Tak Hanya Hutang Rp 8000T, Jokowi Juga Wariskan 16 Menteri ke Prabowo
Cengkraman Jokowi di Kabinet, Prabowo Tak Berdaya?
Ilustrasi: Bayangan Jokowi di Kabinet Prabowo. (ist)
law-justice.co - Jika tak ada aral melintang, pekan depan Indonesia akan dipimpin oleh Presiden dan Wakil Preside baru. Pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang memenangi Pilpres 2024 bakal dilantik esok (20/10/2024). Mengusung tema keberlanjutan, postur kabinet Prabowo dipastikan tidak lepas dari bayang-bayang Joko Widodo, Presiden RI ke-7. Bukan saja menghibahkan sejumlah menteri, Jokowi juga mewariskan hutang yang luar biasa. Kedua hal ini diyakini bisa menjadi tantangan sekaligus beban bagi kerja Prabowo.
Seakan audisi idol, Prabowo memanggil sejumlah orang di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan. Tercatat ada sebanyak 108 orang berlatar belakang politisi, akademisi, profesional hingga aktivis dipanggil Prabowo sepanjang dua hari awal pekan ini. Rinciannya sebanyak 49 orang dipanggil Prabowo sebagai calon menteri kabinet. Sementara 59 lainnya dijaring Menteri Pertahanan itu sebagai calon wakil menteri dan kepala badan atau lembaga negara.
Hal menarik adalah, terdapat 16 menteri Jokowi yang turut dipanggil oleh Prabowo. Hampir separuh dari kabinet Jokowi yang berjumlah 34 orang hijrah ke kabinet Prabowo. Menteri Jokowi yang dipanggil Prabowo antara lain Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, Menteri BUMN, Erick Thohir, dan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Ilustrasi: Menhan Prabowo Subianto Memberikan Hormat ke Presiden Joko Widodo. (Detik)
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri Investasi, Rosan Roeslani, Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono.
Selain menteri, sejumlah wakil menteri era Jokowi juga turut dipanggil kembali Prabowo. Mereka juga digadang-gadang akan masuk kabinet Prabowo-Gibran mendatang. Para wakil menteri Jokowi itu diantaranya Wakil Menteri Pertahanan, M Herindra, Wakil Menteri ATR, Raja Juli Antoni, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo.
Selain itu ada pula Wakil Menkominfo, Angga Raka Prabowo, Wakil Menteri Investasi, Yuliot Tanjung, Wakil Menkominfo, Nezar Patria, Menkominfo, Budi Arie Setiadi, Wakil Menaker, Afriansyah Noor, Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono dan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara. Di sisi kabinet Prabowo yang disebut bakal diisi 46 menteri, alokasi untuk eks menteri Jokowi hampir mencapai 30 persen. Angka ini jauh lenih ebsar dari calon menteri yang berasal dari kadernya sendiri.
Sebenarnya, sinyalemen menggunakan menteri Jokowi ini sudah pernah disampaikan oleh Prabowo jauh hari saat memberikan pidato di Jakarta Convention Center, Rabu (9/10/2024). Prabowo bicara mengenai Presiden Jokowi yang mengisi kabinetnya dengan orang terbaik. "Bahkan dalam menyusun kabinet kok saya melihat banyak juga ya menteri yang akan datang ya banyak berada di kabinet sekarang," kata Prabowo, dalam sambutannya.
Prabowo menjelaskan, penerima mandat dari rakyat untuk menjadi presiden RI memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Sehingga ia mengatakan sejalan dengan Jokowi dalam menyusun kabinetnya untuk mencari orang yang terbaik. "Kalau kita mau menyusun dan memilih tim sepak bola timnas sepak bola apa yang dicari? Adalah pemain terbaik, kita tidak pikirkan orang tuanya siapa, agamanya apa, sukunya apa, rasnya apa, tapi dia mampu atau tidak dia bisa atau tidak, dia berjuang atau tidak, mampu atau tidak dia deliver berbuat yang terbaik untuk bangsa dan rakyat nah itu yang kita cari," kata Prabowo.
Sosok calon pengisi Kabinet Prabowo saat kegiatan briefing di Hambalang, Jawa Barat, Kamis (17/10/2024). (Detik)
Namun, persoalannya adalah sejumlah menteri yang dipanggil tersebut ternyata memiliki catatan pernah bersentuhan dengan hukum. Misalnya Menpora Dito Ariotedjo yang diduga menerima aliran dana sebesar Rp27 miliar untuk pengamanan kasus korupsi BTS 4G. Dito membantah menerima uang tersebut. Hadir pula sosok Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang pernah dimintai keterangan oleh Kejagung soal korupsi izin ekspor minyak sawit mentah. Namun, Kejagung menyatakan belum menemukan adanya keterlibatan Airlangga lebih jauh soal kasus ini. Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Trenggono juga pernah dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi di PT Telkom.
Masifnya kehadiran menteri-menteri Jokowi, sedikit banyak akan memberi warna dan corak bagi pemerintahan Prabowo. Padahal, tidak banyak prestasi yang ditunjukkan oleh kabinet periode kedua Jokowi ini. Terutama di sektor ekonomi, Meskipun, mereka kerap berkilah karena wabah Covid19. Hal ini sempat membuat ekonom Prof Didik J Rachbini meminta pemerintahan Prabowo Subianto tidak menjalankan kebijakan keuangan negara yang sama dengan pemerintahan Jokowi jika tidak ingin mengalami krisis moneter yang sangat dalam.
Salah satu yang harus diperhatikan dalam pemerintahan ke depan adalah soal kebijakan ekonomi yang perlu dipikirkan secara matang dan perlu melibatkan akademisi. “Kalau nanti menjalankan kebijakan yang sama dengan Jokowi, krisis akan lebih dalam krisisnya,” ucap Didik kepada Law-Justice, Jumat (18/10/2024).
Didik menuturkan bahwa utang suatu negara akan berpengaruh terhadap sejumlah kebijakan lainnya, tidak hanya satu kebijakan keuangan semata. Seluruh keputusan yang dilakukan oleh pejabat negara soal utang ini, akan berpengaruh pada jalannya sebuah pemerintahan. "Sehingga syarat dari pengambilan keputusan di domain publik itu harus menyertakan secara demokratis pihak-pihak yang terkait di dalam utang tersebut pembayar pajak yaitu masyarakat,” tuturnya.
Kedeputian III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden Edy Priyono mengamini utang di era Presiden Jokowi mengalami peningkatan. Hal ini membuat berat APBN dari tahun ke tahun. "Utang pemerintah terus meningkat, banyak kritik dan itu benar. Kita nggak mau sembunyikan itu. Dan sekarang ini posisinya 20 persen dari pengeluaran. Belanja kita itu digunakan untuk membayar cicilan utang kita," kata Edy melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (18/10/2024).
Rata-rata pertumbuhan utang sepanjang 2014-2023, mencapai 13,8 persen per tahun, termasuk periode pandemi COVID-19. Meskipun beberapa indikator masih bisa dikelola dengan baik, beban pembayaran bunga utang setiap tahun, membesar. Kondisi ini mempersempit ruang fiskal. Selain itu, Edy membeberkan sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Misalnya, masih tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Pada 2014-2019, skor ICOR mencapai 6,5 persen. Kemudian melesat menjadi 6,9 selama periode 2019-2024.
Ia menyebut, seharusnya skor ICOR berada di level 4 persen, tetapi kini sudah terlanjur bertengger di level 6 persen. Kemungkinan, hal itu berkaitan dengan kebutuhan investasi yang semakin besar, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. "Semakin tinggi ICOR artinya semakin tidak efisien atau boros. Ini menjadi PR kita yang tidak mudah diselesaikan. Karena memerlukan langkah yang konsisten dan harus jangka panjang," tuturnya.
Warisan Hutang dan Strategi Gali Lobang Tutup Lobang
Dalam postur Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) 2025 jumlah utang hampir setengah dari alokasi APBN. Jumlah utang per Agustus 2024 mencapai Rp8.461,93 triliun. Dari jumlah itu sebanyak Rp1.350 triliun bakal jatuh tempo pada tahun depan atau saat masa pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Menyiasati ribuan triliun utang yang jatuh tempo, pemerintah justru menarik utang kembali. Jumlahnya tembus Rp775.867,5 triliun. Ratusan triliun utang yang ditarik tahun depan itu berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp642.562,0 triliun dan pinjaman senilai Rp133.305,4 triliun. Angka pinjaman itu hanya separuh menambal beban utang jatuh tempo yang rinciannya Rp552,9 triliun untuk beban bunga dan sisanya merupakan utang pokok.
Secara total, rasio dari total utang Rp8 Triliun pemerintah saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,49 persen. Jumlah rasio ini menjadi salah satu yang tertinggi sejak periode kedua Jokowi. Rasio utang sempat tembus 40,7 persen pada 2021. Tren rasio utang rezim Jokowi sejak 2014 sampai 2014 relatif naik. Pada mulanya, rasio utang di angka 24,7 persen, sebelum akhirnya naik dua digit pada tahun terakhir Jokowi menjabat.
Dalam postur APBN 2025, defisit anggaran pun tembus 2,53 persen. Pendapatan negara dengan belanja negara pun tampak jomplang jumlahnya dengan perbandingan Rp3.621 triliun untuk belanja negara dan hanya Rp3.005 triliun pendapatan negara. Jumlah defisit tersebut terpantau naik senilai 1,61 persen dibanding tahun 2023. Secara akumulasi dua periode Jokowi, defisit anggaran melebar 171,82 persen, dari Rp226,69 triliun menjadi Rp616,19 triliun. Rasio utang terhadap PDB juga melonjak 58,42 persen, dari 24,7 persen menjadi 39,13 persen dengan lonjakan pembiayan utang sebesar hingga 203,39 persen—yang semula Rp255,73 triliun pada 2014.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menekankan utang Rp8 ribuan triliun paling banyak diambil dari SBN, baik yang berasal dari domestik maupun berbasis valuta asing atau luar negeri. Dengan naiknya rasio utang dan pembiayaan utang setiap tahunnya, kinerja keuangan pemerintah sama saja ‘gali lubang tutup lubang’. “Kondisi fiskal Indonesia hari ini masih sangat rapuh dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk melakukan inovasi,” kata Bhima kepada Law-justice, Kamis (17/10/2024).
Dengan utang yang menggunung, Bhima tidak habis pikir dengan capaian pembiayan investasi yang jumlahnya tidak berimbang untuk menopang perbaikan ekonomi. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2014 – 2024, pembiayan utang di Indonesia selalu di atas 74% dari total pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di sisi lain, total pembiayaan pemerintah untuk investasi tidak pernah mencapai lebih dari 17,5% sejak 2014 – 2024 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Walhasil, sejarah mencatat pembiayaan utang Indonesia selalu jauh lebih besar daripada pembiayaan investasi.
“Skenario ini sering kali menyebabkan defisit anggaran secara terus-menerus, yang mengharuskan pinjaman lebih lanjut dan menciptakan lingkaran setan akumulasi utang,” kata Bhima.
Selain pembiayaan investasi yang merosot dibanding utang, alokasi belanja pemerintah pun tidak berpihak pada upaya pemerataan ekonomi. Bhima menyoroti belanja pemerintah didominasi oleh belanja pegawai dan barang, sementara belanja modal yang berdampak langsung pada masyarakat justru terendah. Di sisi lain, anggaran untuk pertahanan dan keamanan cenderung meningkat, bahkan melebihi anggaran kesehatan pada 2020 saat pandemi. Perbandingan belanja terkait perlindugan sosial dibanding belanja pertahanan dan keamanan adalah 124,87 persen vs 199,04 persen.
Dalam postur APBN 2025, ketimpangan itu tampak dari porsi anggaran belanja untuk pemerintah yang tembus Rp2.701 triliun dibanding anggaran subsidi yang hanya Rp309,1 triliun. Kondisi ini, yang kata Bhima mengkhawatirkan. “Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kondisi justru akan memperlebar ketimpangan antara si kaya dan si miskin,” ujarnya.
Dari sisi pendapatan, Bhima juga mewanti-wanti rasio pajak dalam 10 tahun terakhir relatif menurun. Adapun penurunan rasio pajak di bawah kepemimpinan Jokowi cukup tajam sebesar 26,28 persen dari 13,7 persen pada 2014 menjadi 10,1 persen pada 2024. Kondisi ini, kata Bhima, dimungkinkan karena pemerintah tidak optimal meningkatkan jumlah penerimaan negara dari pajak penghasilan, khususnya pajak penghasilan para miliuner yang selama ini menikmati kue ekonomi lebih besar. Padahal, pengenaan pajak bagi orang-orang super kaya berpotensi mendongkrak penerimaan dan rasio pajak secara signifikan. “Kondisi ini cukup membahayakan bagi perekonomian Indonesia,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. (Bisnis)
Yustinus Prastowo mengatakan postur APBN mengakomodir kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani ini, mengatakan bahwa defisit anggaran yang tercermin dalam APBN dalam kondisi yang baik-baik saja. Begitu pun dengan rasio utang beserta pembiayaan utang dari anggaran negara, yang menurutnya dalam batas aman.
Kondisi aman yang dia maksud merujuk Undang-undang nomor 17/2003 tentang keuangan negara. Dalam beleid itu, batas maksimal rasio utang terhadap PDB dipatok 60 persen. Adapun untuk defisit anggaran dibatasi tertinggi senilai 3 persen. “APBN 2025 sudah memperhitungkan kondisi fiskal kini dan melihat masa depan (masa pemerintahan mendatang),” kata Yustinus kepada Law-justice, Kamis (17/10/2024).
Ihwal utang yang menggunung, dia membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan negara lain. Menurutnya, rasio utang Indonesia terbilang kecil dibanding Jepang yang tembus ratusan persen. “Ini (perbandingan rasio utang) menunjukkan kondisi fiskal kita tidak rawan,” katanya.
Namun, Bhima menekankan pemerintah menjadikan selisih rasio utang dengan negara lain ini sebagai alasan untuk mengeklaim perekonomian dan utang negara masih aman. Semestinya, pemerintah perlu mengingat bahwa permasalahan utang tidak cukup dilihat dari rasio atau persentase aman saja, tetapi juga pertimbangan atas jenis kreditur dan penggunaan utang.
Sebagai perbandingan, rasio utang terhadap PDB di Jepang sebesar 231 persen dan di Yunani sebesar 182 persen pada Juni 2022. Secara eksplisit, rasio utang kedua negara ini jelas dua kali lipat lebih tinggi daripada rasio utang di Indonesia. Akan tetapi, Jepang tergolong memiliki kerentanan utang yang lebih rendah daripada Indonesia ataupun Yunani.
Selain itu, rasio pembayaran utang negara maju terhadap total belanja jauh di bawah Indonesia. Semisal Jepang yang porsi pembayaran bunga utang terhadap total belanjanya hanya 6,2 persen. Sedangkan, rasio utang Indonesia yang hampir tembus 40 persen hanya memiliki porsi 20,5 persen terhadap belanja. “Rasio utang terhadap PDB di Indonesia yang masih di bawah ambang batas menurut Undang-Undang tidak dapat sepenuhnya dijadikan alasan untuk terus menambah utang negara,” kata Bhima.
Terkait dengan beban utang pemerintahan, Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 Fauzi Amro menyatakan bahwa perlu adanya kreativitas dalam memberikan ruang fiskal bagi pemerintahan baru. Menurutnya dengan beban utang dan beban pembiayaan lainnya, maka dapat membatasi gerak pemerintahan baru dalam menjalankan visi-misi mereka.
“Kalau lihat postur APBN sekarang hampir tidak memungkinkan visi misi Pak Prabowo itu bisa dilaksanakan 100 persen. Karena apa? Karena terbeban biaya utang; kedua, terbeban IKN, yang ketiga terbeban oleh (program) makan siang gratis sehingga kreativitas untuk melakukan anggaran terhadap visi misi itu hampir dipastikan sangat minim,” kata Fauzi kepada Law-Justice, Selasa (15/10/2024).
Fauzi lantas meminta pemerintah juga kreatif dalam mendongkrak pendapatan negara. “Oleh sebab itu harus ada kreativitas, apakah pendapatan negara digenjot? Apakah PNPB kita digenjot? ataukah utang ini akan bertambah” katanya.
Politisi Fraksi Partai NasDem ini mengingatkan bahwa selain utang negara, ada juga utang untuk pembiayaan kekayaan negara yang dipisahkan. Ia menilai rasio utang masih terhitung normal namun ia juga mengingatkan adanya sejumlah utang jatuh tempo. Menurutnya, defisit di nota keuangan itu berada di angka Rp 60 Triliun dan terdapat pula utang jatuh tempo sekitar 700 triliun. "Nah oleh sebab itu menurut saya sehingga nanti siapapun Menteri Keuangan ke depan ada ruang fiskal yang tinggi yang besar sehingga bisa melakukan visi dan misi Pak Prabowo di masa-masa yang akan datang,” ujarnya.
Anggota DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti potensi krisis ekonomi yang mengancam Indonesia di masa mendatang. Hal ini disebabkan oleh tingginya utang negara yang telah mencapai Rp 8.000 triliun. Misbakhun mengatakan bahwa utang Indonesia berpotensi menimbulkan krisis ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Ia menyebut bahwa ada tiga indikator yang dapat menjadi pemicu krisis ekonomi. "Jika utang tak dikelola baik bisa menimbulkan krisis ekonomi dan bisa mengakibatkan harga beras yang tinggi, harga energi yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang melemah," kata Misbakhun melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (18/10/2024).
Misbakhun mengungkapkan bahwa ketiga indikator tersebut telah mulai muncul di Indonesia. Harga beras yang pernah mengalami kenaikan, harga energi juga semakin tinggi, dan nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut Misbakhun, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi potensi krisis ekonomi tersebut. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi belanja negara yang tidak penting. "Misalnya, pembelian senjata yang tidak perlu dan pengeluaran tidak produktif lainnya," ungkapnya.
Misbakhun juga meminta kepada presiden terpilih Prabowo Subianto untuk fokus pada pengelolaan utang negara. Ia menilai bahwa calon presiden yang terpilih harus memiliki komitmen untuk mengurangi utang negara dan meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi belanja negara yang tidak penting. "Bila hal tersebut bisa dilakukan saya yakin pemerintahan kedepan bisa lebih baik dalam pengelolaan utang negara," ujarnya.
Beban Korupsi
Faktor koupsi dan integritas pemerintahan ternyata menjadi faktor yang turut menyu Bng rapuhnya kondisi fiskal di Indonesia. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, mengatakan kerugian keuangan negara semasa pemerintahan Jokowi mencapai Rp290 triliun. Jumlah itu didapat dari hasil sidang kasus korupsi yang di dalamnya juga melibatkan pejabat negara hingga aktor politik di parlemen. Semisal mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Plate dalam kasus korupsi BTS 4G dengan total kerugian keuangan negara tembus Rp6 triliun lebih.
Menukil data ICW, dalam lima tahun terakhir, jumlah kerugian keuangan negara paling banyak terdapat pada 2021, senilai Rp62,931 triliun. Jumlah kerugian terbesar lainnya terdapat pada 2022, sebanyak Rp48,786 triliun dan Rp56,075 pada 2023.
Kata Yassar, rumus klasik soal korupsi anggaran publik berpangkal pada lemahnya aspek pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh penegak hukum. “Ketika anggaran publik dirancang sedemikian rupa untuk kepentingan publik, tapi ketika tidak ada ekosistem yang menjamin transparansi dan antikorupsi, ya akan selalu bocor anggaran negara,” kata Yassar kepada Law-justice, Jumat (19/10/2024).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia. (ist)
Menurutnya, menjamurnya korupsi di Indonesia didukung oleh penegakan hukum yang setengah hati. Preseden buruk seperti pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK pada 2019 melanggengkan calon koruptor menggerogoti APBN. Padahal, kinerja KPK sebelum adanya revisi terbilang cukup maksimal karena berhasil menjerat aktor utama korupsi. Semisal kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto pada 2017. Kasus bancakan itu merugikan keuangan negara Rp2 triliun lebih. “Dalam artian, mereka melihat pemberantasan korupsi yang lemah, sekalinya pun tertangkap, vonisnya rendah. Jadi, mereka mengkalkulasi tidak rugi signifikan kalau melakukan korupsi,” ujarnya.
Masih merujuk data ICW, tren vonis rendah mendominasi hasil sidang di pengadilan tingkat pertama sepanjang 2020-2023. Mulanya vonis rendah pada 2020 berkisar 760 vonis hingga terus naik pada 2022 dengan jumlah 1515 vonis. Sedangkan, vonis berat hanya terbilang belasan hingga puluhan dalam rentang waktu tersebut. Bahkan pada 2023, hanya ada 10 vonis berat untuk koruptor.
Yassar pesimis dengan kemauan institusi penegakan hukum terkait korupsi di rezim yang akan datang. Karena belum ada tanda-tanda perbaikan. Ditambah, komposisi penyelenggara negara yang bakal mengisi pos kementerian, lembaga negara hingga parlemen, beberapa di antaranya diduga terlibat korupsi. “Tren yang sudah selama 10 tahun ini akan berulang. Dalam artian, ya akar masalah korupsi tidak bisa diselesaikan,” katanya.
Korupsi politik, menurutnya, bakal terus menjamur selama mahar politik itu mahal. Seperti ongkos kampanye para legislator. “Seringkali politisi di parlemen mengembalikan modal dengan cara korupsi,” kata dia.
Sedangkan, di level kementerian, korupsi bisa terjadi karena ada kelindan dengan level eksekutif sehingga korupsi tidak dilakukan sendiri. Dalam praktiknya, menteri melakukan korupsi dengan melibatkan relasi pebisnis atau swasta. Lain itu, politik balas budi para menteri yang diberikan jabatan, menjadi catatan lain langgengnya laku bancakan. “Politik balas budi bisa berujung pada tindak korupsi,” tuturnya.
Tabel Tren Kerugian Negara 2018-2023. (ICW)
Melihat fakta yang ada, sulit berharap Prabowo bakal sprint di kesempatan pertama. Alih-alih, pemerintahan mendatang bakal direpotkan oleh persoalan klasik, tambal sulam hutang dan pembenahan integritas birokrasi. Warisan perilaku koruptif, terutama di periode kedua Jokowi, merupakan pekerjaan rumah paling besar yang harus dihadapi oleh Prabowo. Sebaik apapun konsep eknomi dan pemerintahan, jika operatornya masih koruptif, maka jangan harap konsep bisa berjalan deangan baik.
Pemberantasan korupsi yang masif dan terarah laiknya menjadi salah satu program andalan Prabowo di seratus hari petama. Pemberantasan korupsi, meskipun berat, merupakan satu-satunya harapan untuk memberikan efek dominan dalam kinerja pemerintahan. Ditambah lagi, ada faktor loyalitas yang mesti segrea diantisipasi oleh Prabowo.
Di sektor ekonomi, di awal pemerintahannya, tanpakanya Prabowo sudah tunduk terhadap rezim hutang yang diwariskan oleh Pemerintahan Jokowi. Bukan hanya menerima limpahan hutang, Prabowo pun mendapat bonus menteri ekonomi Jokowi. Publik yang sempoat berharap akan ada perubahan yang signifikan pada muka perekonomian nasional, tampaknya mesti bersabar. Sejumlah nama yang digadang-gadang bakal mengisi pos-pos ekonomi masih diisi muka-muka lawas. Apakah Prabowo akan mampu mmebuktika dirinya adalah nahkoda yang lebih baik dari Jokowi dengan awak kapal yang relatif sama? Waktu yang akan menilai.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar