Nawaitu Redaksi

Gelagat Cawe-Cawe Jokowi di Pilkada, Siasat Apa Lagi?

Sabtu, 27/07/2024 06:45 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak (ist)

Ilustrasi Pilkada Serentak (ist)

Jakarta, law-justice.co - Dalam waktu yang tidak lama lagi, tepatnya tanggal 27 November 2024 mendatang, sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan terjadi Pilkada memilih gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang akan mengatur berbagai aspek kehidupan, yang kemudian diyakini akan berkontribusi bagi penguatan demokrasi di Indonesia.

Salah satu kontribusi Pilkada terhadap penguatan demokrasi adalah meningkatkan akuntabilitas pemimpin daerah yang terpilih lewat Pilkada. Akuntabilitas pemimpin penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kepentingan publik dan tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompoknya saja.

Pilkada yang berlangsung secara jujur dan adil akan menciptakan rasa kepercayaan di antara warga negara terhadap sistem politik, memperkuat legitimasi pemerintah, dan mengurangi potensi konflik sosial antar warga bangsa. Proses ini akan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dengan memastikan adanya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik selama pelaksanaan pilkada.

Kendati demikian, di tengah semarak dan semangat masyarakat menyambut Pilkada, muncul kekhawatiran adanya intervensi penguasa lewat cawe cawenya. Sehingga aroma terjadinya pemilu curang seperti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 diperkirakan akan kembali terulang dalam pelaksanaan Pilkada nantinya.

Hasil survei Kompas periode Juni 2024 menunjukkan, dukungan Presiden Jokowi masih berpotensi memengaruhi pilihan dalam Pilkada. Lebih dari separuh responden (54,3 persen) memiliki orientasi pilihan politik yang linier dengan dukungan presiden yang sekarang berkuasa.

Benarkah pada Pilpres  2024 yang lalu Jokowi telah melakukan cawe-cawe sehingga keberhasilan cawe cawenya hendak diteruskan pada pelaksanaan Pilkada 2024 nantinya ? . Apa indikator Jokowi hendak mengulang  cawe cawe-nya di Pilkada 2024 ?. Apa pula dampak yang timbul dalam pilkada 2024 nantinya  dengan adanya potensi cawe cawe presiden yang sekarang berkuasa ?. Lalu bagaimana sebaiknya ?

Cawe Cawe Pilpres Berlanjut ke Pilkada

Sikap Presiden Joko Widodo terkait proses Pilpres 2024 menjadi sorotan hampir sepanjang tahun 2023. Bukan karena Jokowi kerap memberikan kode mengenai sosok ideal siapa pengganti dirinya atau karena posisinya sebagai politisi PDI Perjuangan (PDI-P) yang merupakan partai pemenang pemilu sebelumnya. Melainkan, publik lebih menyoroti sikap dugaan cawe-cawe atau ikut campur tangan Presiden Jokowi dalam proses menuju Pilpres yang mengusung jagoannya.

Dugaan cawe-cawe itu semakin menjadi perhatian tatkala putra sulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka akhirnya maju sebagai cawapres yang berpasangan dengan  Prabowo Subianto sebagai Capresnya.

Berdasarkan catatan pemberitaan, Presiden Jokowi awalnya menolak disebut sedang melakukan cawe-cawe dalam proses Pilpres dimana sikap  tersebut ditegaskannya pada awal 2023. Namun, dalam perkembangannya, Presiden menyampaikan sikap cawe-cawe dalam politik untuk kepentingan bangsa dan negara.

Saat itu indikasi cawe cawe Jokowi ditunjukkan dengan misalnya mengundang para ketua umum (ketum) parpol koalisi pemerintah di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan yang dilakukan pada tanggal 23 Mei itu dihadiri oleh enam orang ketum parpol yaitu yakni Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Plt Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono, Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar Ketum Partai Kebangkitan Bangsa

Sementara itu, Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh tak tampak hadir di pertemuan itu mungkin karena telah mengusung Anies Baswedan sebagai jagoannya. Saat itu publik memberikan sorotan atas sikap Presiden yang dinilai memberikan intervensi terhadap arah dukungan untuk capres dan cawapres yang dikehendakinya.

Namun tuduhan tersebut dibantahnya. Mantan Wali Kota Solo ini menekankan tidak ada konstitusi yang dilanggar dari peristiwa mengundang ketum parpol ke Istana. Oleh karena itu, Jokowi meminta publik mengerti bahwa selain pejabat publik, dirinya juga merupakan politikus. "Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Ngak begitu katanya.

Namun pada pertemuan dengan para pimpinan media massa nasional dan sejumlah podcaster di Istana Kepresidenan, Jakarta, tepatnya pada Senin, 29 Mei 2023, Kepala Negara mengungkapkan dirinya terus terang akan cawe-cawe dalam Pemilu 2023 demi kepentingan bangsa dan negara.

Dalam kesempatan itu, Jokowi menekankan bahwa Indonesia hanya diberi kesempatan satu kali untuk menjadi negara maju, yakni dalam kurun waktu 13 tahun ke depan, dan hal itu sangat ditentukan oleh kepemimpinan nasional yang terpilih dalam Pilpres nantinya.Menurut Jokowi, dia wajib cawe-cawe dalam transisi kepemimpinan nasional sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai Kepala Negara.

Meskipun sikap cawe cawe tersebut mendapatkan kritik dan hujatan dari berbagai elemen masyarakat namun sepertinya Jokowi tidak menggubresnya. Bahkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat merilis buku berjudul "Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi" pada 26 Juni 2023.

Dalam buku setebal 27 halaman itu, SBY menyampaikan pandangannya mengenai berbagai isu sikap Presiden Jokowi menjelang Pemilu 2024. Menanggapi kekhawatiran Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, Presiden Jokowi saat itu menyatakan jaminan soal netralitas penegak hukum maupun aparatur sipil negara (ASN) menghadapi tahun politik sehingga tidak perlu mengkuatirkannya .

“Dan yang paling penting yang juga sudah sering saya sampaikan, netralitas dari TNI, Polri, PNS kita, birokrasi kita betul-betul harus kita jaga dan agar tetap netral. Jadi enggak usah, enggak ada kekhawatiran mengenai itu," ungkap Jokowi saat memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada 3 Juli 2023.

Meski sudah menegaskan komitmen untuk netral, tetapi saat itu muncul sejumlah gugatan uji materi yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap aturan mengenai batas usia capres dan cawapres dalam Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

MK yang saat itu dipimpin oleh Anwar Usman atau adik ipar Presiden Jokowi menerima belasan gugatan uji materi mengenai syarat batas usia peserta pilpres sejak Maret 2023. Adanya gugatan ini disebut sebut sebagai jalan bagi sisulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka untuk didorong maju sebagai cawapres yang mendampingi capres Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.

Dalam perkembangannya, Presiden Jokowi memang dianggap lebih memilih memberi dukungan kepada Prabowo sebagai capres dibandingkan dengan rekan satu partainya di PDI-P, yakni Ganjar Pranowo yang berasal dari partainya.

Dengan gambaran peristiwa sebagaimana disebutkan diatas , sulit untuk tidak mengaitkan gugatan MK dengan upaya Jokowi untuk mencalonkan anaknya melalui partai partai yang mengusungnya. Terkait dengan dugaan cawe cawe ini, pasangan nomor satu Pilpres yaitu Anies Bawedan -Muhaimin Iskandar sempat  mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun MK menilai,  bentuk cawe-cawe yang dilakukan Jokowi tak dapat diuraikan lebih lanjut oleh pemohon dan tidak ada bukti kuat Jokowi melakukannya. Tetapi hal ini menjadi aneh, unik dan menarik karena sebelumnya Jokowi sudah mengatakan sendiri bahwa akan melakukan cawe-cawe dalam Pemilu 2024 seperti yang dikatakannya sendiri di istana Medeka.

Keanehan ini terjadi karena pelaku yang dicurigai mengatakan sendiri akan melakukan cawe-cawe, tetapi hakim mengatakan tidak ada bukti kuat kalau Jokowi telah melakukannya. Keunikan lainnya ternyata baru kali ini putusan MK ini tidak bulat karena terjadi disenting opinion oleh 3 Hakim MK.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda alias dissenting opinionnya. Arief Hidayat menilai, penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kontras jika dibandingkan Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 yang dilaksanakan setelah Orde Baru (Orba)

Pasalnya kata Arief, baru kali ini ada dugaan intervensi kuat dari kekuasaan eksekutif yang jelas-jelas mendukung kandidat tertentu yang menjadi jagoannya. Perbedaan ini terletak pada adanya dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya.

Arief Hidayat menilai sikap presiden dan aparaturnya yang tidak netral dan mendukung kandidat tertentu telah menyebabkan kegaduhan dan hiruk  dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia."Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depannya” begitu pendapatnya.

Tampaknya keunikan, keanehan dan disenting opinion putusan MK ini bakal menjadi catatan penting peristiwa sejarah Ketatanegaraan dan proses demokrasi di Indonesia. Banyak bukti, fakta dan data yang menunjukkan kalau Jokowi cawe-cawe, berlaku curang seperti yang diyakini oleh beberapa puluhan Perguruan Tinggi dan ratusan Guru besar dan puluhan ribu mahasiswa. Mereka berteriak keras telah terjadinya pelanggaran etika konstitusi dan kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) namun semua dianggap sebagai angin lalu saja.

Pada hal keberadaan para Menteri Menteri Jokowi yang menjadi tim suksesnya tanpa mundur dari  posisinya sebagai Menteri begitu nyata. Para ASN yang tidak netral dan aparat yang memihak juga sangat terasa. Belum lagi gelontoran Bantuan Sosial (Bansos) yang demikian besarnya sehingga mempengaruhi kecenderungan para pemilih untuk menentukan pilihannya. Namun sekali lagi semua itu seolah olah dianggap tidak ada.

Cawe Cawe akan Berulang

Berdasarkan keterangan yang dijelaskan oleh Istana Kepresidenan, cawe-cawe yang disebutkan Jokowi memiliki lima makna. Pertama, Jokowi ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil sesuai harapan bersama

Kedua, Jokowi berkepentingan terselenggaranya pemilu dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial di masyarakat Indonesia. Ketiga, Jokowi ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara, hilirisasi, transisi energi bersih, dan lain-lainnya.

Keempat, Jokowi mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berkompetisi secara free dan fair, karenanya kepala negara akan menjaga netralitas TNI, Polri, dan ASN (aparatur sipil negara). Kelima, Jokowi ingin pemilih mendapat informasi dan berita yang berkualitas tentang peserta pemilu dan proses pemilu sehingga akan memperkuat kemampuan pemerintah untuk mencegah berita bohong/hoaks, dampak negatif AI, hingga black campaign melalui sosial media.

Berdasarkan penjelasan di atas, cawe-cawe Jokowi sepertinya memiliki makna netral sebagai sebuah kata kerja yang berarti ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) masalah pemilu yang selama ini terjadi di Indonesia.

Namun, pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya.  Cawe cawe yang terjadi berkonotasi negatif karena mengarah pada praktek praktek pemilu curang demi memenangkan jagoan yang di usung oleh penguasa lewat keberpihakan yang menyalahi hukum dan etika. Sampai sampai PDIP menilai Pemilu 2024 merupakan gelaran pemilu paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Sebagai telah disampaikan PDIP pada rekomendasi Rakernas V PDIP yang dibacakan oleh Ketua DPP Puan Maharani pada Minggu (26/5/24)."Rakernas V menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan pemilu yang paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia," kata Puan dalam pidatonya.

Mungkin karena merasa nyaman dan aman dengan cawe cawe yang telah dilakukannya, Jokowi seperti ingin mengulanginya di Pilkada. Terbukti dengan dalih yang disampaikannya yaitu cawe cawe demi bangsa dan negara, bisa menghipnotis lawan lawan politiknya. Lalu apa indikasi yang memberikan sinyal bahwa Jokowi akan kembali cawe cawe dalam Pilkada ?

Pertama, Kehadiran dalam Momentum Peringatan Hari Raya Idul Adha. Kehadiran Presiden Jokowi di Semarang Jawa Tengah dalam peringatan Hari Raya Idul Adha dinilai membawa misi Pilkada. Karena dalam peringatan sakral keagamaan tersebut turut hadir sederet pejabat lainnya termasuk Ketua KPU Hasyim Asyari yang berperan sebagai khatib sholat Idul adha.  

Selain itu hadir juga Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi yang namanya digadang-digadang akan diusung sebagai calon gubernur Jawa Tengah melalui koalisi Indonesia maju yang telah berjasa memenangkan pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.. Belum lagi, agenda Presiden Jokowi yang melakukan sejumlah pertemuan dengan berbagai elemen termasuk relawan di Jawa Tengah yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka

Sehingga wajar kalau ada kecurigaan bahwa kunjungan Jokowi ke Jawa Tengah memiliki korelasi dengan agenda setting politik menjelang pilkada. Diduga Jokowi mempunyai misi untuk  menggempur kandang banteng di Jawa Tengah yang menjadi basis terkuat PDIP yang saat ini menjadi rivalnya.

Kedua, Munculnya Gugatan Syarat Usia Pilkada.  Tiba tiba saja muncul gugatan ke Mahkamah Agung (MA) tentang batas umur pencalonan kepala daerah yang diajukan oleh partai Garuda. Diduga gugatan ini bernilai politis sebagai salah cara untuk memuluskan pencalonan Kaesang Pangarep untuk jadi Gubernur atau Wakil Gubernur di Jawa Tengah atau DKI Jakarta.

Peristiwa ini sama persis dengan apa yang terjadi pada waktu Pilpres 2024 yang lalu yaitu ketika tiba tiba muncul  gugatan untuk syarat calon Presiden dan Wakil Presiden ke MK demi memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming  Raka.

Seperti diketahui, gugatan uji materi yang diajukan oleh Fahrul Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Anthony Lee dari Podomoro University berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Fahrul Rozi dan Antony Lee menilai, putusan MA itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum. "Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 (juga)!telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positive norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif," jelas mereka.

Putusan kontroversial MA dikaitkan dengan keuntungan yang akan didapatkan oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang mulai digadang-gadang maju Pilkada 2024. Seandainya menggunakan PKPU yang dibatalkan MA, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.

Sementara itu, dengan putusan MA, Kaesang bisa saja maju karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 hampir pasti dilakukan pada tahun 2025, setelah ia berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024. Mungkin seperti halnya gugatan soal umur ke MK, gugatan kali ini yang ditujukan ke MA nampaknya juga akan di ulur ulur sampai dengan mendekati waktu Pilkada.

Ketiga, Menjegal Anies untuk Maju di DKI Jakarta. Kabarnya, PKS, PKB dan Nasdem sudah sepakat untuk mengusung Anies maju di Pilgub Jakarta. Sementara itu PDIP masih belum jelas sikapnya. Adapun Parpol lain, masih dalam wacana.

Meski sinyal dukungan dari PKS, PKB, Nasdem sudah ada, tidak berarti Anies telah aman untuk maju menjadi cagub di Jakarta. Sebelum ketiga atau empat partai itu secara tertulis mengusung Anies, maka belum ada kata aman untuknya. Di sinilah peluang untuk jegal Anies masih terbuka.

Nampaknya  ada upaya yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menjegal dan gagalkan Anies maju di Pilgub Jakarta. Terrmasuk tentunya dari penguasa yang merasa masih berseberangan dengan Anies yang mantan Gubernur DKI Jakarta.

Dalam kaitan tersebut, cawe cawe Jokowi memang tidak hanya untuk memuluskan jago jago yang dimajukannya tetapi juga berusaha menghambat tokoh tokoh politik yang tidak sejalan dengan garis kebijakan politiknya dimana Anies Baswedan adalah salah satu diantaranya.

Diperkirakan Jokowi akan melakukan beragam cara untuk menggagalkan Anies Baswedan maju Pilgub Jakarta untuk kedua kalinya.Modusnya bisa dengan memakai pola-pola kecurangan Pilpres 2024. Karena rezim Jokowi  tidak akan rela jika Anies memenangi kontestasi Pilgub Jakarta.

Anies perlu dijegal karena penguasa yang berkolaborasi dengan oligarkhi sejauh ini mempunyai kepentingan dengan proyek proyek besarnya di Jakarta yang sempat dihambat oleh Anies saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Anies dianggap sebagai penghalang (restriction) oleh oligarki yang mempunyai proyek proyek mercu suar di wilayah Jakarta. Misalnya terhadangnya kepentingan mega proyek Rp50 trilun reklamasi pantai utara Jakarta.Belum lagi mega proyek perluasan wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) II, yang kawasannya meliputi pantai utara Jakarta sampai ke pantai utara wilayah Banten.Mereka tentu tak akan rela  rela mega proyeknya dihempaskan Anies lagi, seperti semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Ke empat, Majunya Kerabat dan Keluarga serta Kroni Jokowi di Pilkada.Seperti diketahui, sejumlah anggota keluarga Jokowi direncanakan maju dalam Pilkada. Walikota Medan sekaligus menantu Jokowi telah mendapatkan surat rekomendasi dari Partai Golkar untuk maju dalam Pilkada Sumatera Utara.

Selain Bobby, deretan anggota keluarga Presiden Jokowi yang direncanakan maju dalam pilkada adalah anak bungsu Presiden, Kaesang Pangarep, dan Erina Gudono  istrinya.  Kaesang adalah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia yang direncanakan maju di Jawa Tengah atau di Jakarta. Sementara itu, Erina disebut-sebut bakal diusung maju dalam pemilihan bupati di Sleman, Yogyakarta, oleh Partai Gerindra.

Selain kepada anggota keluarga, Jokowi diduga juga cawe cawe memperjuangkan mereka yang menjadi kroninya.Terbaca misalnya dari dinamika elite politik dalam bursa kandidasi Pilgub Jakarta. Kabarnya Jokowi mendorong Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mengusung Ridwan Kamil demi menghadang Anies Baswedan di Jakarta.

KIM yang diduga masih dibawah pengaruh Jokowi  berencana melanjutkan kerja sama politik hingga Pilkada.KIM akan tetap kompak dan bisa jadi kendaraan politik bagi Jokowi agar tetap memberi pengaruh, terutama setelah dirinya lengser dari kursi kekuasannya.

Itulah beberapa indikasi kalau Jokowi memang masih akan cawe cawe dalam Pilkada yang sebentar lagi akan tiba. Cawe cawe itu tentunya akan semakin terasa saat Pilkada berlangsung dengan cara dan pola pola pada saat Pilpres yang telah memenangkan anaknya.

Besarnya pengaruh Jokowi dalam pilkada dinilai bisa berdampak buruk bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia. Sebab, kemenangan yang diperoleh para anggota keluarga Presiden dinilai bakal menjadi bumerang bagi nama baik bekas Gubernur DKI itu setelah lengser dari kursi kekuasaannya.

Label terhadap Presiden Jokowi akan sangat buruk karena dinilai haus kuasa.  Meski begitu, pemberian label negatif tidak mampu menghentikan peluang menang keluarga dan kroni  Presiden dalam pilkada karena para pemilik suara cenderung sangat pragmatis sikapnya

Dampak Negatif Cawe Cawe Jokowi

Meskipun berulang kali Jokowi mengatakan bahwa cawe cawenya untuk kepentingan bangsa dan negara tapi yang terjadi justru sebaliknya. Cawe cawe Jokowi diduga telah menjadi pemicu terjadinya pemilu curang yang terjadi di Indonesia.

Adapun dampak negative yang terjadi dengan adanya cawe cawe Jokowi itu diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, Memunculkan Ketidakadilan dan ketimpangan. Dengan adanya cawe-cawe presiden yang sedang berkuasa dapat menghasilkan ketidakadilan dalam Pilkada karena para kandidat yang berlaga akan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebab penguasa tentu akan lebih memprioritas kepentingan jagoan yang di usungnya.

Hal ini dapat terjadi melalui manipulasi sistem pemilihan, penindasan terhadap oposisi politik, atau penyalahgunaan kekuasaan untuk mempengaruhi hasil pemilihan dan sebagainya.Dampaknya adalah terdistorsinya kehendak dan pilihan pemilih, serta mengurangi kesempatan bagi calon yang berkompetisi secara adil untuk semua

Kedua: Penghancuran integritas Pilkada.  Cawe-cawe yang berlebihan dari presiden berkuasa dapat merusak integritas pelaksanaan Pilkada.Ketika campur tangan tersebut terjadi dalam bentuk kecurangan, manipulasi, atau intimidasi terhadap pemilih atau peserta pemilihan, kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dapat terkikis dengan sendirinya. Ini mengancam stabilitas politik dan mengurangi kelegitiman pemimpin yang terpilih nantinya

Ketiga: Ketidakseimbangan kekuasaan. Cawe-cawe presiden berkuasa dalam Pilkada dapat menghasilkan ketidakseimbangan kekuasaan yang tidak sehat diantara kontestan yang berlaga.Jika presiden memiliki kontrol yang kuat terhadap seluruh proses pemilihan, termasuk penyelenggaraan, pengawasan, dan pengadilan, maka kontrol yang berlebihan tersebut dapat menghasilkan dominasi penuh presiden atas proses politik selama jalannya Pilkada. Hal ini dapat menghambat kebebasan berdemokrasi dan pengawasan yang independent baik oleh lembaga resmi maupun oleh masyarakat pada umumnya.

Keempat: Merosotnya prinsip demokrasi di Indonesia. Karena cawe-cawe presiden berkuasa yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi mengancam eksistensi demokrasi di Indonesia. Sebab demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dan adil dari warga negara serta penghormatan terhadap prinsip persamaan, kebebasan, dan keadilan diantara anak anak bangsa.

Adanya campur tangan yang merusak integritas pemilihan dan mengekang oposisi politik dapat menyebabkan demokrasi terdegradasi menjadi otoritarianisme atau kediktatoran yang menguntungkan penguasa.

Man Behind The Gun. Setiap senjata tergantung siapa penggunanya. Sebenarnya cawe cawe itu bisa saja bernilai positif untuk kepentingan bangsa dan negara kalau dimanfaatkan dengan itikad baik dan ketulusan untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Tapi dibawah presisen yang sekarang berkuasa, telah terbukti bahwa cawe cawenya telah menimbulkan dampak negative berupa pemilu curang meskipun secara formal tidak bisa dibuktikan oleh MK

Ke Depan Bagaimana ?

Bagaimanapun cawe cawe Presiden dalam membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) atau ikut menangani penyelenggaraan pemilu telah menimbulkan ekses negatif, dalam bentuk pengerahan aparatur sipil negara dan penggunaan aset negara untuk memenangkan pasangan calon pejabat yang menjadi jagoannya.

Sebagai contoh politisasi bansos dan mobilisasi aparat akan tetap terjadi di Pilkada 2024.Apalagi dalam fakta persidangan sengketa Pilpres 2024, politisasi bansos dan mobilisasi aparatur dari pusat sampai desa telah disinggung dan diperkuat lewat dissenting opinion dari tiga hakim MK.

Upaya intervensi Jokowi akan sangat tampak pada daerah-daerah yang menjadi arena pertarungan bagi anggota keluarganya atau koalisi pemerintah yang didukung presiden yang sekarang berkuasa

Upaya politisasi bansos dan mobilisasi aparat di Pilkada 2024 sebenarnya bisa ditekan dengan memperketat regulasi yang mengatur pembagian bansos jelang Pemilu, khususnya Pilkada yang akan diselenggarakan serentak pada 27 November 2024. Misalnya dengan putusan MK. Tapi sayangnya hal itu hanya menjadi utopia belaka.

Cara lain untuk meminimalkan dampak negative cawe cawe penguasa adalah dengan menguatkan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan yang lainnya.Lembaga-lembaga ini harus memiliki kemandirian dan kewenangan yang cukup untuk mengawasi proses pemilihan dan memeriksa tindakan campur tangan yang tidak pantas yang dilakukan oleh penguasa. Tapi dengan melihat kondisi kelembagaan yang ada saat ini seperti MK, MA, maupun KPK kita menjadi pesimis karenanya.

Di luar lembaga lembaga fomal, masyarakat sipil juga  harus didorong untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada dengan melakukan pengawasan independen terhadap proses Pilkada. Organisasi pemantau pemilihan, kelompok advokasi, dan media independen dapat memainkan peran penting dalam mengungkap adanya campur tangan yang bersifat negative oleh penguasa dalam pelaksanaan Pilkada.

Kita juga harus meningkatkan pendidikan dan kesadaran publik tentang pentingnya integritas pemilihan dan bahaya campur tangan presiden dalam pelaksanaan PIlkada.Pendidikan demokrasi yang kuat, termasuk penekanan pada nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan keadilan, dapat mempersiapkan warga negara untuk menjadi pemilih yang kritis dan terlibat dalam menjaga integritas pelaksanaan Pilkada

Penting juga untuk diingat bahwa tidak ada solusi yang sempurna, tetapi dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita dapat meminimalkan campur tangan yang merugikan integritas pelaksanaan Pilkada dan membangun sistem yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan nantinya. Dalam situasi di mana keuntungan politik bertentangan dengan integritas pemilihan, integritas pemilihan harus menjadi prioritas utama. 

Tanpa integritas pelaksanaan Pilkada, demokrasi tidak dapat berfungsi dengan baik, kepercayaan publik akan merosot, dan dampak negatifnya akan dirasakan oleh masyarakat karena terpilihnya pemimpin yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyatnya

Tidak kalah pentingnya adalah penguatan aturan dan mekanisme pemilihan yang transparan, independen, dan adil perlu ditegakkan dengan ketat, sehingga campur tangan presiden yang berkuasa dapat dicegah dan integritas pelaksanaan Pilkada bisa  tetap terjaga. Semoga.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar