Nawaitu Redaksi
Menelisik Gugatan di PTUN Jakarta, Saat Prabowo Dilantik Tanpa Gibran
Tim Kampanye Nasional (TKN) muda Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melakukan apel akbar di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Jumat (2/2/2024), Prabowo hadir langsung dalam acara tersebut. Tiba di Plenary Hall JCC, Prabowo disambut meriah pendukung dan pemilih muda. Apel Akbar TKN Muda digelar untuk mengkonsolidasi pemilih muda dalam pemenangan Prabowo Gibran pada Pemilu 2024. Robinsar Nainggolan
Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pemenang pilpres 2024 yaitu pasangan Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka. Mereka berdua saat ini tengah menunggu hari pelantikannya. Meskipun demikian, proses menuju pelantikan masih ada saja gangguannya. Diantaranya dengan munculnya gugatan dari Anggota Tim Hukum PDI-P Gayus Lumbuun ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.
PDI-P menggugat dugaan perbuatan melawan hukum oleh KPU karena tetap menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (Cawapres) Prabowo padahal belum membicarakan perubahan Peraturan KPU (PKPU) dengan DPR sebagaiimana yang seharusnya dilakukannya.
Adapun PKPU itu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang membuat Gibran bisa menjadi cawapres pasangan 02.
Gayus mengatakan, jika penyelenggaraan pemilu tidak sah karena ditemukan cacat hukum, maka putusan MK tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya . “Risikonya diputuskan menang (pemilu), tapi itu non-executable, tidak bisa dieksekusi,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Gayus, pelantikan presiden dan wakil presiden baru nanti hanya diikuti Prabowo Subianto saja. “Pak Prabowo tidak cacat. Tidak ada yang salah di Pak Prabowo,” tutur Gayus sebagaimana dikutip media.
Adanya kemungkinan Prabowo yang dilantik sementara wakilnya Gibran Rakabuming Raka tidak bisa dilantik tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Bisakah Prabowo dilantik tanpa wakilnya Gibran Rakabuming Raka ?, Sejauhmana potensi Prabowo bisa dilantik tanpa wakilnya ?.
Memunculkan Pro-Kontra
Sebenarnya tuntutan dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU karena meloloskan Gibran Rakabuming Raka, mirip dengan gugatan yang pernah dilakukan oleh kubu pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) saat mereka menggugat ke MK. Saat itu kubu AMIN menyodorkan permohonan yakni mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka saja. Jadi mereka menuntut adanya Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diikuti oleh Prabowo, tetapi tanpa Gibran Rakabuming Raka.
Sebagaimana kita ketahui bersama, tuntutan AMIN itu ditolak oleh MK. Pada hal saat itu muncul harapan besar dari masyarakat agar MK memberikan sanksi kepada Gibran untuk di diskualifikasi karena dianggap cacat konstitusi dalam proses pencalonannya. Harapan ini antara lain disuarakan oleh pakar hukum tata negara Prof. Denny Indrayana yang menginginkan Prabowo dinyatakan menang Pilpres 2024 tetapi tanpa Gibran Rakabuming raka. Sehingga, Prabowo dilantik sendiri selaku presiden, tanpa Gibran yang menjadi wakil presidennya.
Pada kesempatan tersehut Prof. Denny berharap setelah Prabowo dilantik , MK bisa memerintahkan dilaksanakannya Pasal 8 ayat (2) UUD 1945. Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: "Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden."Adapun Presiden yang dimaksud tentu saja adalah Prabowo Subianto yang telah dilantik oleh MPR karena dinyatakan menang dalam pemilu yang telah diikutinya.
Namun sebagian pakar hukum lain menyatakan bahwa upaya untuk menggagalkan pelantikan Gibran sebagai wakil Prabowo tidak memungkinkan berdasarkan ketentuan yang ada.
Adalah Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari yang menyebut kalau MK tidak bisa hanya mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka saja. Melainkan harus sepaket dengan Prabowo Subianto yang menjadi presidennya.
"Saya mau menyatakan begini, tidak mungkin diskualifikasi itu hanya untuk Gibran. Sesuai pasal 6A ayat 1 UUD 1945 bahwa Presiden dan Wakil Presiden itu dipilih dalam satu pasangan calon, satu pasangan," kata Feri pada saat diskusi bertajuk `Landmark Decision MK` di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/4).
"Jadi kalau mau diskualifikasi ya dua-duanya. Jadi tidak mungkin satu didiskualifikasi, satu dilantik. Enggak mungkin, dan tidak mungkin juga kedua-duanya dilantik dulu baru satu didiskualifikasi, enggak akan terjadi itu," sambung dia seperti dikutip media.
Memang kalau kita mencermati ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD yang secara eksplisit menyebut jika Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan calon maka dengan sendirinya pasangan itu merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Ibarat pasangan pemain ganda dalam permainan bulutangkis yang memenangkan kejuaraan, jika satu orang yang terbukti menggunakan doping, maka ex-officio kemenangan satu pasangan tersebut dinyatakan batal dengan sendirinya. Tidak bisa hanya satu orang saja yang mengangkat medalinya.
Dengan mempertimbangkan fenomena tersebut, apakah pada akhirnya nanti tuntutan PDIP lewat kuasa hukumnya untuk menggagalkan pelantikan Gibran Rakabuming Raka tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta ?
Potensi Pelantikan Prabowo Tanpa Gibran
Memang kecil peluang Prabowo nanti dilantik tanpa Gibran Rakabuming Raka terutama jika kita mengacu pada keputusan MK sebelumnya yang telah mengesahkan pasangan Prabowo -Gibran sebagai pasangan yang telah dinyatakan menang oleh mereka.
Namun harus di ingat bahwa kali ini gugatan tidak diajukan ke MK melainkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta. Mungkin PDIP yang mengajukan gugatan sudah tahu kalau mengajukan gugatan ke MK akan sama saja nasibnya dengan gugatan sebelumnya. Maklum kondisi kelembagaan MK sudah “di kondisikan” sedemikian rupa oleh Anwar Usman yang notabene paman Gibran Rabuming Raka.
Untuk diketahui, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK. Anwar Usman telah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim saat melakukan Uji Materi Perkara No. 90 tentang batas usia calon presiden dan wakilnya.
MKMK menyatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim MK sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip keberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, serta prinsip kepantasan dan kesopanan yang seharusnya dimiliki oleh seorang hakim MK.
Adanya keputusan MKMK menjadi tanda bahwa Putusan Perkara No. 90 mengalami cacat hukum secara prosedural dan substansial yang mengandung makna bahwa benar kolusi dan nepotisme sangat kental terjadi dalam Putusan Perkara No. 90. Dengan demikian, majunya Gibran sebagai Calon Wakil Presiden cacat secara hukum dan cacat secara etika.
Oleh karena itulah PDIP masih percaya diri untuk mengajukan gugatan dugaan pelanggaran oleh KPU karena telah meloloskan Gibran, karena kali ini yang akan memutus perkaranya bukan lagi hakim MK melainkan PTUN DKI Jakarta sehingga masih ada secercah harapan disana.
Faktor lain yang barangkali membuat kubu PDIP optimis gugatannya bakal dikabulkan oleh PTUN DKI Jakarta adalah perubahan politik yang terjadi saat ini menjelang lensernya presiden yang sekarang berkuasa.
Seperti diketahui bersama, usia pemerintah saat ini akan segera menemui ajalnya. Menjelang akhir masa jabatannya biasa pengaruh dari pemerintah yang berkuasa terutama presidennya semakin lemah karena akan segera kehilangan kursinya. Perlahan lahan pengaruhnya akan digantikan oleh presiden yang akan menggantikannya.
Gugatan PDIP diajukan dalam suasana kondisi dimana pemerintah mulai ditinggalkan oleh orang dekatnya sehingga daya rusak untuk mempengaruhi penegakan hukum yang diduga selama ini telah dilakukannya tidak lagi efektif seperti sebelumnya. Hukum yang katanya menjadi panglima telah dikalahkan oleh mereka yang memegang kuasa.
Oleh karena itu muncul secercah harapan kepada PTUN DKI Jakarta untuk membuat keputusan progresif dengan mengabulkan permohonan PDIP yaitu menganulir kemenangan Gibran yang dinilai cacat hukum dalam proses pencalonannya.
Adanya keputusan untuk menganulir kemenangan Gibran karena dianggap cacat hukum mendapatkan kekuatan moral tidak hanya karena adanya keputusan MKMK yang telah menyatakan hakim MK Anwar Usman melanggar etika tetapi juga karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memutuskan untuk memecat Hasyim Asy`ari sebagai Ketua dan anggota KPU Republik Indonesia.
Pemecatan terhadap pentolan hakim MK dan pentolan KPU ini telah memberikan sinyal bahwa pelaksanaan pemilu 2024 memang bermasalah dari sisi penyelenggaranya sehingga tentunya mempunyai imbas juga kepada hasilnya. Sehingga sudah sewajarnya kalau penetapan hasil pemilu terutama terkait dengan Pilpres yang telah memenangkan pasangan 02 (Prabowo-Gibran) dikoreksi oleh lembaga lainnya dalam hal ini PTUN DKI Jakarta yaitu dengan mengabulkan permohonan kuasa hukum PDIP sesuai tuntutan mereka.
Harapan untuk dikabulkannya gugatan PDIP selain mulai pudarnya pengaruh Jokowi dan kecacatan hakim MK dan Ketua KPU, juga karena terjegalnya Gibran menjadi sesuatu yang mungkin diharapkan juga oleh kubu Prabowo. Karena eksistensi Gibran sebagai wakil Prabowo saat ini (setelah dinyatakan sebagai pemenang) mungkin lebih menjadi beban daripada asset berharga bagi Prabowo.
Sebagai bagian dari strategi politik, cukuplah keberadaan Gibran yang didorong oleh Jokowi menjadi sarana bagi Prabowo untuk bisa naik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Toh di pemilu tahun 2019 yang lalu, kemenangan Prabowo diduga telah “dirampok” oleh kubu Jokowi yang saat itu menjadi seterunya.Jadi saat inilah waktunya untuk mengambil “hak -nya” meskipun harus dilalui dulu dengan merapat dulu ke penguasa yang sebelumnya menjadi rivalnya.
Dengan tidak dilantiknya Gibran sebenarnya akan sangat menguntungkan Prabowo yang mungkin akan merasa terbebani dengan adanya Gibran karena keharusan untuk melanjutkan program program Jokowi seperti proyek mercu suar pindah ibukota dan yang lain lainnya.
Selain itu hilangnya Gibran akan memuluskan pemerintah Prabowo untuk menjalankan agenda agenda politiknya nya terlepas dari bayang bayang Jokowi yang sebenarnya masih ingin terus berkuasa. Karena selama masih ada Gibran maka tentu “Pak Lurah” tidak akan merelakan anaknya menjadi ban serep seperti yang ia lakukan terhadap Kyai Ma’ruf Amin yang saat ini menjadi wakilnya.
Dengan gambaran situasi sebagaimana dikemukakan diatas, kiranya ada peluang bagi PTUN DKI Jakarta untuk membuat keputusan progresif yaitu mengabulkan gugatan PDIP dengan menganulir Gibran Rakabuming Raka. Tetapi beranikah PTUN DKI Jakarta memutuskan suatu perkara sensitive yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan anak presiden yang sekarang berkuasa ?
Komentar