Putusan MK soal UU Cipta Kerja Bikin Para Pengusaha Kecewa

Jum'at, 08/11/2024 12:28 WIB
Polemik menguar dari gedung Mahkamah Konstitusi. Sebuah putusan yang memuluskan laju Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres menuai protes. Posisi ayah Gibran, Joko Widodo sebagai Presiden RI dan Ketua MK Anwar Usman selaku pamannya, membuat plesetan MK sebagai Mahkamah Keluarga kembali mengemuka. Ada yang mengatakan ini adalah puncak KKN era Jokowi. Hal paling mengejutkan, jelang akhir, PDI Perjuangan selaku partai utama penopang Jokowi balik kanan, dia turut menghujat beleid ini.

Polemik menguar dari gedung Mahkamah Konstitusi. Sebuah putusan yang memuluskan laju Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres menuai protes. Posisi ayah Gibran, Joko Widodo sebagai Presiden RI dan Ketua MK Anwar Usman selaku pamannya, membuat plesetan MK sebagai Mahkamah Keluarga kembali mengemuka. Ada yang mengatakan ini adalah puncak KKN era Jokowi. Hal paling mengejutkan, jelang akhir, PDI Perjuangan selaku partai utama penopang Jokowi balik kanan, dia turut menghujat beleid ini.

Jakarta, law-justice.co - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan bahwa pihaknya kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materi Undang-undang (UU) Cipta Kerja.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam mengatakan dengan putusan MK itu maka formula penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) berubah empat kali dalam 10 tahun terakhir.

"Terus terang kita dari APINDO menghadapi keputusan ini banyak yang kecewa. Sebagai mana kita ketahui bahwa APINDO itu tidak hanya perusahaan-perusahaan besar, 90 persen perusahaan kecil," kata Bob dalam media briefing di JS Luwansa, Kamis (7/11).

Bob mengatakan dengan berubahnya aturan maka akan mengganggu investasi yang akan masuk ke Indonesia. Pasalnya, investor akan melihat sinyal ketidakpastian hukum.

Padahal, investasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target ekonomi 8 persen yang diinginkan Presiden Prabowo Subianto.

"Pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tanpa investasi itu impossible," katanya.

Dia mengatakan yang menjadi permasalahan utama bukan besaran kenaikan UMP, tetapi soal kepastian aturan.

"Coba bayangkan selama 10 tahun empat kali aturan berubah untuk menunjukkan betapa tidak konsistennya kita," ujarnya.

"Bukan soal besaran upah minimumnya tapi konsistensi regulasinya yang dipertanyakan," imbuhnya.

Pemerintah menetapkan UMP setiap tahun. Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, UMP ditetapkan dan diumumkan paling lambat 21 November.

Meski begitu, ada perubahan aturan setelah putusan MK mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ada 21 pasal yang berubah, termasuk soal perumusan upah minimum bagi pekerja.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar