Produk Nama `Tuyul` hingga `Beer` Bersertifikat Halal Diungkap MUI

Rabu, 02/10/2024 06:14 WIB
Logo Majelis Ulama Indonesia (MUI). (mui.or.id)

Logo Majelis Ulama Indonesia (MUI). (mui.or.id)

Jakarta, law-justice.co - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa pihaknya menemukan sejumlah temuan soal produk pangan dengan nama tuyul, tuak, beer, serta wine mendapat sertifikat halal BPJPH Kementerian Agama baru-baru ini.

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan temuan ini merespons laporan masyarakat sehingga MUI melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan pengecekan.

"Dari hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid, produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI," kata Asrorun dalam keterangan resmi, Selasa (1/10).

Asrorun menjelaskan nama-nama produk tersebut tak dibenarkan sesuai standar fatwa MUI. Karenanya MUI menegaskan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut

Lebih lanjut, Asrorun menjelaskan diperoleh informasi bahwa produk tersebut valid, punya bukti jelas terpampang dalam situs BPJPH, dan diarsipkan oleh pelapor.

Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.

Dia mengaku akan segera koordinasi dengan BPJPH Kemenag untuk mencari jalan keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang.

"Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan, karena itu harus hati-hati sekali.

"Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui self declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi standar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal," ujar Huda.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

Berikut ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal yang memuat ketentuan bahwa di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah:

a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;
b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:
1) yang telah mentradisi (`urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan;
2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut;
3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum.
c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya;
d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama;
e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan;
f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar