Kata Bos Pengusaha Usai Bertemu Menko Perekonomian Bahas Sritex

Kamis, 31/10/2024 09:31 WIB
Ketua Umum APINDO Shinta Widjaja Kamdani (Dok,MenObesesion)

Ketua Umum APINDO Shinta Widjaja Kamdani (Dok,MenObesesion)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani secara resmi mengingatkan kepada pemerintah soal banyaknya kasus PHK yang menimpa pekerja Indonesia belakangan ini.

Peringatan ia berikan usai menemui Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto membahas nasib raksasa tekstil Sri Rejeki Isman alias Sritex usai diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pekan lalu, Rabu (30/10) petang.

Shinta meminta pemerintah segera meminimalisir pemicu PHK yang bisa membahayakan ekonomi Indonesia, terutama di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

"Kami cuma ingatkan bahwa memang saat ini kondisi terutama PHK dan lain-lain itu saja akan sangat mempengaruhi. Jadi kami harapkan bahwa akan bisa diminimalisasi unsur-unsur seperti PHK yang besar seperti ini," katanya di Kantor Kemenko Perekonomian.

Peringatan ia berikan karena Sritex merupakan perusahaan yang besar dan punya sejarah panjang. Ia menambahkan perhatian tak hanya diminta pengusaha terkait Sritex saja, tapi perusahaan padat karya lain.

Shinta menambahkan sudah memberikan masukan kepada pemerintah terkait cara mengatasi masalah yang menimpa Sritex dan industri lain. Namun, ia enggan merinci masukan tersebut.

"Kita sekarang hanya mencoba jangan sampai peningkatan daripada PHK ini kan yang sekarang kita jaga. Makanya kenapa kita sekarang juga terus memberikan masukan dari industri padat karya. Kan kita tidak mau sesuatu yang buruk terjadi," katanya.

Sritex saat ini memang sedang terlilit masalah. Beberapa waktu lalu, Pengadilan Niaga Semarang memutus raksasa tekstil itu pailit.

Sebelum keputusan pailit itu keluar, kinerja Sritex memang tengah terseok-seok.

Sebelum putusan ini pun, Sritex sempat tenggelam karena terlilit utang yang menggunung. Hingga Juni 2024, total utang Sritex mencapai US$1,6 miliar atau Rp25,1 triliun (kurs Rp15.735 per dolar AS).

Masalah itu pun dikhawatirkan berdampak ke pekerja.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar