Kuasa Hukum Harvey Moeis: Dakwaan Jaksa Rugikan Rp300 T Salah Alamat

Rabu, 14/08/2024 22:12 WIB
Ini Kaitan Peran Harvey Moeis & Helena Lim di Kasus Korupsi PT Timah. (Kolase dari berbagai sumber).

Ini Kaitan Peran Harvey Moeis & Helena Lim di Kasus Korupsi PT Timah. (Kolase dari berbagai sumber).

Jakarta, law-justice.co - Penasihat hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih, menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum dari Jampidsus dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan korupsi tambang timah terhadap kliennya salah alamat.

Menurutnya, reklamasi atau pemulihan lingkungan area pertambangan merupakan kewajiban dari perusahaan pelaksana pertambangan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah dalam hal ini Izin Usaha Pertambangan (IUP).

"Kewajiban pemulihan lingkungan wilayah tambang yang divaluasi jaksa sebesar Rp271 triliun (terakhir diperbarui jadi Rp300 triliun) dipegang oleh pemilik IUP dengan jaminan reklamasi dan PT Timah sebagai pemilik IUP-nya memiliki dan akan melaksanakan reklamasi wilayah," kata Junaedi melalui keterangan tertulis, Rabu (14/8).

Junaedi menegaskan biaya pemulihan menjadi kewajiban pemilik IUP. Kata dia, biaya tersebut telah didepositokan oleh pemegang IUP dalam bentuk jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.

Harvey, menurut dia, tidak mempunyai kompetensi yang memungkinkan dirinya bisa mempengaruhi dilakukan atau tidak dilakukannya reklamasi di area pertambangan tersebut.

"HM [Harvey Moeis] tidak memiliki posisi ataupun jabatan dalam perusahaan smelter-smelter terkait (smelter yang bekerja sama dengan PT Timah)," kata Junaedi.

Ia menambahkan skema kerja sama antara PT Timah Tbk dan smelter-smelter swasta adalah kerja sama yang terjalin karena kebutuhan perusahaan pelat merah tersebut dalam menaikkan produksi logam timah.

"HM tidak menginisiasi kerja sama sewa-menyewa peralatan processing timah karena HM tidak memiliki kompetensi dan kapasitas terkait praktik pertambangan dan produksi timah ini," ucap dia.

Atas dasar itu, Junaedi menganggap kliennya tidak memiliki keterkaitan apalagi kewajiban dalam menanggung pemulihan lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut sebesar Rp300 triliun.

"Posisi HM nanti akan menjadi fakta persidangan yang terang setelah diluruskan dengan fakta dan bukti dalam persidangan," jelas dia dilansir dari CNN Indonesia.

Junaedi membantah tudingan jaksa yang menyebut kliennya dan crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim telah menerima Rp420 miliar terkait dengan dugaan korupsi tambang timah.

Ia mengklaim dana tersebut berasal dari Corporate Social Responsibility (CSR) dari seluruh smelter yang digunakan untuk sumbangan masjid, sumbangan bencana alam, sumbangan covid-19 dan alat kesehatan, dan lain-lain.

"Sehingga CSR bukan seolah-olah ada, tapi memang benar adanya. Dan bukan bertujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain, tetapi untuk berbagai kegiatan community development yang akan disampaikan pada tahap pembuktian" ungkap Junaedi.

Lebih lanjut, Junaedi menjelaskan aset yang disita jaksa saat ini merupakan penghasilan Harvey sebagai pengusaha.

"Bahkan, terdapat pula aset yang merupakan hasil dari jerih payah istrinya, contohnya 88 tas branded itu merupakan hasil endorsement," tutur Junaedi.

Harvey didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Selain itu, ia juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 atau 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Harvey diduga menggunakan uang yang diterimanya untuk membeli tanah, membayar sewa rumah, membeli sejumlah mobil, membeli 88 tas bermerek, membeli perhiasan, hingga untuk keperluan pribadi istrinya Sandra Dewi.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar