Ben Senang Galus, Penulis Buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi

Mewaspadai Para Bandit yang Berkeliaran di Papua

Jum'at, 13/09/2024 19:21 WIB
Ilustrasi: Masyarakat adat menghadang pembabatan hutan atas nama Perekbunan Sawit di Papua. (bing)

Ilustrasi: Masyarakat adat menghadang pembabatan hutan atas nama Perekbunan Sawit di Papua. (bing)

Jakarta, law-justice.co - Bangsa Papua sedang berada dalam situasi kritis (baca: krisis). Karena kini Papua tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila hal ini tidak dapat kita lalui dengan baik, ancaman yang dihadapi tidak saja proses pembusukkan kebudayaan atau bahkan bisa jadi menjadi bangsa yang terpuruk. 

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat Papua. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. 

Dalam situasi demikian, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, bellum omnium contra omnes (war of all against all), bukan lagi menjadi khayalan. Masyarakat Papua diadu domba oleh kekuatan kolonial alias para bandit yang berseliweran di seantero Papua. Kebudayaan, harga diri, integritas, cita-cita sosial, moral, menjadi hancur berantakan! Jika kondisi demikian dipelihara terus menerus, siapa yang bertanggung jawab? 

Situasi yang penuh pertentangan di antara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan menghalalkan segala cara sebagai pilihan atau paling tidak menguasai orang lain. 

Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai”.

Cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu, para bandit atau kaum kolonialis selalu mempropagandakan kata-kata pedas Thomas Hobbes yaitu dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya. 

Dengan cara demikian, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, penulis menggambarkan situasi yang mendorong manusia Papua untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri, menentukan nasib sendiri (determine your own destiny) yang mempunyai kekuasaan politik sendiri, yang mengatur sendiri sumber kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan.  

Di Papua, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, antara Papua dengan Jakarta, telah menyeret kehidupan bangsa Papua ke dalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Papua sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic decay. 

Modal kebudayaan dan ekonomi (cultural and economy capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional, merebut harta kekayaan Papua, sungguh memalukan! Modal ekonomi (economic capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian. Sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.

Ancaman demokrasi di Papua saat ini bukan nampak pada ketidakadilan, ketidaksejahteraan masyarakat, etnonasionalisme atau etno demokrasi akan tetapi lebih pada hadirnya bandit-bandit demokrasi. Mancur Olson dalam Power and Prosperity (2000) mengingatkan, yang perlu kita waspadai saat ini maupun ke depan adalah hadirnya bandit-bandit demokrasi.

Menurutnya bandit-bandit demokrasi hadir dalam bentuk dua wajah yaitu bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa represif, seorang bandit berkuasa, tapi dia bandit menetap. Artinya, dia tidak akan menguras wilayahnya. 

Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.

Sebagaimana di zaman kuno, bahkan zaman sekarang ini, bandit berkeliaran (roving bandits), ini mendatangi sebuah wilayah, menjaga habis wilayahnya, mengkapling wilayahnya, lalu merampok, menghabiskan harta kekayaannya, lalu pergi. Yang ditinggal ya kemiskinan, ya penyakit. Lebih-lebih lagi hancurnya kebudayaan. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.

Menurut Olson begitu bandit menetap runtuh muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang “bos”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apapun termasuk menjarah harta kekayaan Papua. 

Mereka-mereka itu ialah para pejabat di daerah maupun di pusat dan kroni-kroninya. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras harta kekayaan masyarakat Papua. Rusaknya sistem sosial dan demokrasi di Papua selain munculnya para bandit demokrasi ditambah juga hadirnya “economic hit man”

Di Papua datangnya demokratisasi dan otonomi khusus memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Bila tesis ini benar, sebenarnya demokrasi dan sistem sosial tidak mempunyai masa depan di Papua. Meski saat ini Papua sudah berdemokrasi, namun bukan demokrasi yang bertahta di sana melainkan bandit-bandit demokrasi dan munculnya ekonomi tangan kotor (economic hit man). 

*Economic Hit Man* 

Papua menjadi daerah “bangkrut”, hal itu bisa saja terjadi. Bangkrutnya Papua karena korban permainan “economic hit man” atau yang diplesetkan ekonomi tangan kotor. Anggaran APBN maupun dana Otsus yang kelihatannya “baik” malah mendatangkan korban bagi masyarakat Papua. Ternyata banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Termasuk ekonomi tangan kotor.

Dalam Confessions of an Economic hit Man (2004), John Perkins mengatakan, pekerjaannya mengidentifikasi negara yang memiliki sumber daya, bisa minyak, emas, batu bara, batu kapur, dan sebagainya. Kemudian pihaknya mengatur pinjaman kepada negara itu, melalui kaki tangan para broker (calo, tangan kotor). 

Namun, uang yang dipinjamkan tidak pernah sampai ke negara itu, melainkan kembali ke perusahaannya dalam bentuk pembangunan jalan, pembangkit listrik, pabrik semen yang malah menguntungkan para orang kaya maupun korporasinya sendiri. Akhirnya negara tersebut memiliki utang besar.

Selama ini kita terjebak dalam pemikiran para bandit membuat kamuflase dengan menyebut Papua akan menjadi makmur. Hal itu yang dijual ke politisi-politisi atau para bandit berdasi yang tinggal di gedung istana kerajaannya, yang sebenarnya terjadi yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin dan kesenjangan pun makin luas.

Daerah-daerah yang menjadi targetnya adalah daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam mumpuni, kaya emas, mineral dan sebagainya ataupun pasar bebas hingga tenaga kerja murah.  

Korporatokrasi merujuk kepada sebuah kekaisaran global yang dibangun oleh tiga pilar yaitu korporasi, perbankan, dan pemerintahan. Berbagai korporasi besar, bank dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksakan masyarakat lokal mengikuti kehendak mereka.

Lalu, apakah dengan membaca dan melihat kondisi Papua saat ini menjadi destroyed atau collapse? Jawabannya, we are very concerned but there is no need to panic. Signs of the times of destruction are at hand. However, we have confidence that soon we will enjoy the happiness of our own struggle. we will not dissolve into destruction, we will be free in the future. Believe God will help us.

 

*Standing point* 

Papua yang dilandai multi krisis dewasa ini memerlukan kepemimpinan generasi muda yang kuat, ikhlas dan komit untuk berkorban dalam semangat jibaku untuk membangkitkan spirit, aktivisme, nasionalisme, dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan cita-cita total bangsa Papua, yang pada hakekatnya adalah menyelamatkan bangsa dan negara. Terutama dalam hal ini adalah meneguhkan kembali sikap keberanian generasi muda untuk menyelamatkan sumber daya sebagai hak suci masyarakat sebagai pemegang demos.

Saat ini kita menyaksikan di layar televisi, handphone maupun kalau kita membaca di koran, para pemimpin generasi tua terbukti telah “menyia-nyiakan” kesempatan sejarah (historical opportunity) untuk mengimplementasikan semangat masyarakat Papua yang sudah dipertaruhkan jutaan rakyat, dengan darah dan air mata. 

Generasi tua ini ternyata sangat lembek, penuh intrik, saling sikut dan sarat pertarungan kepentingan (conflict of interest). Ujungnya adalah perebutan kekuasaan dan uang, dengan cara mendayagunakan ”nasionalisme Papua” sebagai senjata legal formal untuk mempertahankan atau menjatuhkan kekuasaan.

Dalam hal ini generasi muda (mahasiswa) harus memposisikan diri sebagai kekuatan moral (moral force) sekaligus menjadi katalisator perubahan sosial, demokrasi dan kebudayaan. Di sinilah peran generasi muda sebagai pressure group. tatkala nilai sosial di persimpangan jalan, generasi muda segera mengambil alih. 

Generasi muda sebagai pilar civil society (masyarakat sipil), ilmu yang dipelajarinya harus berpusat pada manusia yang berwajah kemanusiaan, kalau tidak Anda sebagai cendekiawan sendiri akan haus dan lapar di padang gurun pengembaraan ilmu yang makin sepi. Mengabaikan manusia berarti Anda telah melakukan euthanasia kebudayaan, demokrasi, dengan berbagai senjata yang telah Anda hasilkan dari bangku kuliah.

Oleh karena itu Heidegger telah mengingat generasi muda sebagai cendekiawan harus menjalankan dua kewibawaan. Pertama, das rechnende denken: pemikirannya memperhitungkan —kehadiran mahasiswa perlu diperhitungkan sebagai aset strategis, menguasai dengan alasan membuat kalkulasi politik. 

Kedua, das denkende denken: pemikirannya yang memperhatikan, kehadiran mahasiswa sebagai cendekiawan, mampu untuk berpikir, bersikap terbuka, perlu menjadi mahasiswa yang bebas dari mentalitas ikut arus.

Bagaimana generasi muda memposisikan dirinya dalam konfigurasi kebangsaan Papua ke depan dalam mengawal demokrasi, kebudayaan, ekonomi? Bagaimana pula standing point generasi muda dalam situasi Papua yang sangat memprihatinkan saat ini? 

Generasi muda memposisikan diri sebagai kekuatan nasional, kekuatan demokrasi, kekuatan kebudayaan, moral force, social force, pressure group, katalisator perubahan, mengembangkan politik populis —option for the poor, non machiavelli, solidaritas universal, non diskriminasi menjadi garda depan perjuangan demokrasi, menjadi reference group.

Untuk menjamin posisi di atas, ada empat fokus perjuangan politik generasi muda Papua pada saat ini maupun ke depan dalam menyelamatkan demokrasi, ekonomi, kebudayaan di Papua. Pertama, pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Kedua, penataan sistem nasionalisme (politik) yang bermoral.

Ketiga, pembangunan kultur keterbukaan dan demokrasi. Keempat, prinsip berpolitik generasi muda hendaknya berpedoman pada karakter berikut: in principiis, unitas, in dubuiis, libertas, in omnibus, caritas (dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal terbuka kita bebas menentukan pendapat, dalam segala hal harus ada kasih (Mgr Soegijapranata), generasi muda terlibat dalam kegiatan politik, ekonomi, kebudayan dalam rangka menempatkan diri sebagai noblesse oblige.

Dalam hal ini, generasi muda harus mempersiapkan dan mengekskalasikan diri yang awalnya adalah intelektual tradisional menjadi intelektual organik-profetik yang berperan dalam kehidupan kontekstual Papua. Dalam menjalankan peran itu hendaknya generasi muda termasuk civil society berpegang pada prinsip moral pertama, serviens in lumine veritatis yang berarti melayani dalam cahaya kebenaran (serving in the light of truth).

Dengan cara demikian generasi muda menjalankan sebagian academic social responsibility. Percayalah, apapun yang Anda lakukan, Anda telah mewartakan prinsip moral kedua, gloria Dei Vivens Homo, Irenius, Adversus Haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya). Sekali lagi, vox iuvenes generationis vox Dei (suara generasi muda adalah suara Tuhan). Dan Anda harus meninggalkan dendangan lagu kuno “gaudeamus igitur iuvenes dum sumus” (bersorak-soraklah, berpesta poralah, bermabuk-mabuklah selagi kita masih muda. 

Selamatkan demokrasi, ekonomi, kebudayaan, dan spiritual masyarakat Papua. Jangan biarkan bandit demokrasi dan ekonomi tangan kotor merajalela di Papua. Waspadalah! Para bandit yang berkeliaran di Papua! Ite missa est; pergilah kalian diutus!

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar