Di Sekitar Dugaan Korupsi Jasindo, Direksi dan Agen Kongkalikong

Sabtu, 10/08/2024 18:40 WIB
BUMN Jasindo sedang terbelit kasus korupsi yang sedang penyidikan KPK. Foto: Industry.co.id

BUMN Jasindo sedang terbelit kasus korupsi yang sedang penyidikan KPK. Foto: Industry.co.id

Jakarta, law-justice.co - Zulchaibar bersama Direktur Utama PT Nusantara Proteksi Mandiri mendatangi kantor Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) pada 2015 silam. Kedatangan mereka seusai Zulchaibar menerima instruksi melalui telepon dari teman lamanya yang menjabat Kepala Keuangan Jasindo yang ingin bicarakan pengalihan asuransi BUMN PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Pertemuan yang berlangsung 45 menit itu dan segala kesepakatannya menjadi awal kronologi sebagai titik masuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Jasindo, Pelni dan pihak agen dalam penanganan asuransi di Pelni.

Selain Zulchaibar dan Dirut Nusantara Proteksi, pertemuan puluhan menit itu dihadiri pula oleh Eko Yuni Triyanto, Manajer Manajemen Resiko Biro Enterprise Risk Management dan Litbang PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dan Yohanes Priyo Irianto yang berstatus Direktur PT Inovasi Vahana Indonesia. Zulchaibar mengatakan, setibanya di kantor Jasindo, dia disodorkan lembar cek dan akta notaris soal pengalihan penanganan asuransi untuk Pelni, yang semulanya digarap PT Catur sebagai agen.

“Karena sebelumnya ada PT Catur sebagai agen juga, tapi karena direkturnya sakit, lalu dialihkan kepada kami. Inisiatornya dari Jasindo semuanya. Saya hanya tanda tangan cek uang keluar. Karena alurnya dari Pelni masuk Jasindo dan dari jasindo--fee masuk ke kami,” kata Zulchaibar kepada Law-justice, Jumat (9/8/2024).

Dalam kesepakatan tertulis dengan Jasindo, Zulchaibar yang menjabat komisaris di perusahaannya ditawari menjadi agen asuransi perkapalan milik Pelni dengan durasi lima tahun (2015-2020). Zulchaibar menerima kesepakatan pengalihan asuransi dengan fee agen sebesar 5% dari total komisi yang diterima Jasindo dari Pelni. “Jadi saya dapat fee 350 juta. Kalau dihitung cuma 2 jutaan per bulan dari fee asuransi ini,” kata dia.

Relasi bisnis proyek asuransi ini dilanjutkan dengan percakapan di email seusai pertemuan awal 45 menit itu. Zulchaibar masih ingat sejumlah cek keluar dari Jasindo dengan total lebih dari Rp5 miliar atau lebih besar dari fee yang dia terima. Dia masih mempertanyakan komisi yang diterima Jasindo dan sejumlah uang yang diterima direktur Nusantara Proteksi Mandiri. “Sisa (dari fee saya dalam Rp5 M) dipegang oleh direktur kami dan dibawa kemana-kemana uangnya,” ujarnya.  

Pembayaran fee agen ini lah yang sedang disidik KPK. Dalam surat perintah penyidikan yang diterbitkan KPK pada Januari dan September 2023, sejumlah pihak ditetapkan tersangka. Dari dokumen yang Law-justice dapatkan, mereka yang jadi tersangka adalah Untung Hadi Santosa selaku Direktur Pemasaran dan Korporasi Jasindo; Sahata Lumbantobing (Direktur Operasi Ritel dan Pengembangan Bisnis Jasindo); Eko Yuni Triyanto (Manajer Manajemen Resiko Biro Enterprise Risk Management dan Litbang Pelni; Yohanes Priyo Irianto (Direktur PT Inovasi Vahana Indonesia) Toras Sotarduga Panggabean (Ketua KSP Dana Karya dan penyedia dana PT Mitra Bina Selaras); dan Zulchaibar (Komisaris PT Nusantara Proteksi Mandiri).

Tidak hanya kasus fee asuransi di Pelni, penyidik juga menduga ada pembayaran fee agen yang menyimpang di institusi lain. Komisi antirasuah menyatakan potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp40 miliar lebih dari dua kasus tersebut. Juru bicara KPK, Tessa Mahardika mengonfirmasi periode sprindik yang terbit pada Januari dan September itu telah sesuai. Namun, dia enggan mengonfirmasi siapa saja nama tersangka. “Berdasarkan kebijakan lembaga, anma lengkap beserta inisial baru bisa disampaikan pada konferensi pers penahanan tersangka,” ujar Tessa kepada Law-justice, Jumat.

Zulchaibar tak menyangka pertemuan dengan Kepala Keuangan Jasindo dan kerja sama penanganan asuransi Pelni dengan ­fee ratusan juta itu membuat dirinya menjadi tersangka dalam kasus ini. Zulchaibar mengaku sudah empat kali diperiksa KPK setelah berstatus tersangka. Kantornya yang berlokasi di kawasan Gandaria, juga telah digeledah. Penyidik menyita sejumlah dokumen terkait asuransi Pelni dan ponsel Zulchaibar.

“Saya enggak merasa bersalah, kok hanya begitu saja saya jadi tersangka. Dikatakan (penyidik KPK) korupsi karena fiktif. Saya heran juga fiktif karena ada PKS (perjanjian kerja sama) dengan Jasindo,” tuturnya.

Zulchaibar mengklaim tidak ikut merencanakan proyek pengalihan asuransi Pelni. Sebab semua diatur sedemikian oleh Jasindo termasuk soal pembagian komisi dan fee perusahaannya sebagai agen. “Kami seolah-olah dipinjam benderanya saja oleh Jasindo. Baru tahu sekarang saya salah itu bisnisnya. Saya tanya ke KPK, apa dasarnya. Saya dituding ikut terlibat membantu korupsi,” katanya.

Dia mengatakan sebenarnya bukan dia yang sepenuhnya bertanggung jawab, tapi Sahata. Direktur Operasi Ritel dan Pengembangan Binsis Jasindo itu disebut Zulchaibar sebagai pihak yang paling banyak terima komisi dari pengalihahan asuransi Pelni. “Si Sahata yang lebih banyak lagi. Dia tersangka juga kan,” ucapnya.

Nama Sahata sendiri cukup lama bertahan di jajaran direksi Jasindo. Mulanya, dia menduduki jabatan Direktur Operasi Ritel mulai 2013-2018 dan diakhiri dengan posisi Direktur Pengembangan Bisnis periode 2018-2020. Dia juga tercatat sebagai komisaris di Tokiomarine hingga periode 2021. Sebelum Sahata, Zulchaibar juga sempat berstatus sebagai direktur di korporasi kongsian Jepang dan Jasindo itu.

Kata Zulchaibar, sejumlah petinggi Jasindo saat ini sudah dimintai keterangan oleh KPK. Salah satunya Direktur Pengembangan Bisnis, Diwe Novara. Saat dikonfirmasi soal kasus ini, Diwe enggan  berkomentar dan lebih memilih mengalihkannya ke humas korporasi. Sekretaris Perusahaan Jasindo, Brellian gema pun menjawab secara normatif soal keterlibatan direksi Jasindo dalam kasus korupsi ini. Dia tak menjawab jelas bagaimana penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam tata kelola manajemen perusahaan.

“Perusahaan dipastikan sangat kooperatif dan juga terus berkoordinasi dengan pihak berwajib terkait proses hukum tersebut. Ini bagian dari komitmen perusahaan terkait antikorupsi. Perlu diketahui, perusahaan telah menerapkan ISO 37001:2016 terkait Sistem Manajemen Anti-Suap,” kata dia kepada Law-justice, Kamis (8/8).

“Perusahaan telah melakukan transformasi sejak 2021 di segala lini, baik bisnis maupun tata kelola. Sehingga, perusahaan juga memastikan bahwa proses hukum ini tidak akan menganggu operasional dan kegiatan perusahaan,” imbuhnya.

Senada, Indonesia Financial Group (IFG), selaku holding dari Jasindo, juga tidak banyak komentar soal kasus korupsi ini. “IFG selalu mendorong anggota holding untuk mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang prudent sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan mandat IFG untuk melakukan penguatan dan perbaikan di sektor asuransi, termasuk membenahi fokus dan model bisnis anggota holding demi pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan,” kata Sekper IFG, Oktarina Sistha kepada Law-justice, Kamis.

Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo mengatakan, pola dari tindak pidana korupsi terkait asuransi di Jasindo ialah dengan membukukan penutupan asuransi secara langsung tanpa perantara dengan menggunakan agen fiktif. “Agen fiktif itu seolah-olah penutupan asuransi melalui agen kemudian dalam pos keagenan itu lah komisi timbul dan kemudian dibagi ke petinggi Jasindo dan pihak-pihak yang memberikan bisnis itu kepada Jasindo,” kata Irvan kepada Law-justice, Jumat.

Kata Irvan, kerja sama melibatkan antara pihak direksi dan kepala divisi atau cabang Jasindo dengan pihak ketiga atau pemberi bisnis ke Jasindo yang juga melibatkan agen. Keterlibatan agen ini yang menurutnya tidak perlu dilakukan karena dalam UU Asuransi agen hanya mewakili perusahaan asuransi. “Namun kemudian dibuat seolah-olah ada wadah berupa agen untuk bisa mengeluarkan komisi itu. Sejatinya agen itu mewakili perusahaan asuransi bukan untuk mewakili nasabah. Namun demi mendapatkan komisi kepada pihak yang bekerjasama memberi bisnis, maka dibuatlah agen fiktif,” katanya.

“Karena agen itu kan penghasilannya dari komisi dan komisi itu bisa diberikan kalau ada wadah atau bentuk bisnis melalui agen. Jadi kerja samanya antara pihak asuransi dan pihak pemberi bisnis dan membentuk agen siluman,” ia menambahkan.

Irvan mengatakan, celah korupsi dalam sektor asuransi memanfaatkan kelemahan sisi administrasi dan regulasi. “Mereka direksi melihat ada peluang untuk membuat suatu penutupan tidak secara langsung sehingga melalui agen. Celah itu kalau ada peluang dari peraturan. Kan sampai sekarang aturannya bahwa agent harus terdaftar di OJK, tapi agen banyak yang belum terdaftar. Misconduct dan misselling yang dilakukan oleh agen belum ada hukuman dan itu salah satu celah yang dimanfaatkan,” katanya.

Lain itu, katanya, potensi fraud bisa terjadi dalam proses pembuatan premi. Pembukuan premi dan asuransi kredit dengan tenor panjang yang biasanya menjadi lahan basah di level direksi. “Fraud dan moral hazard dalam bentuk lain yang ada di Jasindo misalnya membukukan premi dari pos asuransi kredit yang bersifat jangka panjang namun dibukukan sekaligus di depan dan tidak dibentuk cadangan atau tidak dibentuk reasuransi. Motifnya premi ini sangat besar sehingga menghasilkan keuntungan besar kepada direksi. Jadi di Jasindo juga terjadi penggelembungan premi tanpa membentuk cadangan atau reasuransi sehingga menghasilkan laba besar bagi direksi,” katanya.

Menurutnya, kinerja keuangan Jasindo sedang tidak baik-baik saja jika melihat tren risk based capital (RBC) yang sempat minus. Meski teranyar sudah positif, Irvan mewanti-wanti perbaikan RBC lantaran aksi korporasi yang bersifat anorganik. “RBC jasindo minus dan sekarang plus tapi itu bukan karena suntikan modal tapi aksi korporasi yang sifatnya anorganik yaitu menjual aset aset perusahaan dan divestasi besar di anak perusahaan,” kata mantan Dirut Jasindo periode 2001 ini.

Minusnya RBC Jasindo, diyakini Irvan karena dampak korupsi direksinya yang memanfaatkan pengalihan asuransi dengan menggunakan agen. Menurutnya penggunaan agen dalam penutupan asuransi BUMN, misalnya, tidak diperlukan karena sejak 2005 telah ada sinergi antar-BUMN. “Antara BUMN sudah ada sinergi. Seharusnya tidak diperlukan agent karena agent itu jadi beban biaya,” katanya.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Bancakan Komisi Agen Fiktif Jasindo Negara Rp45 M". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar