Denny Indrayana, Bekas Wamenkumham

Kabinet Prabowo, Haji Isam, dan Harapan Indonesia Antikorupsi

Kamis, 24/10/2024 15:11 WIB
Presiden Prabowo Subianto (depan, tengah) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (depan, keempat kanan) berfoto bersama jajaran Menteri dan Kepala Lembaga Tinggi Negara Kabinet Merah Putih yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2024).

Presiden Prabowo Subianto (depan, tengah) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (depan, keempat kanan) berfoto bersama jajaran Menteri dan Kepala Lembaga Tinggi Negara Kabinet Merah Putih yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2024).

Jakarta, law-justice.co - Banyak aspek dan cara untuk mengkajinya. Kali ini, izinkan saya menyorotinya dari sisi hukum tata negara dan prinsip antikorupsi. Dua bidang yang selama ini saya pelajari dan geluti. Dua kata kunci yang selalu menjadi perhatian, sekaligus keprihatinan saya: Konstitusi dan Korupsi.

Konstitusi, sebagai akademisi hukum tata negara. Korupsi, sebagai praktisi advokat INTEGRITY, sekaligus mantan birokrasi, Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011—2014). Bahkan, dalam hal antikorupsi, catatan perjalanan hidup saya lebih menarik lagi. Di akhir bulan Februari 2025 nanti, status tersangka korupsi saya akan berulang tahun yang ke-10. Saya ditersangkakan pada akhir Februari 2015, bersamaan dan berkaitan dengan ditersangkakannya pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto) serta penyidik KPK Novel Baswedan, sehubungan dengan gonjang-ganjing proses pemilihan Kapolri, di bulan-bulan awal kepresiden Jokowi kala itu.

Secara kasus, saya menjadi tersangka akibat berikhtiar melakukan perbaikan pelayanan publik (public services) dalam pembuatan paspor. Saya mengubah sistem pembayaran paspor dari cara manual—dengan antrian berjam-jam yang mengular dan menumbuh-suburkan praktik pungli—menjadi pembayaran secara digital (payment gateway)—yang lebih cepat, efisien, transparan, dan antikorupsi.

Maka, menulis dan bersikap kritis apa adanya tentang Kabinet Merah Putih, sebenarnya mempunyai risiko kembali diutak-atiknya status tersangka tersebut. Tetapi, dengan nawaitu ingin melihat Presiden Prabowo Subianto berhasil mengemban amanah besarnya, dan cita-cita melihat Indonesia lebih adil, lebih makmur, lebih sejahtera, lebih demokratis, dan lebih antikorupsi, saya putuskan untuk tetap menuliskan artikel ini.

“Tulisan ini adalah pertanggungjawaban moral dan intelektual saya kepada Indonesia”.

Politik Hukum Kabinet Prabowo

Secara hukum tata negara, Kabinet Merah Putih, adalah kabinet milik Presiden Prabowo Subianto. Secara teori hukum, 1000 % tidak boleh ada yang mengintervensi presiden dalam proses penyusunan kabinetnya. Penamaan Kabinet Merah Putih menunjukkan warna kepresiden Prabowo, yang memang dikenal dan diharapkan nasionalis dan patriotis.

Hak penuh presiden itulah  yang disebut dengan istilah hak prerogatif presiden.

Hak prerogatif adalah hak mutlak yang melekat pada presiden dalam menjalankan perannya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan.

Hak Prerogatif itu hanya dimiliki presiden, bukan yang lain. Bukan pula wakil presiden. Tegasnya, wakil presiden tidak mempunyai hak prerogatif. Keikutsertaan wakil presiden dalam menyusun kabinet, sebagaimana yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, adalah sepenuhnya etika dan pilihan sikap politik Presiden SBY.

Saya mengamati, keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka dalam penyusunan kabinet, relatif minim. Saya mengapresiasi pilihan politik Presiden Prabowo yang demikian. Karena, meskipun setelah putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024, dan dilanjutkan dengan pelantikan oleh MPR, secara hukum Gibran absah secara legal sebagai wakil presiden; Namun, saya tetap punya posisi moral dan intelektual bahwa, Gibran tidak layak menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Utamanya, ketika proses pencalonannya dilakukan melalui skandal Putusan 90 MK, Paman Usman untuk Gibran.

Teorinya jelas. Penyusunan kabinet adalah hak mutlak presiden. Dalam praktiknya, presiden berhadapan dengan realitas politik, yang memaksanya berkalkulasi membangun kekuatan koalisi. Maka kabinet, adalah cerminan power sharing, pembagian kue kekuasaan dengan kekuatan politik, kekuatan organisasi sosial kemasyarakatan, dan representasi kebhinekaan Indonesia. Ada perwakilan gender, wilayah, etnis, agama, bahkan sipil dan militer-polri. Maka perlu dicatat, representasi perempuan justru mengecil, dalam Kabinet Merah Putih yang justru jauh membesar.

Dalam meramu kabinet, ada unsur parpol, ormas, hingga akademisi. Setiap parpol mengusulkan namanya kepada presiden. Ormas keagamaan NU ataupun Muhammadiyah mempunyai wakilnya. Bukan hanya dua ormas besar itu, Persis juga mempunyai representasinya di kabinet. Atip Latipulhayat, adalah sahabat saya main badminton, sejak kuliah doktoral di Melbourne, Australia. Selain perwakilan akademisi, profesor pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, beliau juga adalah Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Masa Jihad 2022-2027.

Sejak diubahnya UU Kementerian Negara, sudah dapat diprediksi bahwa kabinet Presiden Prabowo Subianto akan bertambah jumlahnya. Saya sudah memprediksinya. Namun, saya tetap terkejut dengan jumlahnya yang melebihi 100 orang, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Setingkat Menteri. Belum termasuk kepala Badan, Utusan Khusus dan Penasihat Presiden. Maka inilah kabinet terbesar dalam sejarah Republik.

Di luar kursi dan porsi kabinet, beberapa hari ke depan, kita akan menyaksikan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung (Wantimpres), yang saya haqqul yaqin, jumlah orangnya juga tidak akan sedikit. Masih ada posisi pejabat eselon 1, staf khusus presiden dan menteri, duta besar, hingga posisi komisaris BUMN, yang juga akan menjadi lahan berbagi kue kekuasaan. Saya khawatir, jumlahnya akan konsisten gemuk, dan menimbulkan pertanyaan terkait koordinasi dan efisiensi.

 

KABINET AKOMODATIF ATAUKAH KABINET KOLUTIF?

Kabinet adalah cerminan koalisi pemerintahan, dan idealnya, juga cerminan oposisi yang mengontrol kekuasaan. Saya berpendapat, bukan hanya dalam sistem parlementer ada koalisi-pemerintahan, dan oposisi untuk menjadi kontrol. Dalam sistem presidensial, juga perlu ada pemerintah sebagai the rulling parties, dan semestinya ada, the controlling parties, kelompok penyeimbang, di luar pemerintahan.

Saya berpendapat, demokrasi meniscayakan perbedaan dan sikap kritis. Demokrasi bukan hanya membutuhkan koalisi, tetapi juga oposisi. Termasuk dalam sistem presidensial. Rumus bernegara yang sehat adalah, pihak yang menang Pilpres masuk koalisi, pihak yang kalah berada pada posisi oposisi.

Membangun koalisi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, yang memasukkan kompetitor pilpres 2019-nya Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan, bukan cara berpolitik yang sehat. Tetapi justru adalah cara-cara yang merusak demokrasi. Di Amerika Serikat, negara pelopor sistem presidensial, jika calon Partai Demokrat memenangkan pemilihan presiden, maka Partai Republik tidak akan masuk kabinet pemerintahan, begitu pula sebaliknya. Sehingga selalu ada kekuatan penyeimbang (balancing power) dalam sistem presidensial Amerika.

Presiden yang baik akan memberi ruang bagi oposisi, dan menganggapnya sebagai mitra kerja, sebagai pengingat. Sebagai rem agar kekuasaan terkontrol, dan tidak hilang kendali. Kekuasaan tanpa kontrol akan cenderung koruptif dan destruktif. Presiden yang baik, bukan hanya berterima kasih kepada kawan koalisi yang bersama dalam pemerintahan, tetapi juga kepada lawan oposisi, yang memberi peringatan kepadanya agar kekuasaan kepresidenan tidak tersesat dan salah jalan.

Maka, kabinet lebih dari 100 menteri dan wakil menteri tentulah kabinet yang akomodatif dari sisi representasi. Menyisakan PDI Perjuangan—walaupun ada Budi Gunawan sebagai Menkopolkam, dan Partai Nasdem, yang tidak masuk kabinet. Ini adalah kabinet kegemukan (oversized cabinet).

Secara teori, koalisi ada tiga macam. Koalisi terlalu gemuk (oversized coalition) yang menghadirkan kabinet kebesaran. Koalisi terlalu kurus (undersized coalition) yang melahirkan kabinet kekecilan. Terakhir, koalisi pas-terbatas (minimal-winning coalition) yang melahirkan kabinet ideal.

Presiden Prabowo mengakui kabinetnya berjumlah besar, dan itu diperlukan karena Indonesia adalah negara besar, dengan jumlah penduduk tertinggi keempat di dunia. Pandangan Prabowo benar ketika melihat perbandingan dengan India, negara dengan jumlah penduduk nomor satu di dunia, yang anggota kabinetnya termasuk Perdana Menteri ada 72 orang. Meskipun, masih lebih rendah dari Kabinet Merah Putih, Indonesia. Di Tiongkok sebagai negara dengan populasi terbesar kedua, jumlah kabinetnya ada 26 orang. Jumlah yang sama dengan Amerika Serikat, sebagai negara dengan populasi terbesar ketiga, yang kabinetnya terdiri dari Wakil Presiden, 15 Kementerian Negara, dan 10 pejabat setingkat menteri, sehingga totalnya ada 26 orang.

Koalisi Merah Putih yang besar tersebut diargumentasikan perlu untuk membayar janji kampanye, serta agar kementerian lebih fokus. Sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM 2011—2014, saya memahami jika kementerian itu dipecah 3—bahkan menjadi 4 karena ada Menkonya, yaitu: Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Namun, tantangan terbesar selanjutnya tetap pada koordinasi dan efisiensi.

Saat ini saja, jika tidak hati-hati, bisa hingga setahun ke depan, kabinet boleh jadi tidak akan efektif bekerja karena belum tuntasnya persoalan teknis infrastruktur kantor dan fasilitas, pengisian Pejabat Eselon 1, hingga alokasi anggaran, yang akan menjadi tantangan administratif terbesar Presiden Prabowo dan kabinetnya.

Kabinet yang berjumlah besar, bukan hanya punya kemanfaatan akomodatif dan mungkin fokus, tetapi juga punya tantangan obesitas, tidak efisien, bahkan koruptif.

Salah satu resep agar kabinet itu efektif adalah jika diisi dengan orang yang punya kapasitas-intelektual yang mumpuni dan integritas moral yang tidak terbeli, bukan hanya aspek akseptabilitas jalur kekerabatan yang bisa jadi mengabaikan prinsip meritokrasi.

Jika aspek meritokrasi ini diabaikan, maka kabinet yang oversized akan lebih cenderung kolutif-koruptif, ketimbang membangun pemerintahan yang akomodatif dan gotong-royong memecahkan persoalan bangsa, yang memang sangat rumit dan kompleks, sehingga perlu dikerjakan bersama-sama oleh banyak elemen bangsa.

 

Haji Isam dan Kabinet Prabowo

Apakah Kabinet Merah Putih mengedepankan meritokrasi. Jawabannya: iya dan tidak. Digadang-gadang sebagai kabinet zaken, tentu di dalam kabinet ini ada anggota yang punya kompetensi dan integritas. Tetapi, ada pula beberapa figur yang layak dipertanyakan mengapa dipilih menjadi anggota kabinet.

Seorang sumber yang terlibat penyusunan kabinet mengatakan, salah satu keputusan yang paling lama diambil oleh Presiden Prabowo Subianto adalah menentukan siapakah Menteri Keuangan. Ketika nama Sri Mulyani yang muncul, saya melihatnya sebagai representasi dari prinsip meritokrasi yang mengedepankan kapasitas mumpuni dan integritas tak terbeli. Sumber yang sama mengatakan, sangat sulit untuk mencari kandidat dengan kadar kwalitas sekaliber Jenderal Tito Karnavian, untuk posisi Menteri Dalam Negeri. Saya sepakat. Kinerja Mendagri Tito memang perlu diapresiasi dan dihargai, sehingga lebih dari layak untuk kembali memimpin Kemendagri.

Namun, yang perlu dicermati adalah benarkah ada perwakilan bohir dalam kabinet Merah Putih. Hal itu telah disinyalir dalam berbagai pemberitaan media massa. Termasuk investigasi jurnalistik Majalah Tempo, yang secara tegas menuliskan pengaruh Andi Syamsuddin Arsyad dalam penyusunan Kabinet Merah Putih.

Tidak aneh, jika sinyalemen pengaruh Haji Isam dalam penyusunan kabinet tersebut, menimbulkan kontroversi. Ada kekhawatiran, bahwa relasi antara penguasa dan pengusaha, tidaklah selalu konstruktif, tetapi tidak jarang menumbuhsuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Tentu relasi antara penguasa dan pengusaha tidak boleh dilarang, apalagi jika kolaborasinya untuk kepentingan rakyat secara luas. Keterlibatan Haji Isam dalam rencana mencetak sawah 1000 hektar di Merauke, Papua Selatan, demi terciptanya swasembada pangan, sebagai salah satu program utama Presiden Prabowo, tentu adalah niat baik, yang perlu didukung jika benar dilaksanakan secara konsisten. Yang perlu dicermati adalah gesekan konfliknya dengan masyarakat adat Papua dan dampaknya bagi kerusakan ekosistem lingkungan.

Haji Isam adalah crazy rich yang besar di Kalimantan Selatan, melalui usaha tambang Batubara. Di Kabupaten Tanah Bumbu, salah satu tempat tinggalnya, pandangan masyarakat terbelah menjadi dua, pendukung dan penentang. Bagi pendukungnya, Haji Isam adalah sosok dermawan yang memajukan Tanah Bumbu, dan Kalimantan Selatan, dengan membuka banyak lapangan kerja melalui grup usahanya Johnlin. Bagi penentangnya, Haji Isam adalah sosok yang problematik terkait sengketa lahan dengan warga, utamanya karena grup usaha tambang dan kelapa sawitnya.

Kedekatan Haji Isam dengan Istana sudah terbangun sejak lama. Di Pilpres 2019, Haji Isam sempat diberitakan masuk tim sukses Jokowi-Maruf Amin.

Tidak mengherankan setelah dilantik pada 20 Oktober 2019, tepat setahun kemudian, di tanggal 22 Oktober 2020, Presiden meresmikan pabrik gula Haji Isam di Bombana, Sulawesi Tenggara, yang  diberitakan Majalah Tempo, karena diduga terkait dengan Menteri Pertanian kala itu, dan saat ini, sepupu Haji Isam, Andi Amran Sulaiman. Tepat setahun setelahnya, pada 21 Oktober 2021, Presiden Jokowi kembali meresmikan pabrik biodiesel milik usaha Haji Isam, meskipun pada kisaran waktu yang sama KPK sedang melakukan proses hukum dugaan korupsi perpajakan di salah satu perusahaan sang haji.

Dengan Presiden Prabowo, sebelum KPU mengumumkan hasil Pilpres, pada 18 Maret 2024, Prabowo sudah berkunjung ke Tanah Bumbu, dan disambut Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Haji Isam di bandara Bersujud, Batu Licin, Tanah Bumbu. Sudah pula banyak diberitakan kontribusi Haji Isam untuk pilpres Prabowo. Misalnya, pesawat yang terhubung dengan Haji Isam, diberitakan digunakan untuk kampanye Prabowo. Meskipun, perlu pula dicatat, soal pesawat jet ini digunakan juga oleh para capres lainnya. Anies Baswedan menyewa Bombardier Global Express dari Limitless Aviation, yang sebelumnya milik Datuk Vinod Shekar. Ganjar Pranowo berkampanye dengan jet pribadi Hawker 800XP dari PT Whitesky Aviation, terkait dengan tim kampanyenya. Mahfud MD menggunakan Embraer 145, dikelola PT Indonesia Air Transport, milik Harry Tanoe.

Dalam berbagai pemberitaan, beberapa menteri Kabinet Merah Putih disinyalir terhubung dengan Haji Isam. Jauh sebelum pelantikan, seorang rekan bercerita Haji Isam akan mendapatkan jatah enam orang menteri. Di berbagai diskusi ada yang menyebut 9 bahkan 10,5 orang menteri. Tanpa saya paham, kenapa ada hitungan setengah itu. Beberapa nama disebutkan. Tetapi kalau bicara fakta, saya yang juga lahir di Kalimantan Selatan, daerah tinggal Haji Isam, mencatat bahwa menteri yang kerabat dan orang dekat Haji Isam minimal ada 4 (empat) orang. Satu, Sulaiman Umar, adik ipar, Wakil Menteri Kehutanan. Dua, Amran Sulaiman, diberitakan sepupu, Menteri Pertanian.

Yang ketiga, dan diduga sebagai orang dekatnya adalah, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup. Berkarir di Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, daerah Haji Isam, Hanif menjadi Kepada Dinas Kehutanan Kalsel di era Gubernur Sahbirin Noor, Paman Haji Isam. Pada 2023, Hanif diangkat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL). Pengangkatannya sebagai dirjen sempat menimbulkan kotroversi, dan diberitakan Majalah TEMPO, karena adanya dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua Panitia Seleksi almarhum Sarwono Kusumaatmadja.

Yang Keempat, adalah Dudy Purwagandhi, Menteri Perhubungan. Kiprahnya dicatat oleh Wikipedia di antaranya sebagai Dewan Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dari 2008—2009, ia menjabat sebagai Direktur PT Jhonlin Marine Trans dan Direktur PT Jhonlin Air Transport. Pada tahun 2019, Dudy aktif di politik dengan menjadi Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Dudy_Purwagandhi).

Dari empat nama itu, jika dilihat dari kompetensi keilmuannya, yang tidak sesuai adalah posisi Sulaiman Umar, yang menjadi Wakil Menteri Kehutanan. Berbeda dengan Amran Sulaiman maupun Hanif yang memang punya rekam jejak di bidang pertanian dan kehutanan, posisi menteri yang mereka sandang; Ataupun Dudy Purwagandhy, yang meskipun Sarjana Hukum, tetapi pernah menjadi direktur di perusahaan Johnlin yang bergerak di bidang perhubungan; Sulaiman Umar tidak punya latar belakang pendidikan kehutanan sama sekali.

Menurut Wikipedia, Sulaiman Umar adalah lulusan Fakultas Kedokteran, bidang yang tentu tidak berkaitan sama sekali dengan kehutanan. Meskipun, perlu dicatat juga, ketika sempat menjadi anggota DPR RI, sebelum mengundurkan diri, pada 2019—2021, salah satu mitra kerja Komisi VII, dimana Sulaiman ditempatkan, adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sulaiman_Umar_Siddiq).

Tidak ada penjelasan yang memadai kenapa seorang dengan pendidikan kedokteran, dipilih sebagai Wakil Menteri Kehutanan, dan bukan Wakil Menteri Kesehatan? Lalu, mengapa pula Hanif yang backgroundnya kehutanan, tidak berposisi sebagai Menteri Kehutanan. Pandangan yang muncul, sektor kehutanan memang strategis untuk terus dijaga, terlebih banyak potensi tambang yang berada di kawasan hutan, sehingga akses kebijakannya perlu terus dikawal dan dikuasai. Apakah itu peran Wamenhut Sulaiman Umar? Saya tidak cukup alasan menyatakan demikian, karena tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Tanpa bukti, tidak boleh ada tuduhan apapun yang mendiskreditkan seseorang dan kelompoknya.

Akhirnya, dapat ditarik benang merah, adalah fakta, bahwa beberapa anggota Kabinet Merah Putih adalah kerabat dan orang yang pernah dekat dengan Haji Isam. Apakah pengaruhnya negatif atau positif, sejarah yang akan mencatatnya. Yang pasti pengawasan harus dilakukan secara ketat, agar kedekatan itu tidak menjadi relasi kolutif dan koruptif yang merugikan publik.

Tentang korupsi, pelajaran pahit perlu diambil dari Kalsel. Hari-hari ini, Kalsel tidak mempunyai sosok gubernur. Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, yang juga paman Haji Isam, masih menghilang, setelah ditetapkan tersangka oleh KPK. Sambil bersembunyi dia mengajukan praperadilan, dan anehnya KPK belum juga menetapkan yang bersangkutan dalam status DPO, alias buron. Padahal seorang buron menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tidak bisa mengajukan praperadilan. Mengapa KPK menjadi selemah dan seteledor itu? Itu sebabnya, saya memprediksi Sahbirin Noor akan menang praperadilannya, dan status tersangkanya akan menjadi tidak sah.

Kabiner Prabowo dan Harapan Indonesia Antikorupsi

Melihat Kabinet Merah Putih Prabowo dan semangat antikorupsi, sudah banyak yang menganalisis bahwa, beberapa anggota kabinet bermasalah, ketika dihadap-hadapkan dengan prinsip antikorupsi. Salah satu kebijakan baik Presiden Jokowi adalah, ketika di awal penyusunan kabinet 2014, Jokowi melibatkan KPK. Sayangnya kebijakan baik itu tidak dilanjutkan setelahnya, bahkan Jokowi adalah salah satu aktor utama pelemahan KPK, melalui perubahan UU KPK di tahun 2019.

Maka, saya berpandangan, jika benar Presiden Prabowo sebagaimana pidatonya, ingin memberantas korupsi di Indonesia, maka satu langkah penting dan strategis yang perlu dilakukan Prabowo dalam 100 hari awal pemerintahannya adalah: Menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mengembalikan UU KPK sebelum perubahan di tahun 2019. Itu artinya, menguatkan kembali KPK sebagai komisi negara independen (independent agency), yang bergigi dan efektif memberantas korupsi.

Dasar konstitusional, kegentingan yang memaksa, sebagai syarat terbitnya perppu dengan mudah bisa diformulasikan. Salah satunya karena Indonesia nyata-nyata darurat korupsi. Pemberantasan korupsi dengan KPK yang kuat dan efektif adalah keniscayaan, untuk menghilangkan inefisiensi dan korupsi anggaran negara, yang sejatinya sudah sangat terbatas, karena besarnya pembayaran utang dan situasi ekonomi global yang tidak mudah.

KPK yang kuat adalah syarat utama dan mitra kerja strategis bagi presiden siapapun, yang secara serius ingin memberantas korupsi di tanah air. Bagi Prabowo, jika benar-benar serius memberantas korupsi, maka ada dua indikatornya. Selain mengembalikan UU KPK yang lama sebelum perubahan, dengan menerbitkan perppu; dua, dalam waktu tidak terlalu lama

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar