Andremirza Fahmi, Peneliti dan Pengamat komunikasi politik
Membincang Kembali Ongkos Kampanye Politik di Pilkada 2024
Bakal calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil (tengah) meninggalkan ruangan usai berkunjung ke Gedung Fanta Headquarters Prabowo-Gibran, Menteng, Jakarta, Senin (2/9/2024). Dalam kunjungannya Mantan Gubernur Jawa Barat tersebut memaparkan gagasan dan program kerja kepada Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN-Fanta) untuk maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta bersama Suswono. Robinsar Nainggolan
law-justice.co - Bank Indonesia (BI) mencatat perputaran uang pada 1-14 Februari 2024 mencapai Rp 67,1 triliun. Ini selaras dengan tren Pemilu 2014 dan 2019, saat uang yang beredar meningkat Rp 23 triliun – Rp52 triliun.
Dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu 2024, pasangan Ganjar-Mahfud melaporkan pengeluaran terbesar, Rp 506 miliar. Disusul Prabowo-Gibran (Rp 207 miliar) dan Anies-Muhaimin (Rp 49 miliar). Ada penurunan pengeluaran paslon --karena masa kampanye lebih singkat-- jika dibandingkan dengan Pemilu 2019. Namun, baik Pilpres 2019 dan 2024 melampaui pengeluaran Pilpres 2014.
Peningkatan pengeluaran salah satunya disebabkan oleh perubahan batas sumbangan pilpres seperti diatur UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, yang menaikkan batas sumbangan perseorangan untuk capres dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2,5 miliar (naik 150%), dan sumbangan korporasi Rp 7,5 miliar menjadi Rp 25 miliar (naik 333%). Tidak ada batasan pengeluaran kampanye.
Peningkatan perputaran uang mungkin berdampak positif terhadap roda ekonomi. Tapi perhatian perlu diberikan pada pengeluaran kampanye, terutama menjelang Pilkada serentak November ini. Apakan calon yang terpilih tetap bisa bekerja optimal tanpa rongrongan kelompok penyumbang? Bagaimana dengan kepercayaan publik?
Citizens United vs FEC
Tarik ulur uang, pemilu, dan demokrasi punya riwayat panjang. Sebagai ilustrasi, mari menengok sebuah kasus di Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court) 14 tahun lalu. Pada 21 Januari 2010, Mahkamah Agung AS menetapkan larangan peredaran film Hillary: The Movie produksi Citizens United telah melanggar konstitusi. Putusan ini membatalkan aturan dana kampanye yang membatasi pengaruh korporasi dalam pemilu.
Menjelang primary election Partai Demokrat 2008, Political Action Committee (PAC) konservatif Citizens United hendak merilis Hillary: The Movie, film yang menyorot berbagai skandal Hillary Clinton yang saat itu ingin maju sebagai capres. Namun, Federal Election Commission (FEC) melarang penayangan `konten` pemilu 30 hari sebelum primary, dan melarang korporasi urun dana dalam urusan sejenis. Citizens United pun mengajukan banding sampai Mahkamah Agung.
Putusan Citizens United menganggap pembatasan korporasi untuk menyalurkan uang di kampanye telah melanggar prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Keputusan ini punya konsekuensi panjang. Muncul tafsir baru konstitusi yang menetapkan bahwa prinsip free speech tidak boleh membedakan antara individu dan kumpulan individu. Menurut Mahkamah Agung, korporasi --sebagai kumpulan individu-- juga berhak atas free speech.
Karena uang mempengaruhi penyebaran pendapat, demikian Hakim Anthony Kennedy dalam majority opinion yang ia tulis, maka membatasi uang korporasi di pemilu pun termasuk pelanggaran konstitusi. Kebebasan berekspresi tak boleh dibatasi, maka korporasi harus bebas menggunakan uangnya untuk mendukung kandidat mana pun. There is no such thing as too much speech, tulisnya.
Sejumlah pihak menganggap, alih-alih melindungi kebebasan berekspresi, putusan Citizens United justru membahayakan demokrasi. Peringatan ini termaktub dalam putusan Austin vs Michigan Chamber of Commerce, yang menyatakan bahwa pemerintah perlu melindungi demokrasi dari "efek merusak akumulasi kekayaan luar biasa" yang bisa mendominasi politik sehari-hari, menenggelamkan suara warga, dan secara tidak adil mempengaruhi pemilu.
Berbagai Cara Lain
Citizens United adalah contoh saat regulasi ditiadakan --dengan dalih perlindungan kebebasan berekspresi-- kompetisi politik berubah jadi wahana tarung kekayaan. Hari ini, Indonesia masih memiliki regulasi, tapi tak ada jaminan kalau ia tidak akan diubah suatu hari nanti.
Empat belas tahun berselang, pusaran uang besar tetap lumrah di Pemilu AS. Tahun ini, tercatat ada 2.136 Super PACs yang menyiapkan miliaran dollar untuk iklan kampanye jelang Pemilu November. Dampaknya tak berhenti pada kualitas pemilu. April lalu, Pew Research Center mencatat lebih dari 80% penduduk AS merasa pejabat publik "tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan". Sebesar 70% merasa warga biasa hanya punya pengaruh kecil dalam keputusan Kongres, dan hanya 4% penduduk yang menganggap sistem politik berfungsi dengan baik. Mustahil demokrasi bisa sehat dengan kepercayaan publik setipis ini.
Dua alternatif mengemuka: pembatasan pengeluaran kampanye serta optimalisasi pembiayaan publik. Tak cukup dengan pembatasan donasi untuk melindungi independensi partai, dibutuhkan pembatasan pengeluaran untuk mengurangi keuntungan kandidat dengan akses pendanaan yang besar.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) mencatat 30% negara di dunia membatasi belanja parpol, dan 40% membatasi pengeluaran kandidat. Studi National Bureau of Economic Research (2017) mengenai pembatasan pengeluaran di pemilihan wali kota di Brasil menyimpulkan bahwa pembatasan menghasilkan pemilihan yang lebih kompetitif, serta mengurangi peluang kandidat kaya dan keunggulan petahana (incumbency advantage).
Alternatif kedua adalah optimalisasi pembiayaan. Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, Indonesia sudah melakukan pembiayaan parpol. Memang, mengingat parpol Indonesia, menurut survei Indikator, konsisten jadi lembaga politik yang paling tidak dipercaya publik, penambahan subsidi tampak janggal. Namun jika tepat, pendanaan dapat dilihat sebagai realisasi hak partisipasi politik warga.
Menurut International IDEA, 68% negara di dunia (116 negara) sudah menerapkan pendanaan publik untuk partai. Sejak diperkenalkan di Kosta Rika dan Uruguay pada 1954 dan diikuti negara lain pada 1970-an, subsidi parpol masih ampuh untuk mengobati praktik pengumpulan dana ilegal, menguatkan kelembagaan partai, dan memaksa partai lebih profesional menjalankan pendidikan politik di masyarakat.
Sumbangan pribadi bagi partai adalah partisipasi politik, maka aturan wajib menyeimbangkan antara upaya mendorong kontribusi kecil-menengah dan membatasi donasi raksasa. Ia diharapkan dapat merangsang keterlibatan dalam politik sehari-hari, karena mereka yang menyumbang kemungkinan besar akan tertarik turut serta dalam agregasi kepentingan, perumusan agenda, hingga mencoblos saat pemilu. Ini memungkinkan adanya kepemilikan publik pada partai politik, dan partai politik yang beraktivitas untuk kepentingan yang jamak, bukan hanya untuk donatur.
Tantangan
Kesuksesan dua alternatif tersebut bergantung pada penguatan kelembagaan yang serius. Dibutuhkan KPU yang betul-betul independen, dengan wewenang jelas untuk menindak pelanggar. Transparansi juga syarat mutlak. Tak cukup mengharapkan kesukarelaan parpol dan kandidat dalam melapor, KPU harus proaktif dan melibatkan lembaga seperti PPATK dalam pengawasannya.
Setiap pembiayaan wajib diikuti audit, pelaporan, dan --jika ada pelanggaran-- sanksi yang tidak bisa ditawar. Sayangnya, seperti dipaparkan Andreas Ufen dan Marcus Mietzner dalam Political Finances Regime in Southeast Asia, karena syarat yang ketat, para petinggi partai sering menolak bantuan dana. Ini sejalan dengan pemaparan International IDEA perihal tantangan upaya pengaturan ongkos politik; kesepakatan elite untuk tidak memperbaiki peraturan dan penerimaan populer terhadap praktik jual beli suara. Selain itu, selalu ada risiko penguasa menyalahgunakan wewenang pendanaan untuk `menjinakkan` partai yang tak diinginkan.
Dengan demikian, tak cukup menghadirkan regulasi dan menguatkan lembaga, perombakan budaya politik elite dan masyarakat yang sudah mendarah daging juga penting. Keduanya harus diupayakan berbarengan.***
Komentar