Normal Ilham, Tenaga Ahli DPR
Listrik Kita Dibajak Oligarki dari PLTU Pelabuan Ratu ke PLTA Saguling
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 di Serang, Provinsi Banten merupakan PLTU terbesar di Indonesia dengan total kapasitas sebesar 2×1.000 Megawatt (MW). (pln.co.id)
Jakarta, law-justice.co - PLN sudah lebih dari satu dekade menghadapi permasalahan yang fundamental. Yaitu, kebijakkan pemerintah dalam pembentukan Holding dan Sub Holding di PLN, Power Wheeling dan Transisi Energi.
Ketiga permasalahan tersebut mengarah kepada swastanisasi. PLN sebagai BUMN sepatutnya mematuhi kebijakkan pemerintah. Tetapi para pekerja melihatnya “Agak Laen”.
PLN memiliki 11 anak perusahaan. Anak pertamanya PT PLN Indonesia Power, dan anak kedua PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB), yang mengoperasikan pembangkit PLN. Serikat Pekerja PLN (SP-PLN) dan Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP-IP) serta Serikat Pekerja PJB (SP-PJB) adalah lokomotif perlawanan terhadap privatisasi oleh pemerintah. Perlawanan dilakukan dengan prosedur hukum yang berlaku. Yaitu, melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam lebih dari sepuluh tahun terakhir SP PLN dan PP IP serta SP PJB telah mengajukan _judicial review_ beberapa kali ke MK. Menggugat perundang-undangan yang dibuat pemerintah dalam rangka meliberalkan sektor listrik. Ketiganya melihat sektor ketenagalistrikan adalah milik negara bukan milik pemerintah berkuasa yang dibelakangnya ada oligarki yang mencari keuntungan di sektor listrik.
Dalam ulang tahun PP-IP ke 25, pada 27 Agustus 2024. PP-IP mengadakan diskusi di PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTA Saguling, Jawa Barat. Kekuatiran akan penguasaan listrik oleh swasta menjadi topik utama. Termasuk perkiraan kebijakkan pemerintahan baru terhadap sektor listrik.
Salamuddin Daeng membahas bukunya Listrik Dibajak Oligarki I dan II. Mengupas dengan jelas tangan-tangan Oligarki masuk melalui pemerintah dalam menguasai berbagai sektor bisnis kelistrikan dari hulu hingga hilir. Utang besar PLN menjadi pintu masuk swasta agar masuk lebih dalam lagi di bisnis kelistrikan.
“Padahal aturan _take or pay_ yang dipaksakan pihak swasta ke PLN di saat _oversupply_ listrik telah berlangsung sejak 2011, merupakan biang keladi dari rusaknya keuangan PLN,” ungkap Salamuddin Daeng.
John Mempi membahas mengenai perlawanan PP IP di MK. Membandingkannya dengan jihad konstitusi Muhammadiyah. Dimana untuk membatalkan satu undang-undang liberal yang tidak pro rakyat, membutuhkan waktu satu tahun di MK. Sedangkan undang-undang liberal yang dibuat DPR RI berdasarkan amandemen UUD 45 ada sekitar 400 undang-undang di berbagai sektor.
Sehingga untuk membatalkan UU yang liberal itu butuh waktu 400 tahun. Lebih lama dari perjuangan Indonesia Merdeka. Untuk itu perjuangan PP IP saat ini adalah Kembali ke UUD 45 asli. “Dengan kembali ke UUD 45 asli, seluruh undang-undang liberal yang dibuat DPR RI berdasarkan amandemen UUD 45, termasuk di sektor kelistrikan langsung batal,” jelas John Mempi.
Nirmal Ilham membahas mengenai bagaimana China menampik isi perjanjian _climate change_ dan menolak proposal transisi energi dunia. Hal itu dilakukan karena konsistennya pemerintah China terhadap kebijakkan pintu terbuka Deng Xiaoping untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China, didasarkan pada sumber energi yang murah di tangan negara.
“Tidak peduli apakah energi itu kotor atau bersih. Seperti tidak pedulinya Deng apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Demi rakyat bekerja dan pemerintah bermartabat.” tegas Nirmal Ilham.
Ketua Umum PP IP, Dwi Hantoro membahas tentang perjuangan PP IP ke depan, terhadap kemungkinan kebijakkan pemerintahan baru dalam sektor kelistrikan. Dwi Hantoro berharap semoga perjuangan PP IP tidak menjadi _never ending story_.
“Sebaiknya terus solid menjaga kebersamaan. Dan menjalin jaringan dengan pihak-pihak yang dapat berkontribusi. Karena masih banyak orang-orang baik yang siap membantu," harap Dwi Hantoro.***
Komentar