Resmi, Aturan Mantan Gubernur Tak Boleh Maju Cawagub Digugat ke MK
Gedung Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, law-justice.co - Beberapa pihak secara resmi mengajukan permohonan uji materiil UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar mantan kepala daerah bisa kembali mencalonkan diri sebagai calon wakil kepala daerah di tempat yang sama.
Sebagai informasi, Uji materiil itu terkait Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Pasal itu mengatur persyaratan menjadi calon kepala daerah, khususnya syarat belum pernah menjabat sebagai kepala daerah untuk menjadi calon wakil kepala daerah pada daerah yang sama.
Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada itu berbunyi, "Belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama."
Artinya, seorang yang pernah menjadi gubernur tidak boleh turun menjadi calon wakil gubernur di daerah yang sama.
Para pemohon perkara ini terdiri dari John Gunung Hutapea (Pemohon I), Deny Panjaitan (Pemohon II), Saibun Kasmadi Sirait (Pemohon III), serta Elvis Sitorus (Pemohon IV). Para pemohon berpandangan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016, belum pernah menjabat sebagai gubernur, untuk wakil gubernur, atau bupati walikota, untuk calon wakil bupati walikota, pada daerah yang sama, bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum permohonan para pemohon, dikutip Jumat (2/8).
Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024 ini telah menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin, 15 Juli 2024 lalu.
Sidang panel itu dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra selaku ketua dan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai anggota panel.
Saldi menyoroti kedudukan hukum atau legal standing para pemohon. Ia mempertanyakan kenapa para pemohon mengajukan permohonan ini.
Saldi menjelaskan di beberapa daerah pernah terjadi seseorang yang telah selesai jadi kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) kemudian mengajukan diri sebagai calon wakil kepala daerah.
Dia menegaskan bahwa hal itu tidak boleh. Sebab, dikhawatirkan sang kepala daerah berhalangan tetap sehingga mesti digantikan oleh wakilnya.
"Mengapa tidak boleh? Karena kalau dia sudah pernah jadi kepala daerah dua kali, jadi wakil kepala daerah, lalu terpilih, nanti kalau kepala daerah yang dia wakilnya berhalangan tetap, kan dia harus jadi kepala daerah. Lebih dong, dari dua kali dia jadi kepala daerah. Itu ratio di balik pasal ini," jelas Saldi dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Senin (15/7).
Saldi mempertanyakan apakah para pemohon sudah pernah menjadi kepala daerah selama dua periode. Hal itu bertalian dengan permohonan yang diajukan.
"Dulu ini enggak ada norma seperti ini, huruf o itu tidak ada. Tapi setelah ada pengalaman di beberapa tempat, ketika Undang-Undang Nomor 10/2016 itu diperbaiki, dimunculkan norma itu. Makanya pertanyaan tadi, pernah enggak ini jadi kepala daerah? Maksudnya ini kalau orang pernah jadi kepala daerah, lalu dia sudah dua kali maju lagi tapi jadi wakil kepala daerah. Nah, itu yang dilarang. Tolong dipikirkan ini," kata Saldi.
Tak hanya itu, hakim panel juga menyoroti penulisan format petitum yang dinilai dapat diperbaiki.
Format petitum itu lantas diubah oleh para pemohon dan kuasa hukumnya dalam perbaikan permohonan yang diserahkan pada Senin, 22 Juli 2024. Petitum yang telah diperbaiki itu disampaikan pada sidang perbaikan permohonan di Gedung MK, Jakarta, Senin, 29 Juli 2024.
Saldi mengatakan permohonan ini bakal dibahas oleh para hakim di rapat permusyawaratan hakim (RPH).
"Jadi, nanti Hakim Konstitusi yang bersembilan lah yang akan memutuskan terkait dengan permohonan ini. Apakah Permohonan ini akan diputus setelah adanya sidang pleno atau akan diputus tanpa sidang pleno," kata Saldi.
Komentar