Warta Wartawati
Analisis Hukum Implikasi Revisi UU Kementerian Demi Kabinet Gemuk
Presiden Prabowo Subianto (depan, tengah) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (depan, keempat kanan) berfoto bersama jajaran Menteri dan Kepala Lembaga Tinggi Negara Kabinet Merah Putih yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2024).(Ist)
Jakarta, law-justice.co - Seperti diketahui bersama, Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan nama-nama menteri, wakil menteri dan pejabat setingkat menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu malam, 20 Oktober 2024 yang lalu.
Terdapat 108 orang yang ditunjuk Prabowo untuk menjadi pembantunya dalam pemerintahan yang dibentuknya. Mereka terdiri atas 7 menteri koordinator, 41 menteri, 55 wakil menteri, dan 5 pejabat setingkat menteri termasuk Jaksa Agung dan Sekretaris Kabinet.
Kabinet yang dibentuk oleh Prabowo bersama Gibran Rakabuming Raka disebut sebut sebagai kabinet tergemuk sejak era orde baru sampai dengan era reformasi. Kabinet gemuk ini telah menuai kritik dari para pengamat mulai isu penghabisan anggaran negara, menyulitkan dalam melakukan koordinasi sampai dengan dugaan balas budi Prabowo kepada pihak pihak yang telah berjasa dalam pemenangannya.
Sebelumnya tidak ada dasar hukum untuk pembentukan kabinet gemuk karena berdasarkan ketentuan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Presiden dibatasi kewenangannya untuk hanya bisa membentuk 34 Kementerian saja demi reformasi bikrokrasi. Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan berkurang.
Namun karena kehendak penguasa untuk membentuk kabinet gemuk maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara perlu direvisi pasal pasalnya. Hal ini sejalan dengan keinginan Prabowo yang menggagas rencana pemerintahan yang kuat dengan menarik seluruh partai politik ke dalam koalisi; kemudian dikenal dengan sebutan KIM Plus.
Koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran setidaknya menggandeng hampir semua partai politik; termasuk para lawannya di Pemilu 2024. Hingga saat ini, hanya tersisa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Nasdem yang menyatakan tidak mengambil peran sebagai bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
Oleh karena itulah usulan revisi terhadap beleid tersebut lahir setelah usai Prabowo-Gibran memenangkan Pemilu 2024. Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto akhirnya memiliki payung hukum untuk membentuk kabinet gemuk dalam pemerintahannya bersama Gibran Rakabuming Raka setelah DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang Kementerian Negara atau RUU Kementerian pada Rapat Paripurna I Tahun Sidang 2024-2025 tanggal 19 September 2024.
Dengan telah disahkannya revisi UU Kementerian tersebut dapat disebut sebagai pembuka jalan bagi pembentukan "kabinet jumbo" Prabowo karena tak ada lagi batasan jumlah kementerian melainkan bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Point Point Perubahan
Jika kita mencermati substansi revisi UU Kementerian, setidaknya ada 6 poin perubahan penting dalam RUU tersebut. Pertama, menyisipkan Pasal 6A terkait pembentukan kementerian tersendiri yang didasarkan pada sub-urusan pemerintahan sepanjang memiliki keterkaitan ruang lingkup urusan pemerintahan.
Beberapa bidang yang memungkinkan untuk dibentuk kementerian secara terpisah, di antaranya agama, hukum, keuangan, keamanan, dan pendidikan. Selain itu, bidang energi, ketenagakerjaan, perencanaan pembangunan nasional, perumahan, dan olahraga juga memungkinkan dimodifikasi.
Kedua, membentuk Pasal 9A terkait penulisan, pencantuman, dan/atau pengaturan unsur organisasi dapat dilakukan perubahan oleh Presiden sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, menghapus penjelasan Pasal 10 akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.Keempat, perubahan Pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden. Sehingga tak ada lagi batas jumlah kementerian. Selain itu, juga penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan UU di Ketentuan Penutup.
Kelima, perubahan Judul Bab VI menjadi “Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Lembaga Non Struktural, dan Lembaga Pemerintah Lainnya.” Dimana perubahan ini sebagai konsekuensi atas penyesuaian terminologi “lembaga nonstruktural” yang diatur dalam perubahan Pasal 25. Keenam, penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang di Pasal II.
Analisis Hukum
Dalam sistem presidensial ini, kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat.
Sebagai kepala eksekutif, Presiden menunjuk pembantu-pembantu yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Karena pembentukan kabinet itu tidak tergantung dari badan perwakilan rakyat atau tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari badan perwakilan rakyat itu, maka menteripun tidak bisa diberhentikan olehnya.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dinyatakan bahwa wewenang eksekutif ada pada Presiden. Hal ini menunjukkan salah satu ciri penting dalam pemerintahan presidensial. Kemudian Pasal 17 UUD Negara RI Tahun 1945 mempertegas hal ini dengan menetapkan bahwa presidenlah yang memilih menteri-menterinya.
Kedua pasal tersebut mengarah pada proposisi mengenai sistem pemerintahan presidensial, yaitu bahwa eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang presiden yang merupakan eksekutif tunggal yang kemudian mengangkat kepala departemen dalam kabinet sebagai bawahannya.
Pasal 17 UUD Negara RI Tahun 1945 dinyatakan bahwa:
1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara;
2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden;
3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; dan
4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Berkaitan dengan Kementerian Negara Republik Indonesia, maka Kementerian merupakan lembaga pemerintahan yang tunduk dan bertanggung jawab langsung pada Presiden. Dalam sistem presidensial, kementerian menjadi tulang punggung dalam menjalankan roda pemerintahan.
Setiap kementerian memiliki tugas utama dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah pada bidang tertentu dan dituntut mampu memberikan kontribusi dalam pertumbuhan dan pembangunan negara.
Salah satu implikasi dari revisi UU Kementerian Negara ialah, presiden memiliki kebebasan penuh untuk menambah jumlah dan memecah lembaga kementerian sesuai kebutuhan. Dalam kaitan ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas menyatakan, revisi ini akan mendukung upaya perbaikan sistem pemerintahan Indonesia.
Seiring perkembangan kompleksitas masalah dan tantangan yang dihadapi negara, muncul kebutuhan untuk menyesuaikan struktur pemerintahan agar lebih responsif dan efektif. Salah satu bentuk penyesuaian tersebut adalah melalui penambahan kementerian negara sehingga menjadi gemuk.
Mereka yang berpandangan optimis berpendapat bahwa revisi UU Kementerian dinilai sebagai satu upaya strategis untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja pemerintahan. Meskipun penambahan kabinet pemerintahan dilakukan melalui proses politik dan hukum, namun bila kabinet dirancang ulang secara cermat, pemerintahan dapat bekerja lebih efisien dan responsif.
Mereka yang optimis juga berpandangan bahwa kabinet gemuk bisa mendorong koordinasi antar kementerian sehingga mampu meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik pula. Selain itu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih efektif dalam menghadapi tantangan domestik maupun global.
Penghapusan pembatasan jumlah kementerian yang menghasilkan kabinet gemuk juga akan memberikan keleluasaan lebih besar kepada Presiden dalam menentukan jumlah kementerian yang dibutuhkan, agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan strategis dan visi-misi pemerintahan.
Sungguhpun demikian revisi UU Kementerian yang melahirkan pembentukan kabinet gemuk dinilai akan berdampak luas, diantaranya akan membutuhkan pendanaan tambahan yang dapat berakibat pada stabilitas keuangan negara.
Dengan jumlah menteri yang lebih banyak, otomatis biaya operasional pemerintah meningkat. Hal ini mencakup gaji menteri, fasilitas, hingga biaya perjalanan dinas. Di saat kondisi ekonomi global tidak stabil, keputusan untuk memperbesar kabinet bisa dipandang tidak bijaksana oleh sebagian masyarakat.
Diperkirakan akan ada peningkatan anggaran sebesar Rp91,52 miliar hingga Rp390 miliar per tahun untuk membayar gaji, tunjangan, dan biaya operasional para menteri dan wakil di Kabinet Merah Putih, dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Jika mengabaikan kemungkinan perubahan peraturan pengupahan menteri beserta wakilnya, maka selama lima tahun ke depan akan ada peningkatan beban anggaran sebesar Rp457,6 miliar hingga Rp1,95 triliun.
Dengan demikian, kabinet gemuk buatan Prabowo akan meningkatkan beban fiskal negara karena peningkatan pada sedikitnya lima pos anggaran, meliputi pertama, biaya pembentukan kementerian dan lembaga atau badan baru; kedua, gaji menteri, wakil menteri, dan kepala badan setingkat; ketiga, biaya operasional kementerian dan lembaga; keempat, belanja program; dan kelima, upah untuk pegawai kementerian dan lembaga.
Terlebih, perkiraan pembengkakan anggaran ini belum mempertimbangkan fasilitas yang diterima oleh menteri beserta wakilnya, seperti jaminan kesehatan, mobil dinas, tunjangan rumah, hingga dana pensiun. Ini berarti beban fiskal negara bisa saja lebih besar dari yang diperkirakan.Semua perubahan alokasi anggaran yang berasal dari sumber dana dari APBN ini tentunya perlu landasan hukum untuk legalitasnya.
Disamping itu, kabinet gendut hampir pasti akan membuat koordinasi antar kementerian menjadi lebih kompleks. Koordinasi yang tidak efektif bisa berujung pada lambatnya implementasi kebijakan, tumpang tindih wewenang, dan kebijakan yang tidak sinkron. Ini dapat menghambat laju pemerintahan dan membingungkan masyarakat.
Perlu diingat pula bahwa Kementerian baru yang terbentuk, pasti tidak dapat langsung bekerja karena membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan menyusun program-program kerja. Pada akhirnya menjadi sumber inefisiensi tersendiri, mengingat kemungkinan duplikasi tugas pokok dan fungsi yang akan terjadi.
Belum lagi potensi munculnya konflik kewenangan yang tidak perlu di antara para pejabat birokrasi pada kementerian/lembaga. Dimana hal ini bisa menciptakan tumpang tindih kewenangan antar Kementerian/ Lembaga.
Kabinet gemuk yang sebagian anggotanya merupakan tokoh partai bisa memperbesar peluang terjadinya korupsi atau memainkan dana APBN untuk kepentingan pribadi atau partainya. Selama ini sebagian besar menteri yang terlibat kasus korupsi merupakan mereka yang memiliki latar belakang bidang politik. Fenomena ini bisa terjadi lantaran menteri-menteri tersebut lebih mendulukan kepentingan partai saat membuat kebijakan daripada kepentingan umum atau negara. Mayoritas menteri-menteri yang terlibat dalam kasus korupsi itu adalah utusan partai.
Ketika para menteri yang dilantik itu berlatar belakang partai, dan masih menjabat, masih aktif sebagai anggota partai, otomatis memang independensi menteri dalam membuat kebijakan itu tentu akan sulit untuk dijaga. Artinya memang kakinya menteri ini satunya ada di partai, satunya di pegang presiden.
Perubahan yang terjadi dengan adanya revisi UU Kementerian yang menjadi dasar lahirnya kabinet gendut juga akan mempengaruhi kepastian hukum dan konsistensi dari berbagai kebijakan pemerintah yang mempengaruhi iklim investasi. Berbagai kebijakan pemerintah akan memainkan peran krusial dalam menentukan iklim investasi. Investor akan cenderung merasa lebih aman berinvestasi karena hukum/regulasi jelas dan konsisten. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan secara stabil dan konsisten, investor dapat merencanakan investasi jangka panjang dengan lebih percaya diri.
Adanya perubahan kebijakan/ regulasi yang tidak terduga sebagai akibat terbentuknya kabinet gendut juga dapat menimbulkan risiko tambahan, yang dapat mengurangi minat para investor. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya tarik investasi, penting bagi Indonesia untuk memperkuat kepastian hukum dan konsistensi kebijakan, sehingga tercipta lingkungan investasi yang stabil dan dapat diprediksi. Hal ini akan menarik lebih banyak investor, yang pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi negara.
Implikasi lain dengan adanya revisi UU Kementerian yang menjadi dasar lahirnya kabinet gemuk adalah penambahan jumlah komisi di DPR RI untuk menyesuaikan penambahan jumlah kementerian. Hal ini, menurut Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F. Paulus, karena Tatib DPR RI mengakomodir setiap komisi masing-masing harus diisi setidaknya 50 orang anggota, maka jika jumlah kementerian bertambah maka jumlah anggota komisi tidak memadai bila mitra kerja juga bertambah. Dengan demikian, penambahan kementerian dapat mendorong perubahan Tatib DPR untuk mengakomodir penambahan jumlah komisi di DPR RI.
Merespon adanya perubahan Komisi di DPR RI tersebut, maka DPR RI pada tanggal 22 Oktober 2024 yang lalu telah melakukan penetapan komposisi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) periode 2024-2029. Untuk bidang tugas komisi diselaraskan dengan nomenklatur kementerian pemerintahan yang baru.
Adapun pengesahan komposisi AKD digelar dalam Rapat Paripurna ke-V Masa Parsidangan I Tahun Sidang 2024-2025 DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10/2024). DPR menyepakati jumlah dan komposisi keanggotaan Fraksi pada Komisi-Komisi dengan jumlah rata-rata, yaitu 44 dan 45 anggota pada masing-masing Komisi.
Rapat Paripurna ini juga mengesahkan Penetapan Penempatan Fraksi-Fraksi pada Pimpinan AKD DPR. Seperti diketahui, DPR periode 2024-2029 memiliki tambahan AKD yakni 2 komisi dan 1 badan yakni Badan Aspirasi. Untuk Komisi, DPR kini memiliki 13 komisi yang akan bermitra dengan kementerian/lembaga di jajaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Komentar