Oligarki di Balik PSN Rezim Jokowi
Ilustrasi kawasan PIK 2 yang masuk PSN. Foto: Tempo
Jakarta, law-justice.co - Sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tak mengedepankan kepentingan rakyat, tetapi justru menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Penggarapan PSN di sejumlah daerah melegalkan segala cara, mulai dari menihilkan nilai HAM hingga mengakali hukum demi kepentingan investasi dan bisnis segelintir orang. Orkestrasi pembangunan atas nama PSN bisa berjalan lancar lantaran ada relasi kepentingan antara oligarki ekonomi maupun politik yang bermufakat tidak baik dengan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa PSN sebetulnya tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Tapi, terus dipaksakan oleh pemerintah. Sebab, sebelum muncul UU Cipta Kerja, cantolan hukum PSN hanya berdasar Peraturan Presiden (Perpres) yang hierarki secara hukum di bawah UU. Hanya saja, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 ihwal PSN yang dikeluarkan Jokowi mengacu pada UUD. Namun, sejak ada perapihan peraturan perundang-undangan sejak reformasi yang kini disempurnakan melalui UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, cantolan Perpres merujuk UUD itu sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum.
Menurut Bivitri, diskresi presiden melalui Pepres dan Keppres kerap kali disalahgunakan. Dia merujuk pada rezim Presiden Suharto yang diduga kuat menggunakan diskresi hukumnya untuk menguntungkan diri dan kelompoknya melalui pembentukan Yayasan Supersemar pada medio 1970-an. Gejala penyalahgunaan wewenang kekuasaan melalui hukum, dianggap Bivitri begitu terasa di rezim Jokowi melalui diskresi demi kelancaran PSN.
“Wadah untuk PSN itu dipoles sedemikian rupa. Kemudahan dibuat mulai dari izin (hingga) pengadaan tanah. Sangat mudah (juga) dari proses pembiayaan hingga perizinan tanah demi kepentingan umum yang bias. Bayangkan mulai dari bandara, bendungan hingga jalan tol, itu diberi kemudahan sekali atas nama kepentingan umum. Tapi itu suatu kesalahan besar karena atas nama PSN dilakukan pelanggaran HAM,” kata Bivitri saat bicara dalam acara diskusi “Proyek Swasta Jadi PSN: Rakyat Vs Oligarki” yang berlangsung di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Dia bilang, PSN digarap tanpa tolok ukur yang jelas. Keistimewaan hukum kerap diberikan dengan dalih percepatan pembangunan PSN yang tak jarang melibatkan pihak dan modal swasta. Dan muaranya, membuka laku penyimpangan. Represifitas aparatus keamanan negara terhadap warga Rempang di Batam yang menolak ruang hidupnya dirampas karena PSN, hanya merupakan segelintir realitas buruknya pelaksanaan PSN. Adapun sepanjang 2020-2023, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan terdapat 115 konflik agraria yang berdampak pada 516 ribu hektare lahan.
Di dekat Jakarta, dia juga menyinggung PSN yang sedang dikebut, yakni di kawasan PIK dan BSD. Parameter kawasan tersebut menjadi PSN disebut tidak jelas, jika mengingat lanskap wilayah yang sejauh ini sudah tersentuh pembangunan, bahkan melekat status kawasan elite. “Kenapa sekarang masuk jadi PSN. Siapa yang ajukan dan apa kriterianya suatu proyek menjadi PSN itu tidak jelas. Di sinilah terjadi benturan kepentingan. Di sini bisa disebut state capture corruption. Dan ujungnya adalah adanya oligarki. Karena cara oligarki masuk menggunakan lembaga-lembaga negara formal yang bisa menguntungkan bisnis mereka. Kalau ditanya ini melanggar hukum atau tidak, ya jelas ini melanggar hukum,” tutur Bivitri.
Bagaimana oligarki bekerja
Menurut Gde Siriana, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), segala kebijakan di era Jokowi, termasuk PSN yang berdampak buruk bagi masyarakat merupakan hasil relasi antara oligarch dan penguasa. Hubungan kedua pihak ini bersifat saling mendominasi. Di satu sisi, pemerintah bisa mendominasi dan di lain waktu oligarch mengambil kendali kebijakan negara. “Relasi ini terbentuk karena ada kepentingan untuk bertahan. Oligarch kepentingannya mempertahankan kekayaannya atau mengakumulasikan kekayaannya. Sedangkan penguasa mempertahankan kekuasaannya. Misal dengan cara langgengkan tiga periode dan politik dinasti,” kata Gde dalam acara diskusi yang sama.
Gde membagi oligarch dalam tiga tolok ukur. Diawali dari ciri khas mereka yang memiliki kapital sangat besar. Dari keunggulan kapital itu, mereka bisa menguasai struktur pasar, dimana bisnisnya kecenderungan monopolistik. Berbekal kekayaan, oligarch secara mudah menentukan siapa saja mereka yang duduk di pemerintahan dan parlemen, termasuk mendikte kebijakan yang bakal diambil.
Pengaruh oligarch di tatanan partai politik ini pula tak kalah kuatnya. Gde bilang para oligarch bisa pula menentukan siapa yang duduk di pucuk pimpinan partai. Sebab, peranan oligarch ini sebagai penyokong dana operasional termasuk kampanye parpol yang dapat mengerek elektabilitasnya. “Oligarch ini akan mengerahkan sumber daya yang melimpah. Melalui regulasi, keputusan pemerintah, legislaasi di DPR hingga proses politik di pilpres dan pilkada. Oligarch ini bisa membuat muktamar dan munas dipercepat dan membuat ketua umum diganti. Oligarch dalam konteks pilkada bisa saja menggagalkan Anies (dalam pencalonan di Pilkada Jakarta) karena bagaimanapun juga jakarta memiliki kepentingan ekonomi tinggi. Jadi siapa yang berkuasa di Jakarta, harus bisa mengakomodir kepentingan mereka,” kata dia.
Problematika PSN PIK 2
Said Didu tampil ke publik dengan mengungkap dugaan penyimpangan pembebasan lahan oleh pihak pengembang. Adapun kawasan PSN yang meliputi sembilan kecamatan di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang ini digarap oleh Agung Sedayu Grup. Pihak pengembang diduga melakukan penawaran yang tidak wajar terhadap pembebasan tanah warga. Di beberapa kasus, disebut Didu, ada dugaan intimidasi kepada warga yang tidak melepas tanahnya.
Bagi Said, pelaksanaan PSN di PIK 2 merupakan praktik oligarki yang sangat nyata dan berlangsung sempurna. Dia yang mengaku memiliki sebidang aset di kawasan tersebut, sudah turun membersamai warga untuk menentang pembangunan PSN. Teranyar, aksinya justru berbalas kasus hukum. Dia dilaporkan atas pencemaran nama baik sesuai UU ITE. “Saya turun ke bawah hambatannya banyak sekali. Setiap orang yang foto dengan saya, besoknya akan dipanggil aparat. Kemarin saya dibilang saya sedang diincar. Jadi di situ wilayah preman di sembilan kecamatan adalaj wilayah yang sudah ada tidak pemerintah,” kata Said Didu dalam kesempatan serupa.
Di sembilan kecamatan, mulai dari Kosambi hingga Tanara, Said Didu mengklaim punya bukti bahwa tanah warga ditawar pihak pengembang dari harga rentang Rp30-50 ribu per meter. Di Tanara, katanya, terdapat juga aset rumah Wapres Ma’ruf Amin. “Bayangkan seorang wakil presiden, tanah rakyatnya diambil, dia diam. Jadi ketahuan siapa di atasnya. Kampungnya Ma’ruf Amin di Tanara itu hanya ditawar 30 ribu rupiah. Kampung wakil presiden tidak bisa teriak melawan oligarki,” kata dia.
Dia bilang mengantongi bukti ihwal transaksi pembelian lahan oleh pihak pengembang. Dia juga mengetahui bagaimana pihak notaris pengembang bergerilya turun ke rumah warga untuk membujuk mereka melepas tanahnya. “Di PIK 2 yang dilakukan itu adalah wilayah itu sebagai lokasi yang seakan-akan hanya pengembang yang boleh beli. Mekanisme pembebasnnya aneh. Karena tidak ada panitia penetapan harga untuk pembebasan. Yang menentukan adalah aparat desa yang menentukan yang mendatangi rakyat bersama preman. Pengembang menjual tanah dan bangunan setelah jadi sekira 21-36 juta per meter sedangkan tanah rakyat ditawar 50 ribu per meter. kata dia.
Lain itu, dia bilang saat ini sedang dibangun pemagaran di kawasan laut yang beririsan dengan kawasan PIK. Menurutnya, ini melanggar aturan. “Bagaimana laut dipagar, lantas adakah angkatan laut teriak. Adakah kepala desa teriak, adakah camat teriak. ini fakta wilauah ini sudah tidak ada negara,” katanya.
Dia menduga PSN di kawasan ini bakal eksklusif bagi kelompok masyarakat tertentu. Dia merujuk pada kawasan PIK I yang terkesan eksklusif. Dia merujuk geografi negara Singapura yang cakupan luas wilayahnya hampir sebesar kawasan PIK. “Di PIK 2, bukan ekspansi kapitalisme, tapi ada agenda lebih besar. Di PIK I begitu eksklusifnya. Bisa dibayangkan masuk akal tidak ada tower apartemen dengan ribuan kamar yang ada di desa. Akan ada eksklusifitas etnis tertentu,” katanya.
Komentar