Nawaitu Redaksi

Panggung Sandiwara Jokowi-Megawati dalam Pencalonan Pramono-Rano

Minggu, 08/09/2024 07:54 WIB
Bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno.  Robinsar Nainggolan

Bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang semula dikabarkan akan mengusung Anies Baswedan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta, telah memutuskan pilihannya. Pada akhirnya PDIP memilih kadernya sendiri yaitu Pramono Anung dan Rano Karno sebagai Gubernur-Wagub DKI Jakarta. Keduanya telah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 27 Agustus 2024 yang lalu sekaligus menjadi paslon pertama yang mendaftar ke KPU DKI Jakarta.

Ada yang menarik dalam proses pencalonan Pramono menjadi Calon Gubernur (Cagub) di DKI Jakarta. Pramono mengaku dalam proses pencalonan sebagai Cagub telah meminta izin ke Jokowi baik melalui telepon maupun bertemu langsung dengan Jokowi sang Raja Jawa.

Presiden Jokowi sendiri tidak membantah atau membenarkan bahwa pencalonan Pramono Anung sebagai bakal calon Gubernur Jakarta sebagai penjembatan antara dia dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Belakangan heboh isu yang mengabarkan bahwa Pramono Anung adalah calon gubernur Jakarta yang merupakan cawe-cawe atau titipan istana. Hal ini karena Pramono Anung adalah sekretaris di kabinet masa pemerintahan Presiden Jokowi selama beberapa tahun lamanya. Pramono Anung juga disebut sebagai calon yang membuat Anies Baswedan tidak bisa maju Pilgub Jakarta.

Dugaan Pramono Anung sebagai titipan istana, telah membuat banyak orang kembali bertanya tanya tentang hubungan sebenarnya antara Megawati Ketua Umum PDIP dengan kader partainya yang bernama Jokowi sebagai petugas partainya. Ada yang menduga bahwa hubungan keduanya sebenarnya “baik baik” saja. Kalau ada yang menyatakan hubungan Megawati dan Jokowi renggang atau putus gara gara Jokowi mencalonkan anaknya Gibran Rakabuming Raka atau karena persoalan di PIlkada, hal itu hanya sandiwara saja.

Benarkah Megawati dan Jokowi sebenarnya sedang bersandiwara seolah olah berseteru padahal keduanya sedang bersandiwara untuk menjaga kekuasaan agar tetap berada di tangan keduanya ?. Apa tanda tandanya kalau hubungan antara Megawati dan Jokowi sebenarnya masih “baik baik “saja ?. Mengapa pencalonan Pramono Anung di Pilkada DKI membuka tabir hubungan Jokowi -Megawati yang ternyata “baik baik saja” ?

Kilas Balik

Semua orang sudah memaklumi bahwa Jokowi tanpa PDIP bukan siapa siapa. Karena ia bisa menjadi Walikota Solo, kemudian naik menjadi Gubernur DKI Jakarta sampai kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia adalah berkat PDIP dimana Megawati sebagai Ketua Umumnya.Bahkan ada yang menyebut hubungan antara Megawati  dan Jokowi tak ubahnya seperti ibu dan anak saja.

Hubungan yang sangat akrab dan mendarah daging diantara keduanya menjadi rusak selama setahun terakhir ini setelah Jokowi mencalonkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi orang kedua di Indonesia, pada hal PDIP sudah mempunyai calon sendiri yaitu Ganjar Pranowo  yang direstui oleh Megawati sebagai Ketua Umumnya.

Sejak saat itu seolah olah hubungan antara Jokowi dan Megawati sedang tidak baik baik saja bahkan ada yang menyebut Jokowi itu sekarang menjadi musuh besarnya Megawati karena berani melawan induk semangnya.

Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa antara Megawati dan Jokowi sebenarnya sudah seia sekata untuk menyiapkan strategi jauh-jauh hari guna memastikan agar kekuasaan tetap berada di tangan mereka berdua, atau setidaknya di tangan orang yang bisa mereka kendalikan menjadi bonekanya.. Bagaimana bisa? Seperti apa logikanya ?.

Untuk memahami duduk soalnya barangkali kita perlu kembali ke tahun tahun dimana untuk pertama kalinya Jokowi merintis jalan ingin menjadi presiden Republik Indonesia. Seperti diketahui, Jokowi saat itu berhasil menjadi presiden pada tahun 2014 setelah mengalahkan rivalnya Prabowo dengan persentase untuk Jokowi - JK sebesar 53,15% dan Prabowo - Hatta sebesar 46,85%. Hasil pilpres tahun 2014 tersebut cukup tipis perbedaan perolehan suaranya.

Setelah 5 tahun menjabat, tahun 2019 Jokowi kembali harus melawan Prabowo dan untuk kedua kalinya berhasil memenangkannya dengan persentase 55,50% suara dan Prabowo mendapat suara 44,50% suara. Hasil pilpres ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena pasangan prabowo meyakini adanya kecurangan yang dilakukan oleh rivalnya. Tetapi MK tidak mengabulkan permohonan kubu Prabowo dan Jokowi akhirnya kembali menjadi Presiden untuk periode keduanya.

Setelah 2 periode Jokowi menjadi presiden indonesia, Megawati dan Jokowi mulai memikirkan siapa yang akan menjadi penerus dari PDIP untuk tetap menjadi pemegang kekuasaan di Indonesia dan meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh jokowi dan PDIP selama 10 tahun berkuasa.

Maka munculah nama nama kandidat internal mereka seperti Tri Rismaharini, Puan Maharani sampai Ganjar Pranowo hingga anak Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang digadang gadang untuk dicalonkan sebagai Capres yang di usung PDIP untuk Pilpres 2024. Tetapi mereka semua rata rata rendah elektabilitasnya kecuali Ganjar Pranowo yang paling tinggi hasil surveynya.

Di waktu yang bersamaan, terkuak kabar bahwa Prabowo akan kembali ikut berkompetisi untuk ke-4 kalinya. Tugas berat dari PDIP adalah bagaimana cara mengalahkan elektabilitas prabowo yang cukup tinggai dan yang sudah 3 kali mengikuti kompetisi Pilpres sehingga sudah berpengalaman dan  sangat terbuka kemungkinan menangnya

Menyadari dinamika yang ada tersebut, sepertinya  Jokowi dan Megawati mulai memikirkan strategi lain untuk cara bagaimana agar tetap bisa berkuasa. Di sinilah fase rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo dimulai digulirkan oleh keduanya. Jokowi, sebagai pemimpin yang pragmatis, melihat peluang dalam menjalin hubungan lebih erat dengan Prabowo, bukan sekadar lawan politik yang harus dikalahkan, tetapi sebagai mitra potensial untuk mempertahankan pengaruhnya pasca-kepemimpinannya.

Strategi ini bukan hanya sekedar mendukung Prabowo, tetapi lebih dari itu, untuk memastikan bahwa kepentingan politik Jokowi dan PDIP tetap terjaga di bawah pemerintahan Prabowo kelak jika terpilih sebagai Presiden Indonesia nantinya.

Dengan menjalin hubungan yang baik dengan Prabowo, Jokowi berusaha untuk memastikan bahwa proyek-proyek besar yang telah ia mulai, seperti pembangunan infrastruktur dan program-program sosial, dapat terus berjalan di bawah pemerintahan yang baru nantinya.

Dalam fase rekonsiliasi ini, kita bisa melihat bagaimana Jokowi menggunakan pendekatan "politik tanpa musuh" yang selama ini menjadi ciri khasnya. Dengan merangkul Prabowo, Jokowi ingin memastikan bahwa dirinya tetap relevan dan berpengaruh dalam politik Indonesia, meskipun tidak lagi memegang jabatan tertinggi sebagai orang pertama di Indonesia.

Pada saat yang sama, Megawati juga melihat langkah ini sebagai cara untuk menjaga stabilitas PDIP, dengan memastikan partai tetap memiliki akses ke pusat kekuasaan, meskipun harus berkoalisi dengan lawan politik lama.

Bagi Jokowi dan Megawati, ini adalah permainan catur politik tingkat tinggi yang harus dimainkan dengan penuh perhitungan, dimana  langkah-langkah mereka berdua akan membawa dampak pada masa depan politik di Indonesia. 

Pendekatan ini mulai membuahkan hasil. Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang keras dan tidak mudah terpengaruh, perlahan-lahan mulai terambil hatinya. Dukungan terselubung dari Jokowi memberikan Prabowo keyakinan bahwa dirinya memiliki restu dari presiden yang masih menjabat, dan ini memberi dorongan psikologis yang signifikan baginya. Sebagai calon yang telah berkali-kali berlaga dalam kontestasi Pilpres, dukungan dari seorang Jokowi, yang memiliki basis massa yang kuat dan pengaruh besar, tentu menjadi aset berharga baginya.

Dalam beberapa wawancara publik, perubahan sikap Prabowo terhadap Jokowi mulai nampak mengemuka. Jika dulu keduanya adalah rival politik yang sengit, kini Prabowo lebih sering menunjukkan sikap hormat dan bahkan memuji Jokowi sebagai partnernya

Dalam beberapa kesempatan, Prabowo bahkan menyebut Jokowi sebagai guru politiknya, sebuah pernyataan yang mengejutkan mengingat latar belakang hubungan mereka yang dulu menjadi rivalnya. Kenyataan  ini tidak hanya menunjukkan betapa besar pengaruh Jokowi terhadap Prabowo, tetapi juga menegaskan bahwa Prabowo merasa didukung oleh presiden incumbent, yang bisa membantu memuluskan niatnya menjadi presiden ke 8 Republik Indonesia.

Setelah berhasil menggandeng Prabowo, Megawati dan Jokowi merasa perlu untuk mengamankan kepentingannya sebagai penguasa Indonesia melalui kader internalnya. Biarlah nantinya Prabowo menjadi pemenang dalam Pilpres (karena memang sangat tinggi elektabilitasnya) tetapi harus ada kader internal PDIP yang mengawalnya sebagai orang kedua.

Oleh karena itu dimunculkanlah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai Wali Kota Solo pada awalnya sebagai batu loncatan untuk menapak ke jenjang politik lebih tinggi nantinya.

Pencalonan Gibran di Solo sebenarnya adalah langkah pertama untuk menempatkannya di posisi strategis, yang memungkinkan dia untuk berkembang di panggung politik nasional. Namun, lebih dari itu, langkah ini merupakan sinyal bahwa Jokowi dan Megawati sedang menyiapkan skenario di mana Gibran bisa masuk ke orbit kekuasaan yang lebih tinggi, sebagai penguasa Indonesia.

Untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Jokowi mengatur strategi pergerakan partai-partai pendukungnya untuk mendekati kubu Prabowo. Golkar, PAN, dan PKB---tiga partai besar yang memiliki pengaruh signifikan di parlemen---diberikan sinyal untuk bergabung dengan koalisi Prabowo untuk kemudian bersepakat mengusung Gibran anaknya Jokowi berpasangan dengan Prabowo

Tujuannya jelas: memastikan bahwa Prabowo memiliki dukungan kuat dari berbagai elemen politik, sekaligus menciptakan kesan bahwa Jokowi dan partai-partai besar telah satu suara mendukung Prabowo sebagai calon presiden bersama anaknya sang raja Jawa.

Langkah ini juga bertujuan pula untuk mengisolasi lawan-lawan politik yang berpotensi mengganggu skenario yang telah disusun oleh Jokowi dan Megawati. Dengan merapatnya Golkar, PAN, dan PKB ke kubu Prabowo, koalisi yang mendukung Anies Baswedan dan calon-calon lainnya semakin terpecah perhatiannya.

Deklarasi yang dilakukan oleh Golkar, PAN, dan PKB untuk mendukung Prabowo sebagai calon presiden di tahun 2024 memperlihatkan keberhasilan strategi Jokowi dalam mengendalikan arah politik sesuai dengan yang dikehendakinya. Dalam deklarasi tersebut, partai-partai ini secara terbuka menyatakan dukungan mereka terhadap Prabowo, memberikan kesan bahwa Prabowo adalah pilihan yang tepat dan didukung oleh berbagai lapisan politik, termasuk oleh partai-partai yang selama ini berada di koalisi pemerintahan Jokowi.

Dampak dari deklarasi ini sangat signifikan. Pertama, Prabowo mendapatkan legitimasi sebagai calon presiden yang didukung oleh banyak pihak, termasuk partai-partai yang memiliki jaringan luas di berbagai daerah. Kedua, deklarasi ini juga mengirimkan sinyal kepada masyarakat bahwa Jokowi, meskipun tidak secara langsung mendukung Prabowo, telah memberikan restunya melalui dukungan partai-partai koalisinya. Ini bisa menarik simpati dari pemilih yang masih ragu dengan pilihan mereka.

Selain mendorong Gibran, aliansi Jokowi -Megawati juga berusaha memecah koalisi diluar PDIP.Dukungan awal dari Nasdem kepada Anies adalah bagian dari strategi untuk memecah koalisi di luar PDIP dan membingungkan lawan-lawan politiknya. Dalam kaitan ini, Surya Paloh dan elite Nasdem sebenarnya bermain di bawah arahan Jokowi dengan memanfaatkan kasus hukum sebagai instrument sanderanya.

Bagi Jokowi dan Megawati, Anies adalah ancaman, meskipun tidak sebesar Prabowo. Untuk mengatasi potensi ancaman ini, Surya Paloh diberi tugas untuk mendeklarasikan Anies sebagai kandidat presiden dan menjadikannya sebagai partai terbesar yang mengusung Anies.

Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk mengendalikan Anies dan memastikan bahwa segala manuver yang direncanakan oleh Megawati dan Jokowi dapat berjalan sesuai rencana. Dalam skenario ini, Surya Paloh berperan sebagai penjaga utama yang memastikan Anies berada di bawah kendali mereka.

Ketika PKS dan Demokrat mulai merapat ke koalisi yang dipimpin oleh Surya Paloh, hal ini sesuai dengan prediksi Megawati dan Jokowi bahwa Demokrat akan bergabung dengan PKS untuk mengusung Anies sebagai jagoannya. Keputusan ini tidak lepas dari peran Surya Paloh yang telah mengamankan posisi Anies, sehingga membuatnya lebih tunduk pada arahan Paloh daripada pada SBY di Demokrat atau PKS.

Situasi politik menjadi semakin rumit ketika Cak Imin, yang sebelumnya berada di kubu Prabowo, tiba-tiba beralih haluan dan menjadi calon wakil presiden Anies. Pergeseran ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik. Pergeseran Cak Imin menyebabkan kemarahan dari SBY dan AHY, yang kemudian memutuskan untuk berpindah haluan dan bergabung dengan koalisi Prabowo

Dengan adanya perubahan besar ini, strategi Megawati dan Jokowi untuk menghancurkan koalisi perubahan tampak berhasil. Koalisi perubahan yang awalnya terdiri dari berbagai partai yang menentang incumbent kini didominasi oleh incumbent dan hanya tersisa PKS sebagai partai oposisi. Dalam konteks ini, Megawati dan Jokowi telah berhasil menciptakan situasi di mana koalisi yang tersisa tidak dapat mengancam posisi mereka.

Strategi ini menunjukkan betapa cermatnya perencanaan politik yang dilakukan oleh Megawati dan Jokowi, yang mampu memanipulasi aliansi politik dan menghadapi setiap potensi ancaman dengan taktik yang sangat terencana.

Semua upaya tersebut difokuskan pada satu tujuan : untuk memastikan bahwa siapa pun yang terpilih nanti, baik itu Prabowo, Anies, atau kandidat lainnya, tetap berada di bawah kendalinya. Mereka tidak hanya bermain untuk saat ini, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan kekuasaan mereka ke depannya.

Jokowi dan Megawati memainkan peran seolah mereka berseteru dan tidak memiliki hubungan baik, padahal ini bagian dari strategi mereka. Dengan menampilkan diri mereka sebagai rival, mereka berhasil mengalihkan perhatian publik dari manipulasi dan strategi yang mereka buat bersama.

Sementara itu Prabowo sendiri tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti instruksi dari jokowi untuk memilih Gibran sebagai pendampingnya.. Karena dengan kekuatan dan pengaruhnya, jokowi sangat mampu memunculkan isu baru yaitu batas maksimal usaha yang dapat menahan langkah Prabowo menjadi presiden Republik Indonesia

Sementara itu Surya Paloh sebagai pengendali Anies terus menjalankan perannya. Kali ini oleh Jokowi Paloh diberi tugas untuk terus menyerang Prabowo dalam setiap kesempatan, terutama selama debat capres. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa Anies benar-benar membenci Prabowo, yang akan mempengaruhi dinamika persaingan politik dan memperlemah posisi Prabowo di mata publik.

Di sisi lain, Megawati dan Jokowi menginstruksikan Ganjar Pranowo untuk tidak terlalu agresif dalam menyerang Prabowo. Ini adalah bagian dari strategi mereka untuk memanfaatkan ketegangan yang terjadi antara Anies dan Prabowo, tanpa memperburuk citra Ganjar sebagai kandidat dari PDIP.

Dengan tidak terlalu menyerang Prabowo, Ganjar dapat menjaga citra positifnya di mata publik dan partainya. Ini juga memungkinkan PDIP untuk tampil sebagai pilihan yang stabil dan tidak terlibat dalam perdebatan yang terlalu keras diantara mereka

Megawati dan Jokowi berharap bahwa dengan menghindari serangan frontal, mereka dapat memposisikan Ganjar dengan PDIPnya  sebagai partai yang santun dan bersih sambil berharap adanya "buah manis" dari ketegangan yang terjadi di antara rival-rival politik mereka.

Setelah Pilpres berhasil dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran, Megawati dan Jokowi menyadari bahwa mereka harus terus menyesuaikan strateginya  untuk memastikan kontrol tetap berada di tangan mereka. Mereka harus siap siaga untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap kebijakan yang akan diambil oleh Prabowo setelah bekuasa

Memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan Prabowo tidak menyinggung atau merugikan kepentingan PDIP bersama Jokowi. Mereka juga terus memantau untuk memastikan Gibran tetap berada dalam posisi strategis, ika Prabowo dihadapkan pada masalah kesehatan atau masalah lainnya. Gibran akan menjadi calon pengganti yang sudah siap sedia

Namun jika Prabowo tidak dapat dikendalikan dan sepertinya Megawati dan Jokowi seolah meyakini kalau prabowo akan membangkang dan lebih pro kepada rakyat, untuk mengantisipasi ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan Prabowo, Megawati dan Jokowi menggunakan berbagai strategi dimana salah satunya mencitrakan Prabowo sebagai orang yang haus kuasa. Salah satunya dengan pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk menguasai Pilkada.

Dengan adanya KM Plus telah memunculkan kesan seolah olah PDIP tampak sebagai satu-satunya partai yang bersih dan pro-rakyat karena dikepung oleh partai partai yang haus kekuasaan melalui koalisi mereka dimana Prabowo ada didalamnya.

Terbukti belakangan ini semakin banyak masyarakat yang menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui media sosial dan turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. Semua ini merupakan bagian dari strategi Megawati dan Jokowi untuk mengarahkan simpati publik ke PDIP  sebagai partai yang terzalimi dan menciptakan kesan bahwa PDIP adalah satu-satunya partai yang bersih dan peduli terhadap rakyat Indonesia

Tanda Tanda Sandiwara

Megawati dan Jokowi tidak hanya menciptakan situasi ini, tetapi juga memanipulasi opini publik untuk keuntungan mereka. Mereka berdua sedang bersandiwara untuk mengelabui rakyat dan lawan lawan politiknya. Jokowi, meskipun tampak menerima cemoohan masyarakat, sebenarnya berperan aktif dalam strategi yang telah disepakati bersama diantara mereka.

Jokowi dan Mega seolah olah berseteru gara gara Jokowi mencalonkan anaknya, tapi diluar itu hubungan mereka berdua sebenarnya fine fine saja. Keduanya sama sama sedang berbahagia menikmati buah kekuasaan yang saat ini ada digenggamannya sambil berharap untuk terus bisa menikmatinya.

Bahwa fenomena retaknya hubungan Megawati dan Jokowi  pasca hijrahnya Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi  menjadi cawapresnya Prabowo Subianto, hanyalah setingan politik mereka. Adapun tanda tanda keretakan hubungan itu hanya merupakan sandiwara belaka diantara mereka, dapat dibaca pada beberapa fakta diantaranya:

Pertama, Jokowi dan Anaknya Gibran Masih Menjadi Kader PDIP.  Pada hal keduanya jelas-jelas melanggar garis kebijakan partai yakni berada di kubu Prabowo pada hal PDIP secara resmi mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. PDIP tidak memecat  Jokowi dan Gibran yang telah langgar konsitusi partai, seperti halnya yang dilakukannya kepada Budiman Sujatmiko dan kader PDIP lainnya yang langsung di pecat karena tidak loyal pada partainya.

Kedua, Menteri Menteri PDIP yang ada di Kabinet Jokowi masih menduduki jabatannya. Seharusnya dengan panasnya hubungan antara Jokowi dan Megawati, Jokowi segera mereshuffle tujuh menteri PDIP yang ada  di kabinetnya.  Tujuh menteri PDIP yang dimaksud adalah Mensekab Pamono Anung, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Mensos Tri Risma Harini, Menkop UMKM Teten Masduki, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menpan RB Abdullah Azwar Anas, dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Tetapi nyatanya ketujuh Menteri itu masih belum dipecat dari posisinya. Hanya Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly belakangan di minta untuk meninggalkan kursinya.

Ketiga, Isu Pemakzulan Kempes ditengah Jalan. Sempat ada gagasan untuk adanya pemakzulan terhadap Jokowi yang disuarakan oleh Masinton Pasaribu kader PDIP di DPR. Tetapi gagasan pemakzulan itu rupanya hanya berhenti sampai gagasan belaka tidak ada tindaklanjutnya. Padahal kalau Jokowi benar benar bermusuhan dengan Megawati  maka seharusnya upaya pemakzulan itu menjadi agenda utama mereka.

Ke empat, Jokowi Tidak Membalas Serangan Megawati yang ditujukan kepadanya. Padahal serangan Megawati  itu sangat menohok Jokowi selaku presiden yang sekarang berkuasa. Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu Megawati tampak emosional saat menyerukan sindirannya kepada pemerintah yang sekarang berkuasa. Megawati menyebut pemerintah sekarang mirip dengan gaya gaya orde baru (Orba).Namun Presiden Jokowi memilih untuk tidak menjawab ketika ditanya terkait pernyataan Ketua Umum PDI-P Megawati yang menyebut penguasa saat ini mau bertindak seperti zaman Orba

Kelima, Pernyatan Puan yang menyatakan PDIP masih punya peluang mencalonkan Wali Kota Medan Bobby Nasution, sebagai calon gubernur di provinsi Sumatera Utara. Seperti diberitakan, Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, telah menyatakan bahwa PDIP masih membuka peluang untuk mengusung menantu Presiden Jokowi, Wali Kota Medan Bobby Nasution, sebagai calon gubernur di provinsi Sumatera Utara. Pernyataan Puan ini menyiratkan bahwa sebenarnya antara Jokowi dan PDIP dan Megawati tidak ada masalah diantara mereka alias baik baik saja.

Ke enam, Megawati bersama PDIP tidak pernah meributkan kebijakan Jokowi yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. PDIP hanya ribut dengan Jokowi terkait dengan pengangkatan anak Jokowi sebagai wakilnya Prabowo dan soal Pilkada selebihnya diam seribu bahasa. Dari sini bisa dipahami kalau sebenarnya Ibu Megawati itu adalah Jokowi dan juga sebaliknya.  Dimana menurut Faizal Assegaf, keduanya diikat oleh nawa dosa. Keduanya saling menikmati dan berbagi kekuasaan dan hanya ribut saat penentuan Pilpres atau Pilkada saja.

Jokowi saat ini tampak bobrok dan dianggap gagal karena dia adalah produk yang diperjuangkan sungguh sungguh oleh Megawati dan PDIP, jadi tidak ada ruang perpisahan antara Jokowi dengan Megawati karena keduanya ada di kolam yang sama.

Selain tanda tanda sebagaimana dikemukakan diatas,sejauh ini partai Banteng sangat toleran terhadap kebijakan kebijakan Jokowi yang dinilai tidak pro rakyat. PDIP sebagai pengusung Jokowi seharusnya kritis menyikapi kebijakan yang diambil oleh petugas partainya tetapi alih alih semua itu dilakukan oleh partai Banteng, partai ini justru menjadi penyokong utama kebijakan Jokowi di Parlemen sehingga menghilangkan fungsi pengawasan yang seharusnya dimainkannya. Kebijakan itu seperti pembangunan IKN (Ibukota Negara), kereta cepat Bandung -Jakarta, pembuatan UU Omnibuslaw Cipta Kerja, UU Minerba, UU Corona dan lain lainnya.

Alih alih menolak kebijakan kebiijakan kontroversial itu malah justru menjadi pendukungnya. Hampir semua kebijakan Jokowi diamininya dan tentunya semua atas restu dan sepengetahuan Ketua Umum partainya.

Makanya kalau kemudian ada orang yang menilai bahwa hubungan antara Jokowi dan Megawati sebenarnya baik baik saja, cukup masuk logika. Artinya perseteruan antara mereka hanya sebuah sandiwara belaka.   Aplagi jika kita menelusuri kisah perjalan politik mereka yang sudah begitu lama. Selama ini hubungan Megawati-Jokowi dalam PDI-P tak ubahnya hubungan seorang  ibu dengan anak karena begitu dekatnya.

Bahwasanya antara Jokowi dan Megawati sebenarnya masih tetap berada di kolam yang sama bisa juga di baca dari tema besar yang diusung oleh keduanya melalui pasangan capres yang di dukungnya. Karena baik pasangan Prabowo-Gibran maupun pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sama sama mengusung tema besar “melanjutkan” program program pemerintahan Jokowi dan hanya pasangan Anies-Muhaimin yang menempuh jalan yang berbeda yaitu “perubahan” sebagai tema utamanya.

Pasca Jokowi meninggalkan istana setelah 20 Oktober 2024 nanti, bisa saja raja Jawa ini berbalik arah masuk lagi ke PDIP bersama anaknya meskipun saat inipun sebenarnya keduanya masih berada didalamnya .

Setelah masuk lagi ke kolamnya, mereka dikhawatirkan akan melanjutkan agendanya untuk mengontrol kekuasaan politik di Indonesia.Dengan kemenangan PDIP di legislative dan keberhasilan Jokowi menjinakkan partai partai koalisi dikuatirkan mereka akan tetap cawe cawe agar kekuasaan tetap berada di tangan mereka, sekaligus memastikan bahwa Jokowi dapat melanjutkan pengaruh dan kontrolnya di politik Indonesia.

Padahal selama 10 tahun ini kita telah dipimpin oleh partai PDIP. Apakah kita akan kembali merelakan kepemimpinan itu jatuh kepada mereka hanya karena skenario satu tahun yang telah mereka rencanakan bersama ?

Sebaiknya kita menahan diri untuk tidak termakan oleh isu-isu yang terjadi sampai Prabowo dilantik menjadi presiden Republik Indonesia.Sebab ancaman Prabowo gagal dilantik masih menjadi peristiwa yang bukan tidak mungkin terjadinya.

Salah satu skenarionya adalah peristiwa tanggal 22 Agustus 2024 yang lalu ketika terjadi demo besar hampir seluruh Indonesia yang menentang DPR karena hendak merevisi RUU PIlkada agar supaya anak Jokowi Kaesang bisa ikut Pilkada

Demo demo tersebut hampir dipastikan akan terus berlanjut seandainya saja DPR tidak menghentikan agendanya untuk merevisi RUU PIlkada. Berlanjutnya demo demo akan memunculkan kekacauan dimana mana  dan potensial akan terjadi korban jiwa. Suasana kacau bisa dijadikan alasan untuk menunda Prabowo dilantik tepat pada waktunya. Kemudian penguasa yang sekarang bisa mengeluarkan dekrit untuk melanjutkan kekuasaannya.

Untungnya Prabowo sigap bertindak dengan meminta supaya DPR melalui tangan tangan disana segera menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan patuh kepada keputusan MK.

Kini Pilkada dengan mengacu kepada Keputusan MK telah disiap siap untuk digelar pelaksanannya termasuk untuk DKI Jakarta. Tanpa diduga duga muncul jagoan baru yang di usung oleh PDIP dari yang semula di isukan Anies yang akan diusung berubah ke Pramono Anung kader internal PDIP yang sekarang bekiprah di istana.

Munculnya Pramono Anung yang disebut sebut sebagai titipan Jokowi sang raja  Jawa telah menguatkan dugaan kalau hubungan antara Jokowi dan Megawati sebenarnya memang sedang baik baik saja. Mereka berdua seolah olah berseteru tapi sebenarnya sedang bersandiwara.

Mengutip pernyataan dari Faizal Assegaf, ketika Megawati menggendong Pramono Anung sebagai calon Gubernur yang dititipkan dan sebagai orang yang paling dipercaya Jokowi untuk masuk di Pilkada Jakarta maka publik menangkap sinyal bahwa sebenarnya perbedaan yang mereka perlihatkan selama ini hanya pada narasi belaka. "Tapi pada senyawa kejahatan hitam di dalam gorong gorong, Megawati, PDIP dan Jokowi adalah satu kesatuan yang akan bergulir kedepan menjadi musuh bagi kelompok gerakan perubahan," begitu katanya. Lalu bagaimana menurut Anda ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar