151 Produk Bermasalah Dapat Sertifikat Halal Ditemukan Kemenag-MUI

Kamis, 10/10/2024 07:20 WIB
Kemenag RI. (Tagar.id).

Kemenag RI. (Tagar.id).

Jakarta, law-justice.co - Sebanyak 151 nama produk bermasalah yang mendapatkan sertifikat halal dari badan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) ditemukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komite Fatwa Produk Halal.

Hal ini ditemukan dalam momen pertemuan konsolidasi antara dengan BPJPH, Komisi Fatwa MUI, dan Komite Fatwa Produk Halal untuk menindaklanjuti produk dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal dari lembaga di bawah naungan Kemenag, pada Selasa (8/10).

"Dari konsolidasi ini kita memperoleh data dari 5.314.453 produk (bersertifikat halal), (produk dengan) nama bermasalah sebanyak 151 produk. Persentasenya adalah 0,003%. Artinya, alhamdulillah kita cukup proper," kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham dikutip dari siaran pers Kementerian Agama, Rabu (9/10).

Meski demikian, Aqil mengidentifikasi dari 151 nama produk bermasalah tersebut ada 30 nama produk yang bisa dikecualikan.

"Dan tidak dikecualikan berjumlah 121," lanjut Aqil.

Dalam keterangan tertulis yang sama, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh menjelaskan Fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, terdapat dua kondisi terkait penamaan produk.

Pertama, ada pengecualian terkait dengan penggunaan nama, bentuk, dan atau kemasan yang diatur di dalam fatwa nomor 44 tahun 2020 yang secara `urf atau kebiasaan di tengah masyarakat dikenal sesuatu yang biasa atau tidak terasosiasi dengan sesuatu yang haram.

Semisal `bir pletok` karena dikenal sebagai jenis minuman tradisional yang halal, suci, dan tidak terasosiasi dengan pengertian bir yang mengandung alkohol.

Asrorun juga mengatakan tidak semua jenis kata `wine` kemudian terlarang. Misalnya, `red wine` yang merujuk kepada jenis warna yang secara empirik digunakan di tengah masyarakat.

"Ini penting untuk dipahami secara menyeluruh sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di publik," kata Asrorun.

Situasi kedua, Asrorun menjelaskan fatwa MUI mengatur nama produk secara substansi yang tidak sejalan dengan fatwa. Karena itu, semua pihak harus berkomitmen untuk melakukan perbaikan dan juga meminta pelaku usaha melakukan perbaikan dan perubahan sesuai dengan standar fatwa.

Mengenai mekanisme perbaikan nama produk tersebut, telah didiskusikan adanya jalan afirmatif untuk melakukan proses perbaikan untuk kepentingan penyesuaian dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga standar fatwa yang menjadi acuan di dalam proses penetapan fatwa halal.

Masih dalam keterangan yang sama, Ketua Ketua Komite Fatwa Produk Halal Zulfa Mustofa mengatakan masyarakat tidak perlu ragu terhadap sistem jaminan produk halal (SJPH) serta sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH yang diterbitkan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.

"Karena pada dasarnya kami menggunakan acuan yang sama, standar fatwa yang sama, kemudian juga melalui proses audit yang sama, walaupun memang di produk reguler mungkin sedikit lebih rumit," kata Zulfa.

"Oleh karenanya, pada hal-hal yang tadi sudah disepakati, ada yang dikecualikan, maupun ada yang tidak dikecualikan, akan ada mekanisme yang kita lalui bersama. Ada proses perbaikan dan juga ada proses afirmasi kepada mereka," tambahnya.

Sebelumnya, dalam keterangan resmi terpisah MUI Pusat mengungkap temuan produk pangan dengan nama tuyul, tuak, beer, serta wine mendapat sertifikat halal BPJPH Kementerian Agama baru-baru ini.

Dalam keterangan itu, Asrorun mengatakan temuan ini merespons laporan masyarakat sehingga MUI melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan pengecekan dan pihaknya langsung berkoordinasi dengan BPJPH Kemenag agar persoalan yang sama tak terulang.

"Dari hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid, produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI," kata Asrorun dalam keterangan resmi, Selasa (1/10).

Asrorun menjelaskan nama-nama produk tersebut tak dibenarkan sesuai standar fatwa MUI. Karenanya MUI menegaskan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut

Lebih lanjut, Asrorun menjelaskan diperoleh informasi bahwa produk tersebut valid, punya bukti jelas terpampang dalam situs BPJPH, dan diarsipkan oleh pelapor. Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.

Dia mengaku akan segera koordinasi dengan BPJPH Kemenag untuk mencari jalan keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang.

Dua skema sertifikasi halal di Indonesia

Dalam siaran pers Kemenag dijelaskan sesuai amanat peraturan perundang-undangan, sertifikasi halal dapat dilakukan pelaku usaha melalui dua skema.

Skema Pertama, skema reguler yang prosesnya diawali dengan pengajuan sertifikasi halal melalui Sihalal BPJPH, kemudian pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal yang dilakukan oleh auditor halal.

Hasil audit ini kemudian disidangkan pada sidang fatwa oleh Komisi Fatwa MUI. Hasil sidang berupa ketetapan kehalalan produk kemudian menjadi dasar BPJPH menerbitkan sertifikat halal by system secara digital.

Skema kedua, sertifikasi halal dengan skema self declare atau pernyataan pelaku usaha.

Skema ini diawali dengan pengajuan sertifikasi halal oleh pelaku usaha mikro dan kecil (yang produknya dipastikan berbahan halal dan diproses sederhana) melalui akun Sihalal.

Kemudian, Pendamping Proses Produk Halal (P3H) melakukan pendampingan kepada pelaku usaha untuk memastikan kehalalan baik bahan maupun proses produksi.

Hasil pendampingan selanjutnya disidangkan pada sidang fatwa oleh Komite Fatwa Produk Halal, yang hasil ketetapan kehalalan produknya menjadi dasar diterbitkan sertifikat halal secara digital oleh BPJPH melalui Sihalal.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar