Nawaitu Redaksi
Saat Wantimpres Menjadi DPA, Siasat Jokowi untuk Tetap Terus Berkuasa

Dewan Pertimbangan Agung RI
Jakarta, law-justice.co - Tidak ada angin tidak ada hujan, ketika tiba tiba DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang diputuskan dalam rapat rapat paripurna pada Kamis 11 Juli 2024 dipimpin Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus.
Menariknya, penyusunan Rancangan Undang (RUU) Wantimpres sampai kesepakatan membawanya ke rapat paripurna dilakukan Baleg DPR RI dalam waktu satu hari saja.
Baleg menggelar rapat panitia kerja (Panja) penyusunan RUU Wantimpres pada pukul 13.00 WIB. Kemudian, pada pukul 15.00 WIB, Baleg menggelar rapat dengan agenda pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU Wantimpres. Padahal, dilansir dari laman resmi DPR RI, revisi UU Wantimpres tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas (Prolegnas) 2020-2024.
Point point apa saja yang diatur dalam perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ?. Adakah agenda terselubung dibalik perubahan substansi Wantimpres menjadi DPA ?, Apakah revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu memang diperlukan oleh rakyat Indonesia ?
Point Perubahan
Draf Revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres memuat beberapa perubahan dari ketentuan yang sudah ada. Secara garis besar perubahan ketentuan itu dimuat dalam pasal pasal yang mengaturnya, diantaranya:
Pertama, perubahan nomenklatur. Nomenklatur yang semula dalam UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres disebut Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dalam draft RUU revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 dirubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA adalah istilah yang digunakan selama Orde Baru atau era pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto sebelum dihapus pada saat amandemen UUD 1945.
Kedua, Mengenai Jumlah anggota DPA. Jumlah anggota Wantimpres sebanyak 8 orang sesuai ketentuan yang ada di UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. Kemudian di draft RUU revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 , jumlah anggota DPA yang dipilih oleh Presiden di ubah menjadi tidak terbatas jumlahnya.
Ketiga, Perubahan Status DPA dan personilnya. Jika berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, kedudukan Wantimpres berada di bawah Presiden, maka dalam draft revisi UU Nomor 19 Tahun 2006, DPA berubah menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Sebagaimana juga yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Revisi juga menghapus Pasal 12, ayat 1d UU Nomor 19 Tahun 2006 , yang melarang anggota DPA merangkap pengurus partai politik, pemimpin ormas, pejabat struktural di perguruan tinggi,lembaga swadaya masyarakat, yayasan, BUMN, atau swasta.Sementara, dalam UU Wantimpres yang masih berlaku hal tersebut tak diperbolehkan.
Revisi UU tersebut juga menghapus syarat anggotanya yang harus memiliki keahlian tertentu dibidang pemerintahan, suatu persyaratan yang telah di atur di ketentuan yang saat ini ada . Namun persyaratan seperti itu tidak diperlukan di revisi UU Nomor 19 Tahun 2006. Kemudian, ada kalimat tambahan dalam Pasal 9 ayat 4 RUU Wantimpres yang mengatur status anggota DPA sebagai pejabat negara berbeda dengan sebelumnya.
Agenda Terselubung
Barangkali terbitnya RUU perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi salah satu produk legislasi yang kontroversial proses pembuatannya. Produk UU yang dibuat dalam yang sangat singkat dan terkesan tergesa gesa seolah olah ada target yang dikejarnya. Kabarnya pengesahan RUU ini harus kelar sebelum Jokowi mengakhiri masa jabatannya.
Sebelumnya kita juga pernah menyaksikan pembuatan UU yang sangat kilat pembuatannya karena tidak tercantum di dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Seolah olah ia adalah produk siluman yang tiba tiba saja ada.
Meskipun tidak ada ketentuan kapan suatu UU harus diselesaikan pembahasannya, namun publik pernah di pertontonkan pembuatan Undang Undang yang terkesan tergesa gesa pembahasannya. Beberapa Undang Undang yang dibuat secara tergesa gesa itu diantaranya :RUU Ibu Kota Negara (IKN), RUU Omnibuslaw Cipta Kerja, RUU Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP dan RUU Tax Amnesty dan sebagainya
RUU yang pembahasann terkesan dikejar kejar target tersebut diatas dinilai kontroversial karena dari segi substansi (materiil) dan prosedur pembuatannya (aspek formil) dinilai bermasalah sehingga banyak yang kemudian diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang Undang yang cacat secara formil dan materiil sebagaimana dikemukakan diatas biasanya juga mengusung agenda tertentu yang sangat lekat dengan kepentingan penguasa. Hal ini nampaknya juga terjadi pada pembuatan RUU Revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres.
Beberapa agenda tersembunyi yang nampaknya sedang di usung oleh penggagas RUU Revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres, diantaranya adalah :
Pertama, Misi bagi bagi kekuasaan. Revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 disebut sebut sebagai sebagai upaya bagi-bagi jatah "kue" jabatan kepada rekan koalisi presiden terpilih Prabowo Subianto dan timsesnya.Terutama dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa anggota DPA jumlahnya tidak terbatas tergantung pada keinginan Presiden yang diberikan kewenangan untuk menentukannya.
Sehingga lembaga yang hendak dinamai DPA itu sebenarnya tak lebih dari tempat untuk menampung orang orang yang dianggap berjasa atau para senior yang tidak lagi punya posisi setelah pensiun dari institusi sebelumnya seperti mantan Menteri, Mantan pimpinan lembaga negara bahkan mantan Presiden bisa masuk kesana.
Kedua, Ikut berkontribusi untuk ikut menguras keuangan negara.Pasal 9 ayat 4 RUU Wantimpres mengatur status anggota DPA sebagai pejabat negara. Ayat keempat tersebut adalah tambahan ayat dari UU Wantimpres pasal 9 yang masih berlaku. "Anggota Dewan Pertimbangan Agung merupakan pejabat negara," bunyi ayat tambahan dalam draf RUU tersebut.
Dengan status anggota DPA sebagai pejabat negara maka dengan sendirinya akan berimplikasi pada keuangan negara. Karena harus memberikan gaji, tunjangan dan fasilitas kepada mereka yang ditetapkan sebagai pejabat negara. Patut disesalkan ditengah tengah kondisi keuangan negara yang sedang tidak baik baik saja harus ditambah dengan keharusan mengeluarkan dana untuk mereka yang tidak terlalu urgen keberadaannya.
Tidak adanya batasan anggota DPA akan berdampak buruk kepada penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien karena pemerintahan tidak akan efektif jalannya. Hal ini lantaran Indonesia memiliki hutang banyak dan kondisi ekonomi yang tidak pasti kedepannya.
Belum lagi ada rencana penambahan kementerian yang sudah pasti akan menyedot anggaran negara.Akibatnya tentu yang dirugikan adalah masyarakat Indonesia. Sebab jatah mereka untuk menikmati anggaran negara harus terpotong karena dialokasikan kepada pejabat negara.
Ketiga, Ingin mengakomodasi keinginan Presiden yang sekarang berkuasa. Banyak yang menduga, revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 dimaksudkan untuk mengakomodasi posisi presiden yang akan lengser dari kursinya. Disebut sebut Jokowi akan menempati posisi sebagai Ketua DPA nantinya.
Kita patut menduga revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 dilakukan atas saran dari tim Presiden yang sekarang berkuasa. Tujuannya adalah agar Prabowo bisa diarahkan oleh Jokowi dalam menjalankan pemerintahannya.
Dengan demikian, Jokowi bisa memantau pergerakan Prabowo lewat posisinya sebagai Ketua DPA. Sebab, Jokowi khawatir jika Gibran Rakabuming Raka ditinggalkan begitu saja setelah dia lengser dari kursinya. Selain itu, ada pula hal lain yang berhubungan dengan keluarga Jokowi misalnya menyangkut keselamatannya.
Dengan demikian meskipun secara normatif dinyatakan bahwa revisi UU Wantimpres bertujuan untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial yang selama ini dianut oleh sistem tata negara kita, namun aroma agenda terselubung kiranya lebih menyengat dibandingkan dengan alasan formalnya.
Perlukah ?
Dulu pada masa orde baru berkuasa, ada lembaga yang bernama DPA. Fungsinya memberikan nasehat kepada presiden Soeharto yang menjadi penguasa Orba. Namun keberadaan DPA pada masa itu disebut sebut hanya sebagai tempat penampungan mantan pensiunan pejabat negara yang sudah tidak lagi menduduki jabatannya.
Saat ini ada Wantimpres dimana dari sisi fungsinya dianggap tidak terlalu berguna. Mengapa ? Sebab nasihat atau pertimbangan yang mereka sampaikan belum tentu diterima atau diakomodir Presiden yang sekarang berkuasa. Kalau anggota Wantimpres cuma mengakomodir mantan bawahan presiden atau jadi tempat penampungan pensiunan, bagaimana bisa menasehati bosnya ? Pasti ada perasaan tidak enak apalagi dengan kultur Indonesia.
Sekarang jika DPR ingin merevisi UU Wantimpres dengan mengubah hal-hal yang disebutnya tidak signifikan, maka akan percuma saja karena hanya akan menambah beban anggaran negara. Sementara kinerjanya tidak terlihat nyata. Kerjanya hanya memberikan nasihat tapi jumlah [anggota] begitu banyak sehingga patut dipertanyakan efektifitasnya.
Hampir bisa dipastikan pada akhirnya akan menjadi beban APBN, padahal anggaran negara yang dikeluarkan harusnya berbasis kinerja. Lain halnya kalau fungsi DPA nantinya diperkuat seperti misalnya yang ada di negara Prancis dimana disana DPA-nya bertugas sebagai banding administratif pemerintah. Kalau warga protes bisa mengadu ke mereka,sehingga keberadaannya menjadi bermanfaat untuk warganya
Sebagai contoh kalau ada perilaku menteri yang tidak benar dilaporkan ke Dewan Pertimbangan Agung dan disampaikan secara terbuka, maka akan kelihatan bagaimana tindaklanjutnya. Tapi kalau DPA kerjanya hanya memberikan nasihat kepada Presiden akan menjadi sulit bagaimana parameter kinerjanya.
Karenanya kalau revisi UU Wantimpres oleh DPR tidak sampai menyentuh upaya untuk memperkuat peran lembaga tersebut, dengan menambahkan tugas baru selain memberikan nasihat atau pertimbangan, maka menjadi tidak ada gunanya.
Adapun tugas tambahan dimaksud misalnya sebagai banding administatif bagi warga.Kemudian menetapkan kriteria spesifik seperti independen, tidak pernah menjadi bawahan presiden, berintegritas, jujur terpercaya dan sebagainya
Diluar gagasan untuk revisi UU Wantimpres, sebenarnya ada hal lain yang jauh lebih urgen yaitu pentingnya Penataan Kepresidenan melalui RUU Lembaga Kepresidenan. Indonesia perlu memiliki Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detil uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.
Kabarnya draft RUU Lembaga Kepresidenan tersebut pernah diterbitkan pada tahun 2001. Namun entah mengapa, sampai saat ini RUU tersebut tidak kunjung disahkan menjadi suatu undang-undang oleh pihak yang berwenang menanganinya
Adanya Undang-Undang mengenai Lembaga Kepresidenan diharapkan dapat mengelaborasi lebih jauh batas-batas tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Memang secara eksplisit tidak ada perintah dalam UUD 1945 yang menyatakan agar dibentuknya suatu UU tentang Lembaga Kepresidenan.
Namun, dalam UUD 1945 sendiri terdapat sejumlah pasal yang mengamanatkan pembentukan Undang-Undang berkaitan dengan hak, kewenangan, dan tugas-tugas Presiden. Saat ini, pengaturan yang bersinggungan dengan kewenangan, tugas, dan hak presiden tersebar dalam Undang-Undang.
Nantinya, RUU Lembaga Kepresidenan tidak hanya akan memuat secara rinci serta detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan, melainkan juga tugas pokok dan fungsi seorang Wakil Presiden di Indonesia yang selama ini dianggap sebagai `ban serep` semata bahkan belakangan dinilai hanya sekedar memperkuat elektabilitas ketika kontestasi Pemilihan Presiden.
RUU Lembaga Kepresidenan juga diharapkan dapat memberikan batasan-batasan kewenangan Presiden dalam menjalankan tupoksinya, sehingga diharapkan agar kedepannya tidak terjadi lagi penyalahgunaan kewenangan lembaga kepresidenan ke depannya. Tetapi adakah mereka berpikir ke arah sana ?
Komentar