Gede Siriana, Direktur Eksekutif INFUS, Kandidat Doktor Ilmu Politik UNPAD
Nasib Golkar dan Permainan Kekuasaan Jokowi
Lambang Partai Golkar (Dok.Partai Golkar)
Jakarta, law-justice.co - Permainan kekuasaan, atau power play di fase akhir kekuasan Presiden Joko Widodo yang tersisa kurang dari tiga bulan, menjadi perhatian khalayak luas. Terutama karena kali ini menimpa Partai Golkar. Dalam konteks politik, power play dapat dimaknai sebagai taktik untuk meningkatkan kekuatan atau pengaruh seseorang untuk mendapatkan keuntungan politik tertentu.
Sebagai mantan presiden dua periode nantinya, dengan usia yang masih relatif masih muda, tentu saja hasrat politik Jokowi selanjutnya tidak terbatas pada karier politik anak-anak maupun menantunya. Jika kita tetap mengacu pada agenda "tiga periode" yang pernah muncul, sepertinya Jokowi akan tetap berupaya untuk terus eksis sebagai "king maker" politik. Mungkin ia ingin disejajarkan dengan para mantan presiden seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati.
Meski begitu, Jokowi bukanlah "penguasa tunggal" partai politik. Karena itu, menjelang kekuasaannya berakhir, ia membutuhkan suatu posisi formal-struktural dalam partai politik yang dapat memberinya kekuatan besar untuk mengimbangi para "king maker" lainnya.
Artikel ini akan menjelaskan bagaimana power play dalam relasi antara Jokowi dan partai Golkar, berkaitan dengan rencana penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub).
Sesungguhnya isu munaslub Golkar sudah muncul menjelang Pemilihan Presiden 2024 untuk melengserkan Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Golkar. Isu ini muncul karena partai tak kunjung memutuskan bakal calon presiden.
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam bahkan sempat meminta Airlangga mundur dari jabatannya setelah pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung pada 24 Juli 2023. Ridwan juga menyebut Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) pantas menggantikan Airlangga. Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya dua faksi besar yang menghendaki munaslub.
Meskipun Jokowi membantah keterlibatannya, tapi nama-nama orang dekat Jokowi, seperti Luhut dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencuat dalam isu ini. Mereka juga sempat menyatakan siap menggantikan Airlangga. Hal ini menunjukkan ada kepentingan Istana yang harus diakomodir oleh Golkar pada Pilpres 2024.
Isu Munaslub Setelah Pilpres
Setelah Pilpres 2024 berakhir, di mana partai Golkar berperan besar dalam kemenangan Koalisi Indonesia Maju (KIM), ditambah perolehan suara yang meningkat pada pemilu legislatif, seharusnya isu munaslub meredup. Toh, desakan itu justru menguat kembali dengan alasan Airlangga tak menjalankan amanat musyawarah nasional pada 2019.
Menariknya, dalam isu munaslub pasca-pilpres 2024, Luhut tak lagi tampi sebagai kelompok yang menginginkan pergantian kepemimpinan di Golkar. Muncul kesan bahwa Luhut sudah puas dengan adanya barter politik antara Golkar dengan Istana, berkaitan dengan dukungan partai berlogo beringin ini kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi.
Sejak Juni 2024 pun, Airlangga melakukan konsolidasi ke banyak daerah untuk menggalang dukungan, agar dirinya terpilih kembali di musyawarah nasional akhir tahun ini. Di fase ini, Golkar terlihat kembali solid.
Tapi dinamika di internal Golkar kembali bergejolak, yang puncaknya ditandai dengan pengunduran diri Airlangga dari posisi Ketua Umum Golkar pada 11 Agustus 2024. Airlangga beralasan, pilihan itu diambil demi mencegah perpecahan di internal partai.
Di luar berbagai peristiwa tadi, penulis melihat ada beberapa faktor yang memperkuat desakan munaslub Golkar. Saat masih menjadi ketua umum, posisi Airlangga yang juga menjabat Menteri Koordinator Perekonomian terjepit di antara dua kekuatan: Jokowi sebagai presiden yang masih berkuasa, dan Prabowo sebagai presiden berikutnya.
Dengan posisi itu, Airlangga harus menjaga keseimbangan kepentingan Jokowi, terutama seperti proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Di sisi lain, ia juga harus mengakomodir kepentingan program Prabowo, seperti makan siang gratis.
Dalam kaca mata politik, masa transisi kekuasaan seperti saat ini tentu akan mempengaruhi sikap partai politik. Keberpihakan kepada penguasa baru bisa dianggap lebih menjanjikan karena dapat menjaga peluang partai di masa depan. Airlangga dapat saja bersikap buying time demi mengamankan posisinya sampai masa kekuasaan Jokowi berakhir. Tapi pilihan sikap itu bisa membuat ia terlihat sebagai sosok yang tak kooperatif.
Di lain pihak, anggota partai politik juga berkepentingan dengan pemerintahan mendatang. Hal ini terutama berkaitan dengan peluang mendapatkan jabatan di pemerintahan berikutnya. Dalam sistem politik pada umumnya, seorang politikus akan sulit mendapatkan posisi jika punya hubungan buruk atau jauh dengan ketua umum partai. Begitu juga sebaliknya.
Konteks tersebut erat kaitannya dengan sikap para kader Golkar yang sejak awal menghendaki munaslub. Ridwan Hisjam sempat mengungkapkan ada tiga kelompok yang menggulirkan wacana munaslub setelah Pilpres 2024. Jika melihat perkembangan isu tersebut, dikaitkan dengan posisi kader Golkar di kabinet Jokowi, maka tiga kelompok yang dimaksud mengarah pada Bahlil, Bamsoet, dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Jika dilihat rekam jejak mereka, Balil dan Bamsoet pernah memperlihatkan dukungan terhadap wacana "tiga periode" bagi Jokowi. Bamsoet juga lah yang mengembuskan rencana dihidupkannya kembali Dewan Pertimbangan Agung. Isu itu kemudian diperkuat pernyataan Bahlil yang menyebut Jokowi berpeluang menjadi penasihat bagi Prabowo. Adapun, Agus Gumiwang yang menjabat sebagai Menteri Perindustrian, dikabarkan memang sedang berselisih dengan Airlangga. Salah satunya akibat masalah tertahannya 26 ribu kontainer di pelabuhan.
Secara logika politik, jika Bahlil terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, maka peluang Jokowi untuk menjadi kader partai ini membesar. Apalagi jika munaslub itu dilakukan sebelum pemerintahan Jokowi berakhir di Oktober mendatang. Bisa saja, nanti, Jokowi menduduki posisi Ketua Dewan Pembina Golkar.
Isu Munaslub dan Pilkada 2024
Penyelenggaraan munaslub ini juga sangat mungkin berhubungan erat dengan kepentingan politik di Pemilihan Kepala Daerah 2024. Kepentingan Jokowi terhadap dinasti politiknya, dan pertarungan partai politik di Jawa, akan sangat menentukan peta elektoral lima tahun ke depan. Meski Pilkada baru akan dilaksanakan pada November mendatang, tetap saja, penetapan calon kepala daerah dilakukan saat Jokowi masi menjabat.
Dalam konteks Pilkada, posisi Airlangga juga terjepit di antara dua kepentingan. Khususnya dalam Pilkada Jakarta dan Banten. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus telah bersepakat mengusung Andra Soni-Achmad Dimyati sebagai kandidat Gubernur Banten. Di sisi lain, Golkar justru membuka peluang mengusung Airin Rachmi Diany yang dikabarkan akan berpasangan dengan Ade Sumardi, kader PDIP.
Posisi Golkar semakin terjepit setelah KIM Plus mengusung Dedi Mulyadi untuk menjadi calon Gubernur Jawa Barat dan Ridwan Kamil untuk menjadi calon Gubernur Jakarta. Airlangga terlalu terburu-buru ketika mengumumkan "inisial S" yang merujuk Suswono, kader Partai Keadilan Sejahtera, sebagai pendamping Ridwan Kamil. Karena, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, kemudian menyatakan minat bertarung di Pilkada Jakarta.
Publik kini menunggu nasib Airlangga setelah mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar. Pengunduran diri ini memperlihatkan Airlangga kehilangan sebagaian kekuatan dan pengaruhnya. Kemudian, muncul pertanyaan, apakah pengunduran diri ini merupakan bentuk barter politik?
Bisa saja, dengan pilihan ini, posisi Airlangga dalam kasus hukum yang menjeratnya akan lebih aman. Tapi, bukan tak mungkin, justru setelah posisinya melemah, aparat hukum akan lebih mudah melanjutkan kasusnya.
Ihwal rencana munaslub Golkar, penulis memandang, justru keputusan Airlangga mundur sebagai ketua umum akan menghentikan gejolak di internal partai. Setelah ini, tak mungkin akan terjadi konsolidasi besar di antara para kader Golkar, bilamana ada pihak eksternal yang ingin merebut Golkar.
Komentar