai hanya berpihak pada orang kaya, dan pajak hanya menyasar komoditas rakyat jelata.Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani kebijakan pajak pemerintah memang sama sekali tidak pro rakyat, hanya memanjakan pengusaha besar dan kelompok oligarki saja. Seperti Tax Amnesty, kebijakan yang begitu mencolok memanjakan konglomerat yang banyak uangnya.Bahkan Tax Amnesty sampai digulirkan hingga demi kepentingan pengusaha.
Kondisi tersebut menunjukkan, keberpihakan negara melalui kebijakan Sri Mulyani sangat condong kepada pengusaha besar dan oligarki. Lebih menyedihkan lagi, negara seperti disetir oleh sekelompok pengusaha dan kelompok kepentingan.Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan bagi rakyat kecil pada umumnya.Dibanding membantu UMKM, Sri Mulyani lebih senang jor-joran memberikan insentif pajak pembelian mobil yang menyasar orang orang kaya.
Sementara pajak untuk orang kecil seperti pajak pulsa dikejar kejar di saat kebutuhan pulsa masyarakat yang begitu tinggi dimana pendapatan relative tetap bahkan cenderung hilang atau turun karena PHK. Negara seolah hanya ingin mengambil untung di tengah-tengah kesulitan masyarakatnya
Di era Prabowo yang harus cuci piring atas kebijakan perpajakan Jokowi direncanakan akan adanya insentif pajak, diantara Pajak Penghasilan Perusahan direncanakan untuk dipangkas menjadi 20 % dari sebelumnya 22 persen
Prabowo Subianto juga berencana menghapus pajak properti atau perumahan yang saat ini totalnya sebesar 16%. Terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5%.Selain itu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar5 % rencananya juga akan dihapus Prabowo sementara waktu.
Sebagai alternative untuk menambal pendapatan negara diluar pajak, Prabowo mempunyai pohon uang yang bisa dimanfaatkan seperti : membenahi tata kelola BUMN agar memberikan kontribusi kepada pendapatan negara.
Selain itu berupaya untuk menutup kebocoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai contoh bagaimana negara bisa kecolongan ekspor ilegal bijih nikel yang ratusa triliun nilainya. Sumber lain yang bisa menambah pendapatan negara seperti misalnya menyetop penyelundupan,illegal mining dan sebagainya.
Keempat, Infrastruktur Mangkrak Era Jokowi. Pemerintahan Prabowo harus mewarisinya. Pemerintahan Jokowi ternyata masih menyisakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum berjalan hingga saat ini.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mengakui ada 58 proyek strategis nasional (PSN) yang hingga kini masih mangkarak atau macet.Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengungkapkan sejumlah proyek tersebut dibiayai dari hasil penarikan pinjaman dari berbagai lembaga internasional.
Sebagian besar berasal dari Bank Dunia atau World Bank, Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) , KfW Development Bank, Agence Francaise de Developpement (AFD), dan Economic Development Cooperation Fund (EDCF) dan sebagainya
Keberadaan proyek-proyek warisan Jokowi ini, disebut sebagai penyebab besarnya defisit dalam rancangan APBN 2025. APBN di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki defisit Rp600 triliun atau 2,45% hingga 2,82% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih besar dibandingkan tahun 2024 di mana defisit dipatok hanya 2,29% dari PDB dan pada tahun 2023 sebesar 1,82% dari PDB.
Dengan kondisi demikian Apakah proyek tersebut tetap dilanjutkan atau akhirnya harus dicoret sehingga tidak bisa untuk menambah prestasi Jokowi di bidang infrastruktur?. Kalau beberapa proyek strategis tersebut memang membebani keuangan negara, sudah seharusnya kalau Pemerintah Prabowo menyetopnya. Apalagi kalau proyek proyek tersebut didanai dari hasil ngutang ke mancanegara
Ke lima, Judi Online Merajalela. Tak bisa dipungkiri, di ujung kekuasaannya , Pemerintah Jokowi mewarisi ribuan situs judi online yang telah menyebabkan rakyat kecil sengsara. Keberadaan situs judi online itu selama ini sengaja dibiarkan oleh pejabat lama karena memang menguntungkannya.
Budi Arie yang menjadi Menkominfo era Jokowi diduga telah menjadikan kementeriannya sebagai sarang penyamun yang melindungi ribuan situs judi online.Kini, sarang penyamun itu telah ditinggalkan Menteri Komunikasi dan Informatika di Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo itu untuk kemudian menjadi Menteri Koperasi di Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Setelah ditinggalkan oleh pejabat lamanya, Polda Metro Jaya menangkap 11 orang tersangka kasus situs judi online. Dari 11 orang itu, 10 di antaranya adalah pegawai kementerian yang kini sudah berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) itu.
Para pegawai tersebut mengaku seharusnya melakukan pemblokiran terhadap 5.000 situs judi online. Namun, ada 1.000 situs di antaranya yang justru "dibina" alias dilindungi supaya tidak diblokir. Dari pembinaan itu, mereka mendapat upah Rp8,5 juta per situs. Jika dikalikan 1.000 situs maka ada Rp8,5 miliar.
Kini, Meutya Hafid yang menggantikan Ketua Umum Projo, relawan Pro-Jokowi, itu kebagian cuci piring usai pesta berakhir. Akankah mantan jurnalis itu berhasil membakar sarang penyamun yang ditinggalkan pendahulunya?
Ke enam, Korupsi Sengaja Dibiarkan sebagai Alat Sandera.Mengakhiri masa jabatannya, Jokowi dinilai telah membawa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol. Situasi itu tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami stagnasi dengan skor 34 pada 2022-2023.
Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.
Yang lebih memprihatinkan lagi, penegakan hukum diduga telah dijadikan alat sandera untuk menjinakkan lawan lawan politik penguasa. Tokoh tokoh politik sengaja dibiarkan melakukan korupsi tapi tidak diusut karena dijadikan kartu truf bagi penguasa untuk mengancam mereka.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya hukum tidak lagi menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi tapi politiklah yang menjadi panglima. Ketika politik menjadi panglima penegakan hukum maka tebang pilih dalam penegakan hukum menjadi pilihannya
Fenomena tersebut ternyata berlangsung hingga sekarang saat Prabowo berkuasa. Kasus yang paling baru adalah penetapan Tom Lembong sebagai tersangka. Apakah Prabowo sebagai orang yang ada dibelakang itu semua mewarisi tradisi tebang pilih penegakan hukum yang telah dilakukan oleh presiden sebelumnya ?.
Banyak pihak menuding Prabowo di belakang penetapan tersangka ini. Bahkan ada satu media asing, SCMP, langsung menurunkan berita yang sangat mendiskreditkan Prabowo. Tetapi patut diduga bukan Prabowo sebagai sutradaranya.Alasannya bisa diterima nalar dan logika.
Untuk diketahui, sprindik (surat perintah penyidikan) kepada Tom Lembong sudah dikeluarkan sekitar Oktober tahun lalu (2023) menjelang pilpres. Ketika itu Tom Lembong ditunjuk sebagai tim sukses dan co-captain Anies- Cak Imin.
Kemudian kasus Tom Lembong nampaknya mengendap cukup lama. Hampir satu tahun sejak sprindik diterbitkan, Tom Lembong tidak pernah diperiksa.Akhirnya, pada 8 Oktober 2024, Tom Lembong diperiksa sebagai saksi untuk pertama kalinya.
Ketika itu, Jokowi masih berkuasa dan bisa mendesak Kejagung mempercepat proses ‘tersangkakan’ Tom Lembong. Sementara Prabowo sendiri saat itu tidak dalam posisi bisa minta mengusut Tom Lembong.Setelah itu, pemeriksaan kepada Tom Lembong terus dipercepat.
Pemeriksaan kedua dilakukan pada 16 Oktober 2024, pemeriksaan ketiga pada 22 Oktober 2024, dan pemeriksaan keempat pada 29 Oktober 2024, sekaligus menetapkan Tom Lembong tersangka kasus impor gula 2015, dan langsung ditahan.
Mencermati kronologi tersebut hampir mustahil Prabowo berada di belakang drama Tom Lembong. Artinya, secara otomatis, dugaan aktor drama ‘tersangkakan’ Tom Lembong tertuju pada Jokowi sebagai sutradaranya.
Bisa jadi penangkapann Lembong adalah upaya untuk mendiskreditkan Prabowo di awal kekuasaannya agar dianggap ‘otoriter’, dan melanjutkan tradisi mengkriminalisasi orang yang tidak sejalan dengan keinginannya. Sebuah kesimpulan yang masuk akal karena di Kejagung masih banyak orang Mulyono yang bercokol disana.
Ke tujuh, Angkat Pengangguran Meningkat Tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,20 juta orang pada Februari 2024. Angka yang fantastis itu diperkirakan akan meningkat, mengingat sejumlah perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tahun 2024.
Perusahaan yang melakukan PHK secara massal ini datang dari latar belakang industri yang berbeda-beda. Langkah ini diambil oleh perusahaan-perusahaan tersebut sebagai respons terhadap dinamika ekonomi yang terus berubah dan tantangan bisnis yang semakin kompleks. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada karyawan yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga mempengaruhi iklim bisnis dan sosial secara keseluruhan.
Alasan utama yang mendorong perusahaan untuk melakukan PHK massal adalah penurunan profit perusahaan. Banyak perusahaan menghadapi tekanan finansial yang signifikan akibat penurunan pendapatan, peningkatan biaya operasional, dan perubahan pasar yang tidak terduga.
Dalam upaya untuk tetap bertahan dan menjaga kelangsungan bisnis, manajemen perusahaan seringkali terpaksa mengambil keputusan sulit untuk merampingkan tenaga kerja guna mengurangi beban biaya.
Angka PHK yang makin tinggi pada tahun terakhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo, menggarisbawahi capaian yang kurang optimal perihal penciptaan lapangan kerja dalam satu dasawarsa terakhir.
Sepanjang dua periode kepemimpinan Jokowi, lapangan kerja baru yang tercipta hanya berkisar 10,56 juta pekerjaan. Angka itu jauh di bawah capaian lima tahun periode terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mampu mendorong penciptaan 15,62 juta lapangan kerja baru.
Rendahnya pembukaan lapangan kerja baru di era Jokowi tentunya akan menjadi pekerjaan rumah bagi presiden baru Prabowo. Pemerintah Prabowo harus bisa memutar otak untuk mencarikan jalan keluar bagi rakyatnya yang banyak menganggur karena terbatasnya peluang kerja. Jangan sampai terjadi seperti era Jokowi dimana ditengah tengah kelangkaan kerja untuk warga bangsa, ribuan tenaga kerja asing khususnya China datang bergelombang ke Indonesia.
Selain tujuh warisan yang disampaikan diatas, selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi juga meninggalkan permasalahan lain yang kalau di daftar mungkin bisa sangat panjang. Diantaranya harga beras yang sangat mahal, deflasi yang terus meningkat, kelas menengah yang banyak jatuh miskin, mafia peradilan yang kian merajalela dan sebagainya.
Semua permasalahan tersebut ibarat piring kotor atau sisa sisa makanan yang harus dibersihkan segera. Karena kalau tidak akan menjadi sumber penyakit bagi pengguna selanjutnya. Dalam konteks ini pemerintahan sesudahnya akan terkena imbasnya jika tidak segera membersihkannya.
Tetapi kalau proses pembersihan itu dilakukan dengan frontal dan tergesa gesa akan menimbulkan resiko pula. Harus dimaklumi, Jokowi saat ini masih memiliki pengaruh politik yang kuat dan jaringan yang luas, termasuk di kalangan birokrasi, militer, dan partai politik. Jika Prabowo terlalu agresif dalam menentang kebijakan atau warisan Jokowi, dia bisa menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok yang masih loyal kepada mantan presiden tersebut.
Selain itu, tantangan terbesar bagi Prabowo mungkin datang dari sebagian warag masyarakat yang masih mengidolakan Jokowi sebagai mantan pemimpin yang dikaguminya. Sebab masih banyak rakyat Indonesia yang masih mengidolakannya, terutama karena citranya sebagai presiden yang merakyat dan sederhana. Jika Prabowo dianggap menyerang atau merusak warisan Jokowi, dia bisa kehilangan dukungan dari sebagian masyarakat yang masih mendukung mantan presiden tersebut.
Namun, di sisi lain, jika Prabowo berhasil menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambilnya dalam rangka pembersihan itu bertujuan untuk memperbaiki kebijakan yang salah atau tidak efektif dari pemerintahan sebelumnya, ia dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang berani dan independen. Ini adalah pertaruhan yang memerlukan keberanian dan strategi yang matang dari seorang Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya
Namun harapan publik secara umum, jika Prabowo menemukan bahwa beberapa kebijakan Jokowi terbukti merugikan kepentingan nasional atau bertentangan dengan visi pemerintahannya, Prabowo seyogyanya berani mengambil sikap yang berbeda. Yaitu segera merubahnya apapun resikonya. Karena ibarat piring kotor, sudah banyak belatung dan lalat yang mengerubutinya. Sehinga akan sangat beresiko menyebarkan penyakit kalau tidak dicuci segera.
Komentar