Nawaitu Redaksi

Kasus Gratifikasi Kaesang, Mengapa KPK Masuk Angin dan Jadi Gamang?

Minggu, 01/09/2024 08:13 WIB
Usut Dugaan Gratifikasi, KPK Curiga Kaesang Manfaatkan Jabatan Ayahnya. (Kolase dari berbagai sumber).

Usut Dugaan Gratifikasi, KPK Curiga Kaesang Manfaatkan Jabatan Ayahnya. (Kolase dari berbagai sumber).

Jakarta, law-justice.co - Demo besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat khususnya kalangan buruh dan mahasiswa di berbagai kota di Indonesia telah berhasil menekan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi Undang Undang  (UU)  Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Kegagalan DPR mervisi UU Pilkada mengandung makna bahwa  DPR telah gagal menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70 tentang ambang batas Pilkada dan usia calon pejabat negara yang akan maju di Pilkada.

Keputusan MK No70 diduga berusaha untuk dimentahkan oleh DPR guna merintis jalan bagi pencalonan Kaesang (anak Jokowi) mengikuti kontestasi Pilkada. Karena dengan adanya Keputusan MK No.70 itu, peluang Kaesang untuk ikut Pilkada menjadi terkendala. Oleh karena itu keputusan MK No.70 harus dimentahkan melalui revisi UU Pilkada meskipun gagal pada akhirnya.

Uniknya, ditengah gelombang demo besar menentang revisi UU Pilkada, pada saat yang sama media massa sedang ramai memberitakan keberangkatan putra bungsu raja Jawa  Kaesang Pangarep bersama istrinya Erina Gudono ke Amerika.

Media memberitakan gaya hidup serba mewah yang dipamerkan oleh putra raja Jawa dimancanegara. Mereka berdua (Kaesang dan istrinya) berangkat ke Amerika Serikat menggunakan jet pribadi hingga membeli kue seharga Rp400 ribu per potongnya. Momen perjalanan mereka ini diunggah di akun Instagram Erina.

Sebuah peristiwa yang sangat ironis ketika wakil rakyat di DPR sedang “berjuang” mencarikan jalan untuk memuluskan kariernya sebagai calon pejabat negara melalui upayanya merevisi UU Pilkada, Kaesang justru bersenang senang bersama istrinya di Amerika.

Buntut dari perilaku hedon Kaesang Pangarep yang menggunakan jet pribadi dalam kunjungannya ke Amerika telah berbuah laporan ke KPK. Kaesang dilaporkan ke KPK oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman karena diduga telah menerima gratifikasi berupa fasilitas jet pribadi yang tumpanginya.

Apa itu gratifikasi yang diduga diterima oleh Kaesang Pangarep melalui penggunaan jet pribadi dalam lawatannya ke Amerika ?. Mengapa KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi  menjadi gamang untuk mengusutnya ?. Apakah sikap gamang yang ditunjukkan oleh KPK itu memang sudah menjadi kebijakan yang memang sudah sepantasnya untuk dilakukannya ?

Gratifikasi 

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dimana gratifikasi merupakan salah satu dari 7 (tujuh) klasifikasi korupsi di Indonesia. Gratifikasi antara lain diatur dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Pada Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 menyatakan:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam penjelasan atas pasal 12B tersebut disebutkan yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronika.

Contoh lain pemberian yang dapat dikategorikan sebagai Gratifikasi, diantaranya adalah:

  1. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
  2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
  3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
  4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan
  5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
  6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acaraacara pribadi lainnya darirekanan
  7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

Seluruh pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, apabila ada hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dan dengan pejabat yang menerima dan/atau semata- mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut.

Dari pengertian tersebut dan contoh perbuatan yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi maka gratifikasi dapat diartikan dari aspek positif maupun negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasanapapun artinya pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa ada pamrih didalamnya

Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan diantara mereka.

Dengan demikian gratifikasi tidak selalu berkonotasi negatif, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Bahkan di negara kita pemberian sebagai ucapan terima kasih, pemberian sebagai tanda sayang.

Pemberian sebagai tanda persahabatan adalah merupakan budaya yang dikembangkan dalam berbagai aspek kegiatan. Seperti dalam prosesi lamaran akan digambarkan dalam suatu hantaran yang terdiri dari berbagai kebutuhan bahkan dalam bentuk uang. Tentu saja pemberian seperti ini merupakan bentuk gratifikasi positif.

Di negara negara maju, pemberian dalam arti negatif seperti  pemberian gratifikasi bagi kalangan birokrat dilarang keras, terutama kegiatan gratifikasi dikalangan pelayanan masyarakat. Hal ini dikarenakan Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan Masyarakat sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau mempengaruhi hajat hidup masyarakat banyak.

Dalam kenyataan sehari-hari bukanlah sesuatu sederhana dalam memisahkan pengertian gratifikasi dalam pengertian positif maupun negatif. Jika kita lihat unsur-unsur tindak pidana gratifikasi menurut pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu: 1. Pembuatnya adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara 2. Perbuatannya adalah menerima (pemberian dalam arti luas) 3. Obyeknya adalah gratifikasi atau pemberian dalam arti luas 4. Pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya 5. Berlawanan dan kewajiban dan tugasnya

Dari unsur tersebut maka perbuatan yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi adalah perbuatan menerima pemberian tersebut dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dan pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau dengan maksud agar pegawai negeri tersebut melakukan suatu perbuatan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan diatas, apakah pemakaian jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya ke Amerika Serikat termasuk dalam kategori gratifikasi negative  sehingga penegak hukum harus mengusutnya ?.

Mengomentari persoalan ini, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tessa Mahardhika Sugiarto sebagaimana dikutip law-justice.co 30/8/24, menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu tidak bisa mencurigai fasilitas yang dinikmati orang yang bukan penyelenggara negara.

“KPK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa apakah itu merupakan gratifikasi yang menyentuh conflict of interest atau tidak, karena yang bersangkutan bukan merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Tessa.

Dengan alasan bukan pegawai negeri dan bukan pula penyelenggara negara, apakah dengan demikian Kaesang bersama istrinya yang menikmati fasilitas jet pribadi itu tidak masuk dalam kategori sebagai penerima gratifikasi menurut KPK ?

Kegamangan KPK

Pernyataan dari juru bicara KPK yang menyatakan bahwa Kaesang bukanlah penyelenggara negara atau PNS sehingga KPK tidak punya hak atau wewenang buat mengusutnya, membuat banyak orang bertanya tanya.

Mereka yang berusaha untuk memahami jalan pikiran KPK mulai mencari alasan yang jadi argumentasi pembenarnya. Bahwasanya tidak semua fasilitas dan pemberian yang diterima oleh pejabat negara melalui keluarganya merupakan gratitifikasi sehingga penegak hukum harus mengusutnya.

Bayangkan kalau setiap pemberian, fasilitas atau kemudahan kemudahan yang diterima oleh keluarga pejabat/ penyelenggara dianggap sebagai sebuah gratifikasi maka akan rumit juga pola pengusutannya. Karena harus selalu dicek atau ditanya asal usul atau modus pemberian atau fasilitas yang diterima oleh keluarga pejabat/ penyelenggara negara.

Sebenarnya, melalui pernyataan KPK tersebut secara tidak langsung mengingatkan kepada kita bahwasanya dunia hukum itu penuh dengan aturan yang tidak semua orang memahaminya. Kebanyakan orang pada umumnya berpikir sederhana :  "Pokoknya ada hadiah, ada sogokan, ada fasilitas yang diberikan, gratifikasi itu namanya !" Padahal kenyataannya, tidak semua bisa disederhanakan begitu persoalannya.

Demikianlah jalan pemikiran mereka yang mendukung KPK dengan pernyataanya yang merasa tidak wewenang untuk mengusut dugaan gratifikasi yang diterima oleh Kaesang bersama isterinya.

Tetapi bagi mereka yang berseberangan dengan statemen yang disampaikan oleh juru bicara KPK mempunyai basis argumentasi yang cukup masuk akal pula. Mereka ini pada umumnya menyayangkan pernyataan dari juru bicara KPK yang merasa lembaganya tidak mempunyai kewenangan untuk mengusut dugaan gratifikasi yang dinikmati oleh Kaesang dan istrinya.

Mereka berpandangan kalau pemberian fasilitas, hadian dan sejenisnya oleh pihak ketiga dianggap sebagai sesuatu yang wajar maka ini akan sangat berbahaya karena bisa dijadikan sebagai modus operandi praktek praktek korupsi yang merugikan negara. Bukankah definisi korupsi itu adalah memperkaya diri sendiri dan keluarganya ?

Apalagi UU Nomor 20 /2021 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menyatakan  bahwa gratifikasi merupakan pemberian hadiah atau fasilitas kepada pejabat negara karena terkait dengan posisi atau jabatannya.Sehingga  kalau ada keluarga atau kerabat mendapatkan juga fasilitas atau hadiah, itu juga sudah masuk wilayah gratifikasi. Selama pemberian itu berkaitan dengan posisi atau jabatan keluarganya

Dalam kaitan ini ,keluarga atau kerabat pejabat seharusnya masuk dalam kategori PEP (Politically Exposed Person) atau orang yang terekspos secara politis.Di Indonesia sendiri, transaksi dari orang-orang dalam kategori ini harus diawasi oleh lembaga keuangan. Hal itu juga sejalan dengan mandat Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF).

Sehingga kalau ditemukan adanya  transaksi yang mencurigakan bisa dilaporkan ke PPATK [Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan]. Dalam konteks ini, keluarga pejabat juga masuk dalam kategori ini karena terekspos tinggi.

Sejauh ini kita telah mengenal beragam modus dugaan gratifikasi yang dapat diterima keluarga atau kerabat pejabat negara. Misalnya, barang-barang mewah, fasilitas khusus, tiket liburan, sampai memberikan saham perusahaan dan sebagainya

 Lebih lanjut, modus lainnya juga dilakukan dengan penawaran potensi-potensi bisnis yang menguntungkan keluarga pejabat.Jadi ini modus halus menyembunyikan niat ke si pejabatnya  secara langsung. Kadang pemberian kepada keluarga ini menjadi modus pengalihan karena menghitung resiko kalau gratifikasi itu diberikan langsung kepada pejabat yang bersangkutan.

Sebagai ilustrasi gratifikasi yang diterima oleh keluarga pejabat negara misalnya bisa melalui anaknya. Sebagai contoh ada pimpinan aparat penegak hukum, yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan sesuatu perkara. Taruh lah semua proses dalam memutus suatu perkara telah dilalui dengan prosedur yang sebenar benarnya. Kemudian ada pihak yang ingin mengucapkan terima kasih kepada pejabat yang bersangkutan. Sang pejabat bisa saja bilang jangan berikan kepada saya karena saya penyelenggara negara. Kalau memang mau memberikan sesuatu, berikan saja kepada anak saya.

Dalam konteks demikian, yang menerima gratifikasi adalah anak pejabat negara bukan pejabatnya. Tapi anak bisa menerima hadiah atau pemberian itu karena faktor Bapaknya selaku penyelenggara negara. Kalau praktek praktek seperti ini dibiarkan merajalela maka jadi rusaklah semuanya.

Berdasarkan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas, sungguh suatu keanehan ketika KPK, sehubungan dugaan adanya gratifikasi yang diterima oleh Kaesang buru buru menyatakang tidak berwenang mengusutnya karena yang bersangkutan bukan PNS atau pejabat negara.

Seharusnya KPK segera melakukan klarifikasi terhadap Kaesang yang disangka telah menerima gratifikasi karena naik jet Pribadi ke Amerika. Klarifikasi yang dilakukan oleh  KPK diharapkan bisa membuat kepastian apakah pengguaan private jet tersebut gratifikasi atau bukan. Jika itu merupakan fasilitas perusahaan milik Kaesang dan tidak terkait dengan gratifikasi maka tidak ada kaitannya dengan KPK, tapi menjadi ranah Kementerian Keuangan. Dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

Namun kalau  itu fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada Kaesang karena posisi kakaknya Gibran atau karena Bapaknya Jokowi sebagai seorang presiden telah memberikan kemudahan kemudahan kepada perusahaan penyedia fasilitas pesawat tersebut maka hal ini tentu saja masuk kategori gratifikasi meskipun harus ada pembuktian tentunya.

Penegak hukum seperti KPK atau Kejaksaan perlu segera mencari bukti bahwa pemberian hadiah atau fasilitas dari pihak ketiga tersebut berkaitan dengan jabatan yang diemban keluarga mereka.

Jika terbukti terdapat tindakan gratifikasi, maka penegak hukum bisa menjerat pejabat yang bersangkutan meskipun keluarga mereka yang menerima fasilitas atau hadiah. Pejabat yang gratifikasi tersebut bisa disangka lewat UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam kaitan dengan kasus ini, KPK tidak boleh pasif karena sudah menjadi sorotan publik. Lembaga antirasuah bisa bergerak proaktif mengejar klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Sebab, Pasal 12C UU Tipikor menyebut sepanjang pegawai negeri melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK sebelum 30 hari kerja, maka ketentuan terkait sanksi pidana menjadi tidak berlaku.

Berdasarkan Pasal 2 ayat 3 Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi, disebutkan pemberian dalam keluarga termasuk pengecualian untuk pelaporan gratifikasi.Namun, yang  perlu digaris bawahi bahwa ketentuan itu berlaku sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dalam pemberian fasilitas atau hadiah tersebut.

Dalam konteks kasus Kaesang dan istrinya, sudah memenuhi unsur keluarga. Yaitu kaitannya dengan Gibran yang pernah menjadi Walikota Solo atau Bapaknya Kaesang sebagai Presiden Republik Indonesia. Tinggal membuktikan apakah ada unsur konflik kepentingan didalamnya.

Intinya, penegak hukum harus melihat apakah terdapat hubungan antara hadiah atau bentuk-bentuk fasilitas yang diberikan kepada keluarga penyelenggara negara atau pegawai negeri itu, dengan sejumlah keputusan bisnis atau kebijakan. Pasalnya, gratifikasi ke anggota keluarga menjadi modus yang diduga paling banyak dilakukan saat ini untuk menghindari jerat hukum bagi pelakunya

Oleh karena itu dengan mencuatnya kasus Kaesang yang diduga menerima gratifikasi, maka KPK jangan hanya bisa klarifikasi saja apalagi menyatakan lembaganya tidak berwenang mengusutnya. Lembaga anti rasuah ini harus melakukan investigasi mendalam dan menggali informasi yang seakurat mungkin untuk bisa menjerat anak sang raja Jawa.

Tapi pada akhirnya publikpun memaklumi mengapa KPK saat ini terkesan gamang atau  takut untuk mengusut kasus yang melibatkan penghuni istana. Kita tentu masih ingat ketika tanggal 10 Januari 2022 yang lalu , saat dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengadukan Kaesang dan kakaknya, Gibran Rakabuming, ke KPK.

Saat itu Ubedilah  melaporkan relasi bisnis dua anak Jokowi yang menurutnya berpotensi memunculkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.  Dugaan KKN tersebut terjadi berkaitan dengan adanya suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan ventura ke perusahaan rintisan kuliner anak Jokowi. Menurut dia, tidak mungkin perusahaan baru anak Presiden mendapat suntikan dana penyertaan modal dari sebuah perusahaan ventura."Setelah itu, anak Presiden membeli saham di sebuah perusahaan dengan angka yang juga cukup fantastis Rp 92 miliar, dan itu bagi kami tanda tanya besar," ujar Ubedilah dalam laporannya.

Ubedilah Badrun mempertanyakan, apakah seorang anak muda yang baru mendirikan perusahaan dapat dengan mudah mendapatkan penyertaan modal.“Apalagi angkanya cukup fantastis, dari mana kalau bukan karena anak Presiden ?”

Ubedilah Badrun mengaitkan aliran modal itu dengan peristiwa pembakaran hutan pada 2015. PT SM menjadi tersangka pembakaran hutan dan dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) senilai Rp 7,9 triliun.

Namun, seperti diketahui bersama, KPK tidak melanjutkan penyelidikan terhadap kasus tersebut karena menilai indikasi tindak pidana korupsi yang dilaporkan Ubedilah masih sumir, tidak jelas datanya

KPK meminta Ubedilah menjelaskan tentang uraian fakta dugaan korupsi dan pencucian uang seperti yang dilaporkannya. Pada akhirnya KPK sendiri tidak melanjutkan laporan itu dan memilih untuk mengarsipkannya.

Berkaca dari laporan Ubedilah yang “diabaikan” oleh KPK, kiranya akan demikian pulalah nasib laporan dari Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, yang melaporkan Kaesang atas dugaan gratifikasi buntut penggunaan jet pribadi yang ditumpanginya ketika berkunjung ke Amerika.

Bagaimanapun, untuk mengusut dugaan gratifikasi atau korupsi keluarga istana memang perlu nyali besar apalagi melibatkan anak seorang raja Jawa. Bagi KPK mungkin sedang berhitung daripada nanti malah jadi masalah lebih baik cari jalan aman saja.

Cukup bilang lembaganya tidak berwenang mengusutnya. Dengan pernyataan seperti itu akan lebih terjaga eksistensi KPK  dimata penguasa meskipun imbasnya akan “dicemooh” oleh warga bangsa. Tapi apakah memang begitu kenyataannya ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar