Putusan PK Mardani H Maming Jadi Cermin Kekuasaan Kehakiman Terkikis
Hamdan Zoelva. (Foto: IG @hamdanzoel).
Jakarta, law-justice.co - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva menyatakan bahwa Putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara Mardani H Maming ke Mahkamah Agung (MA) yang baru saja keluar masih jauh dari kata ideal.
Sebagai informasi, putusan PK tersebut, hukuman Mardani H Maming berkurang dari 12 tahun menjadi 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan.
Kata dia, putusan tersebut masih jauh dari ideal, Sebab, jika dicermati lebih detil lagi, putusan tingkat pertama sampai dengan kasasi jelas mengandung beberapa kesalahan penerapan hukum, kekhilafan, dan pertentangan antar putusan.
Hamdan Zoelva mencatat ada sebanyak tiga pertentangan dalam putusan tersebut, diantaranya terkait kesahalan penerapan hukum, ketentuan Pasal 93 UU No. 4/2009 tentang Minerba yang dikonstruksikan dalam dakwaan dan tuntutan sebenarnya tidak bisa diterapkan dalam ini perkara ini.
Sebab subyek pelaku dalam Pasal 93 tersebut adalah pelaku usaha atau pemegang IUP bukan Bupati. Selain itu, berdasarkan fakta hukum dalam persidangan KTUN berupa IUP-OP Nomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010 yang diterbitkan oleh Mardani Maming, sampai dengan saat ini sah secara hukum, belum ada pembatalan dari peradilan manapun.
“Terhadap keputusan yang sah itu dalam hukum admistrasi negara melekat asas “het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa” (asas praduga rectmatig) yang berarti setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara itu dianggap sah, sampai dibuktikan sebaliknya melalui Upaya Administratif atau Peradilan Tata Usaha Negara,” ujarnya melalui keterangan resmi.
Dia juga mencatat adanya kekhilafan terkait dengan delik menerima suap berupa ketiadaan pembuktian terjadinya meeting of mind antara Pihak Pemberi dengan Penerima (Mardani H Maming) terhadap unsur “menerima hadiah” dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Mengingat suap tidak akan terjadi tanpa adanya kesamaan kehendak.
Lalu, ada pertentangan antara Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Putusan Pengadilan Niaga. Letak pertentangan putusannya adalah bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mardani H Maming dinyatakan terbukti menerima “hadiah” dalam bentuk dividen dan fee dari PT. ATU dan PT. PCN kepada PT. TSP dan PT. PAR.
Namun sebaliknya berdasarkan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga terbukti bahwa pemberian uang oleh PT. PCN semata-mata akibat adanya hubungan bisnis antara PT. PT. PCN dengan PT. TSP dan PT. PAR.
“Pertentangan putusan ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mengaitkan dua peristiwa dengan tempus dan latar belakang berbeda adalah sesat logika,” ujarnya.
Ia juga menilai, terdapat indikasi pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas seperti, pertimbangan Majelis Hakim hanya didasarkan pada keterangan satu saksi, sehingga melanggar asas unus testis nulus testis, pertimbangan hukum hanya didasarkan pada testimonium de auditu dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi perkara ini, sejumlah fakta seolah dikontruksikan menjadi circumtantial evidence, padahal tidak singkron satu dengan yang lain.
“padahal impartial judiciary dalam paham negara hukum merupakan suatu keharusan. Jadi, kejanggalan dalam kasus ini seharusnya dapat dilihat oleh Majelis Hakim dalam kacamata yang jernih dan obyektif tanpa ada intervensi dari pihak manapun -itulah esensi kemerdekaan kekuasan kehakiman, sehingga keadilan bisa benar-benar ditegakkan selurus-lulrusnya bagi para pencari keadilan,” tuturnya.
Komentar