Nawaitu Redaksi
Soal Kelanjutan IKN, Prabowo Maju Kena Mundur Kena

Lokasi IKN di Kalimantan Timur (ekonomi.bisnis.com)
Jakarta, law-justice.co - Seperti diketahui bersama, Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) telah diundangkan tanggal 15 Februari 2022, dan mulai berlaku saat diundangkan, seperti bunyi Pasal 44: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam hal UU IKN sudah berlaku maka seluruh karakteristik yang melekat pada Ibukota seharusnya juga sudah berlaku, termasuk kedudukan, fungsi dan peran kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara.
Tetapi, Pasal 39 ayat (1) menetapkan kedudukan, fungsi dan peran Ibu Kota Negara masih berada di Provinsi DKI Jakarta, sampai dengan adanya Keputusan Presiden (Kepres) yang menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara (dari Jakarta ke Nusantara). Apalagi dengan lahirnya Undang Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).
Yang mengejutkan, UU DKJ sendiri , meskipun sudah diundangkan tetapi belum diberlakukan. Artinya, Jakarta masih berstatus ibukota, seperti ditegaskan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 63 dan Pasal 64 UU DKJ. Pasal 63: Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan penetapan Kepres mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kini, sampai menjelang lengser dari kursinya, Presiden Jokowi nampaknya enggan untuk menandatangani Kepres pindah ibukota.Mengapa Jokowi enggan untuk menandangani Kepres tentang pindah ibukota yang menjadi proyek kebanggaannya ?, Benarkah Prabowo sedang mengalami dilema ketika Kepres tentang pindah ibukota harus ditandatangani olehnya ?
Enggan Tanda Tangan
Seperti diberitakan, Presiden menyampaikan tidak dapat memutuskan keputusan-keputusan strategis termasuk menandatangani Kepres tentang pindah ibukota di penghujung masa jabatannya. Karena hal tersebut menyangkut kesiapan segala sesuatu di ibu kota."Sekali lagi saya sampaikan, memindahkan ibu kota itu tidak hanya urusan fisiknya saja, tapi membangun ekosistemnya itu yang perlu dan ekosistem itu harus jadi," ujarnya.
Jokowi mengatakan kepindahan ibu kota harus memastikan kesiapan segala infrastruktur pendukung seperti rumah sakit, sarana pendidikan mulai TK, SD, SMP/SMK hingga universitas, serta perlu ada pusat keramaian seperti restoran dan warung-warung dan prasarana lainnya
"Kemudian masalah yang berkaitan dengan logistik, di mana kita mencari sesuatu barang, di mana kita mencari sesuatu, ingin beli barang, semuanya itu harus siap. Kalau sekarang apartemennya siap, tapi kantornya belum, mau apa," kata dia.
Oleh karena itu dia menyampaikan bahwa Keppres selayaknya ditandatangani saat semua hal itu sudah siap yakni pada era kepemimpinan Prabowo Subianto nanti setelah resmi menjadi Presiden Republik Indonesia.
"Ya mestinya gitu, Presiden baru Pak Prabowo (yang menandatangani)," kata Presiden Joko Widodo usai membuka Nusantara TNI Fun Run di IKN, Kalimantan Timur, Minggu, 6 Oktober 2024 seperti dikutip media.
Ada yang menyatakan bahwa keenggananan Jokowi untuk tanda tangan Kepres pindah ibukota bukan semata mata karena alasan teknis semata tetapi menjadi strateginya untuk “cuci tangan” dari kebijakan yang kontroversial pada masa pemerintahannya. Karena itu ia ingin supaya beban IKN sebagai Ibukota dialihkan kepada Prabowo yang menjadi penggantinya.
Kalau benar nantinya Prabowo yang akan tanda tangan Kepres pindah ibukota maka berarti ia akan komit untuk meneruskan proyek IKN tersebut dan komit pula menanggung segala konsekuensinya. Apakah dalam kaitan ini Prabowo telah memikirkannya ?. Maukah Prabowo “ditanam” di IKN dengan segala keterbatasan fasilitasnya sementara wakilnya Gibran tetap di Jakarta sebagai pemimpin Dewan Kawasan Aglomerasi yang wilayahnya meliputi Jakarta dan sekitarnya ?. Apakah Prabowo sebagai presiden terpilih bersedia untuk “dijebak” Jokowi dengan melaksanakan program warisannya yaitu pindah ibukota ?.
Maju Kena Mundur Kena
Bagi Prabowo bisa jadi keberadaan proyek IKN yang digagas oleh Jokowi itu seperti makan buah simalakama. Kalau terus maju dengan bersedia menandatangani Kepres pindah ibukota, sebagaimana yang diharapkan oleh Jokowi, berarti ia akan menanggung segala resikonya. Demikian pula kalau kemudian mundur tidak mau meneruskan proyek IKN dengan tidak bersedia menandatangani beleid tentang pindah ibukota, akan memunculkan resiko pula.
Kalau di identifikasi, kesediaan Prabowo menandatangani Kepres pindah ibukota, ada plus dan minusnya, diantaranya:
Pertama, Komitmen Untuk Melanjutkan vs Tidak Aspiratif. Sejauh ini dalam berbagai kesempatan Prabowo telah menyatakan untuk bertekad melanjutkan IKN yang telah di canangkan pembangunannya di era pemerintah Jokowi berkuasa. Dengan adanya kesediaan Prabowo menandatangani Kepres pindah ibukota mengandung makna bahwa Prabowo bukan tipe pemimpin yang mencla mencle, pagi dele sore tempe, melainkan bisa dipegang ucapannya.
Namun dengan menandatangani Kepres pindah Ibukota, Prabowo akan dinilai juga sebagai pemimpin yang tidak peka terhadap aspirasi sebagian besar rakyat Indonesia yang kebanyakan menolak pindah ibukota.
Menurut hasil survei Indostrategic bertajuk "Keberlanjutan Vs Perubahan: Dinamika Peta Politik Menuju Pemilu 2024" yang dirilis Jumat (14/7), hanya 40,1 persen responden setuju dengan pindah ibu kota negara. Sementara, 57,3 persen responden mengaku tidak menyetujuinya.
Dalam survei tersebut disebutkan beberapa alasan yang menjadikan publik tidak setuju pindah ibu kota negara. Yakni, biaya pembangunan lebih baik digunakan untuk hal yang lebih mendesak (46,2 persen).Berikutnya, terlalu tergesa-gesa (20,8 persen), belum mendesak dalam waktu dekat (16,5 persen), Jakarta masih pantas menjadi ibu kota negara (8,2 persen).
Sementara itu Lembaga Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang didirikan Hendri Satrio itu mengungkapkan ada 61,9 persen warga yang tidak setuju pindah ibukota. Menurut Direktur Eksekutif KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo dalam rilisnya ada banyak alasan yang disampaikan responden terkait penolakannya terhadap pemindahan IKN. Namun, paling dominan, yakni terkait kocek negara yang bakal digelontorkan untuk pembiayaan IKN.
“Yang tidak setuju ini beralasan pemindahan Ibu Kota menjadi pemborosan anggaran. Jadi, cuma merusak sentimen publik terhadap pemerintah kalau dipaksakan,” jelas Kunto sebagaimana dikutip media.
Dengan demikian kalau nantinya Prabowo tetap ngotot menandatangani Kepres pindah ibukota akan sama halnya mengkhianati aspirasi rakyat yaitu hanya menuruti maunya Jokowi, elite pendukung dan pemerintah yang berbeda dengan maunya rakyat pada umumnya.
Kedua, Sebagai Tanda Kesetiaan Prabowo pada Jokowi vs Ketidakberdayaan . Dengan kesediaan Prabowo tanda tangan Kepres pindah ibukota seperti halnya yang juga diharapkan oleh Jokowi maka hal ini merupakan wujud kesetiaan Prabowo pada orang yang telah berjasa mengantarkannya meraih kursi sebagai orang pertama di Indonesia.
Karena publik sudah memaklumi bahwa Prabowo sulit menang pada Pilpres yang lalu kalau Jokowi tidak berada dibelakangnya. Dengan kekuatan birokrasi dan aparat yang membekinginya, kemenangan ada dipihaknya. Tak masalah kalau kemudian ada yang menyebut sebagai pemilu paling brutal selama berdirinya negara yang bernama Indonesia
Namun dengan kesediaan Prabowo menandatangani Kepres pindah ibukota akan dinilai juga sebagai wujud ketidakberdayaan Prabowo pada pengaruh Jokowi meskipun Jokowi sudah tidak lagi berkuasa.
Prabowo akan dinilai sebagai sosok pemimpin yang terlalu lemah dalam menentukan sikapnya yang seharusnya lepas dari bayang bayang kekuatan rejim yang berkuasa sebelumnya. Sebagai presiden terpilih yang mendapatkan mandat rakyat, semestinya Prabowo percaya diri menentukan sikapnya. Tidak dibebani dengan keharusan menjalankan proyek proyek mercu suar yang prosesnya dipaksakan, tida aspiratif dan tergesa gesa.
Ketiga, Berjasa Menyelamatkan Proyek IKN Yang Terancam Mangkrak vs Pemborosan Anggaran Negara. Sejauh ini Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah menghabiskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp51,4 triliun sejak 2022 hingga Agustus 2024. Kita bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sampai Prabowo tidak mau menandatangani Kepres pindah ibukota. Maka proyek IKN akan mangkrak tidak berlanjut sebagaimana mestinya.
Sehingga dengan kesediaan Prabowo tanda tangan Kepres pindah ibukota akan berarti sama artinya dengan upayanya menyelamatkan uang negara yang sudah terlanjur ditanam di Penajam Pasir Utara sebagai ibukota baru Indonesia.
Namun dengan kesediaan Prabowo tanda tangan Kepres pindah ibukota, ada yang menilai sebagai bentuk keberlanjutan pelaksanaan proyek yang hanya akan menguras anggaran negara. Prabowo akan dinilai tidak peka pada kebutuhan rakyat yang lebih mendesak yang seharusnya didahulukan ketimbang pindah ibukota. Sebagai contoh anggaran untuk pengentasan kemiskinan, kesehatan, Pendidikan dan kebutuhan yang menyangkut hajat hidup rakyat pada umumnya.
Keempat, Komitmen Pemerataan Pembangunan vs Menghindar Masalah. Menurut Presiden Jokowi, urgensi pemindahan ibu kota negara karena beban DKI Jakarta dan Pulau Jawa sudah begitu berat, seperti beban kemacetan, banjir, beban polusi, beban kepadatan hingga penduduk. Adapun alasan utama dibangunnya IKN menurut Jokowi adalah pemerataan baik dari sisi ekonomi, penduduk, maupun pembangunan.
Kesediaan Prabowo menandatangani Kepres pindah ibukota berarti mendukung upaya untuk adanya pemerataan pembangunan selain sebagai respon dari kondisi Jakarta yang sudah begitu padat, macet dan banjir serta masalah polusi udaranya.
Namun kesediaan Prabowo menandatangani Kepres pindah ibukota dinilai sama saja dengan menghindar masalah yang terjadi di ibukota Jakarta.Masalah yang terjadi di Jakarta seharusnya diselesaikan, bukan justru ditinggalkan begitu saja.
Jadi ketika di Jakarta menghadapi masalah, maka masalah lingkungan hidup, masalah lalu lintas, kepadatan penduduk, ini harus diselesaikan. Kalau kemudian ditinggalkan tidak kemudian membuat masalah yang ada otomatis selesai, justru ini yang harus dibereskan segera.
Kelima, Melanjutkan Kebijakan Yang Sudah Diputuskan Bersama vs Mengamini Kebijakan Yang Salah.
Seperti diketahui bersama, UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah disahkan lewat satu ketukan palu Ketua DPR Puan Maharani setelah mendapat persetujuan secara aklamasi oleh para anggota rapat paripurna ke-13 DPR masa sidang 2021-2022 pada Selasa (18/01).
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan dalam rapat kerja dengan pemerintah sebelumnya juga telah disepakati bahwa Ibu Kota Negara yang baru itu diberi nama Nusantara. Hampir semua dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang, kecuali fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Dengan telah disahkannya UU IKN, maka Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai wajib menjalankan amanat UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Oleh karena itu kalau nanti Prabowo tidak bersedia menandatangani Kepres pindah ibukota maka ia akan dinilai tidak taat terhadap UU yang telah disepakati bersama.
Sebaliknya ketika nanti Prabowo bersedia menandatangani Kepres tentang pindah ibukota maka bisa dinilai mentoleransi serangkaian pelanggaran yang terjadi selama proses pembahasan UU IKN. Untuk diketahui, seperti halnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba, proses pembentukan UU IKN ini diniai bertentangan dengan UUD 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan.
Dalam hal ini pembuatan regulasi hukum di rezim pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI dinilai telah dibajak segelintir oligarki untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka dengan mengabaikan kepentingan rakyat yang notabene pemilik kedaulatan yang sesungguhnya
Oleh karena itu ketika Prabowo nantinya bersedia tanda tangan Kepres pindah ibukota akan sama artinya dengan mengamini keberadaan UU IKN yang dinilai cacat hukum yaitu cacat formil dan materiil dalam proses pembahasannya.
Dengan adanya serangkaian dilema sebagaimana dikemukakan diatas sepertinya Prabowo akan sedikit gamang ketika memutuskan untuk tanda tangan Kepres pindah ibukota. Namun patut diduga pada akhirnya Prabowo akan tanda tangan juga.
Karena walau bagaimanapun pembangunan IKN akan banyak menyedot anggaran negara pada hal kondisi keuangan negara saat ini tidak sedang tidak baik baik saja. Lebih lebih Prabowo sendiri sebenarnya mempunyai program unggulan seperti makan bergizi gratis yang juga membutuhkan banyak anggaran negara.
Kita patut menduga, Prabowo akan tetap melanjutkan proyek IKN tetapi tidak full support alias sekedarnya saja. Toh Proyek IKN adalah proyek jangka panjang yang perlu waktu lama untuk bisa mewujudkannya. Yang penting tidak mangkrak karena kalau mangkrak sama saja dengan membuang buang anggaran negara.
Bahwa Prabowo akan melanjutkan Proyek IKN tetapi ala kadarnya saja dapat dibaca dari alokasi anggaran untuk IKN di tahun 2025 yang hanya sekitaqr 15 Triliun saja. Seperti diketahui Pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 15 triliun untuk kelanjutan pembangunan IKN di tahun 2025. Anggaran kelanjutan pembangunan IKN itu sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 atau tahun pertama pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. "Total untuk IKN itu Rp 15 triliun," kata Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono dalam diskusi di Anyer, Banten, Rabu, (25/9/2024) seperti dikutip media.
Lalu bagaimana halnya dengan Jokowi yang telah mencanangkan ambisi pindah ibukota dengan perencanaan yang tidak matang, menyalahi aturan, dilandasi ketidakjujuran dan sarat penyimpangan,sehingga terkesan Prabowo harus “Cuci piring” untuk membersihkannya ?.
Agar kedepan Presiden presiden berikutnya tidak seenaknya membuat kebijakan yang melanggar konstitusi dan ketentuan yang ada maka perilaku pemimpin seperti ini harus ada pertanggungjawabannya.
Jokowi harus diadili untuk mempertanggungjawabkan segala kebijakan yang telah diambilnya. Proyek mercu suar IKN yang menjadi kebanggaannya bisa manjadi salah satu titik point untuk menyeretnya ke meja hijau pasca ia lengser dari kursi kekuasaannya. Bagaimana menurut Anda ?
Komentar