Korupsi Petral Dibuka KPK Lagi, Vice President Pertamina Diperiksa
KPK ungkap lagi kasus korupsi pengadaan minyak BBM Pertamina. Foto. Dok Pertamina
Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka kasus korupsi perdagangan minyak mentah yang sempat terjadi di Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Komisi anti-rasuah juga menyelidiki dugaan korupsi terkait produk kilang di Pertamina Energy Services Pte. Ltd yang merupakan anak usaha dari Petral.
Adapun KPK melakukan pemeriksaan terhadap satu orang pejabat Pertamina sebagai saksi dua perkara tersebut. "Saksi HS hadir dan penyidik terus menggali keterangan terkait dengan supply chain pembelian minyak bumi (crude oil) dan BBM (Mogas 88)," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika dalam keterangannya, dikutip Sabtu (10/8/2024).
Saksi HS dimaksud KPK merujuk pada nama Heru Setiawan yang berstatus Vice President Corporate Strategic Planning PT Pertamina (Persero). Selain memanggil Heru Setiawan, penyidik juga melayangkat surat pemeriksaan terhadap Assistant/Analyst Crude Import & Exchange Opt. PT Pertamina 2010–2016 Novianti Dian Pratiwiningtyas kembali ke penyidik dan saksi PJS VP ISC PT. Pertamina Rusnaedy mengajukan permohonan penjadwalan ulang karena alasan kesehatan.
Pemeriksaan terhadap saksi Gigih Prakowo selaku Senior Vice President Corporate Strategic Growth PT Pertamina juga batal karena penyidik menerima informasi bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan Managing Director PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd. (PES) periode 2009–2013 Bambang Irianto sebagai tersangka. Pengumuman tersangka tersebut telah disampaikan KPK pada 10 September 2019.
Bambang Irianto diketahui juga pernah menjabat Direktur Utama Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) sebelum penggantian pada tahun 2015.
Dalam konstruksi perkara, KPK menyatakan bahwa tersangka Bambang Irianto diangkat menjadi Vice President Marketing PES pada 6 Mei 2009.
Pada tahun 2008, saat tersangka Bambang Irianto masih bekerja di Kantor Pusat PT Pertamina, yang bersangkutan bertemu dengan perwakilan Kernel Oil Pte. Ltd (Kernel Oil) yang merupakan salah satu rekanan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES/PT Pertamina.
Tersangka Bambang Irianto bersama sejumlah pejabat PES menentukan rekanan yang akan diundang mengikuti tender, salah satu National Oil Company (NOC) yang sering diundang untuk mengikuti tender dan akhirnya menjadi pihak yang mengirimkan kargo untuk PES/PT Pertamina adalah Emirates National Oil Company (ENOC).
Diduga perusahaan ENOC diundang sebagai kamuflase sehingga seolah-olah PES bekerja sama dengan NOC agar memenuhi syarat pengadaan, padahal minyak berasal dari Kernel Oil.
Tersangka Bambang Irianto diduga mengarahkan untuk tetap mengundang NOC, meskipun mengetahui bahwa NOC itu bukan pihak yang mengirim kargo ke PES/PT Pertamina. Adapun Bambang melalui rekening perusahaan SIAM Group Holding Ltd diduga telah menerima uang sekurang-kurangnya 2,9 juta dolar AS atas bantuan yang diberikannya kepada pihak Kernel Oil.
Bambang Irianto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pengamat energi dari UGM yang sekaligus sempat tergabung Satgas Anti-mafia Migas, Fahmy Radhi, mengatakan modus yang dimainkan oleh mafia dalam pengadaan minyak mentah produk BBM adalah mengambil celah dari proses biding atau open tender dan proses blending minyak. Dalam celah biding ini, kata dia, mafia minyak bergerilya dalam memenangkan satu pihak yang telah diatur. Ada pihak yang memanipulasi perusahaan minyak agar mampu ikut open tender, meski tidak memiliki kapasitas.
Dan sisi lain ada yang bertugas membantu perusahaan tersebut dalam soal pemenuhan produksi. Pada periode 2014-2015 saat ia bertugas dalam satgas anti-mafia migas, kongkalikong mafia minyak melibatkan pihak Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral, anak usaha Pertamina yang dibubarkan usahanya pada 2015 lalu karena sarat penyelewengan.
“Setelah kami mengkaji beberapa dokumen, ternyata yang menang biding tadi itu company dari negara-negara yang dia enggak punya minyak, misalnya Italia. Terungkap sesungguhnya itu hanya sebagai frontier, karena di sana ada yang memasok,” ujarnya kepada Law-justice.
“Jadi ada suatu perusahaan yang konon pemiliknya orang Indonesia, Cuma belum ada bukti otentik tentang itu. Itu lah mafia migas yang bekerjasama dengan Petral dalam pengadaan minyak,” ia menambahkan.
Peranan Petral, juga tercium oleh satgas anti-mafia migas dalam modus blending minyak. Fahmy mengatakan proses blending minyak itu terkait penggunaan BBM yang kala itu masih jenis premium. Katanya, BBM jenis itu sudah tidak dijual lagi di pasar internasional sehingga tidak ada preferensi harga. Lantas, harganya menjadi mahal dan celah ini yang kemudian dimanfaatkan mafia dalam mengeruk keuntungan.
“Nah dalam blending tadi dijual ke perusahaan dengan harga mahal. Sehingga harga yang mahal tadi dijual di Indonesia dan diberikan subsidi oleh pemerintah supaya terjangkau. Nah itu penyelewengan-penyelewengan yang merampok APBN karena berikan subsidi lantaran harganya mahal akibat permainan,” tutur dia.
Bicara soal mafia sektor minyak, Fahmy meyakini kasus terciduknya eks Direktur Petral, Bambang Irianto yang diduga terima suap dalam tender pengadaan minyak, bisa membuka kontak pandora ihwal siapa saja yang bermain. Efek turunan dari fakta yang terungkap dalam kasus itu bakal mengungkap pula jaringan dari Bambang yang masih bermain hingga kini.
“Saya sempat katakan ke Pak Mahfud Md bahwa kasus Petral ini pintu masuk, karena dari situ akan banyak hal terungkap. Bahkan uangnya mengalir kemana saja, itu bisa dideteksi. Komunitas mafia migas ini memang benar-benar sakti karena uangnya mengalir ke berbagai pihak,” ucap dia.
Fahmy membagi mafia dalam dua lini, internal dan eksternal. Di internal, katanya, tentu melibatkan pihak Pertamina. Akan tetapi, pemangku kepentingan di level eksekutif juga disebut mengambil peran.
“Mafia migas sudah koheren dalam satu sistem, ya itu tidak hanya di Pertamina. (Ada) Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian yang terkait dalam pengambilan kebijakan untuk pengadaan minyak,” kata dia.
Lebih lanjut, anggota DPR juga berpotensi memiliki konflik kepentingan yang bekerjasama dengan mafia. Kata Fahmy, hal sepele macam anggota DPR yang ketahuan sering meminta sarung ke Pertamina bisa menjadi preseden. “Itu sudah terjadi bertahun-tahun. Sarung dari Pertamina itu selalu diminta oleh anggota DPR untuk dapilnya. Itu menjustifikasi bahwa anggaran CSR pertamina itu lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan CSR. Dilihat aja berapa deviden yang diterima negara. Kalau devidennya kecil dan semakin menurun, maka itu sudah dirampok,” kata dia.
Komentar