Utang Rafaksi Minyak Goreng Cair: Masih Ada Perusahaan Belum Terima

Jum'at, 19/07/2024 14:10 WIB
Minyak Goreng MinyakJita (Dok.Kemendag)

Minyak Goreng MinyakJita (Dok.Kemendag)

Jakarta, law-justice.co - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengatakan, proses pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng sebagiannya sudah dibayarkan ke produsen. Namun, untuk berapa banyak yang sudah terbayar ia mengaku masih belum menerima updatenya.

"(Pembayaran rafaksi minyak goreng) sudah berprogres. Ada sebagian dari perusahaan sudah dibagi, ada yang belum. Tapi saya belum tahu update yang sudah terbayarnya berapa," kata Isy Karim saat ditemui wartawan di Lapangan Parkir Kemendag, Jumat (19/7/2024).

Namun ketika ditanya soal target penyelesaian pembayaran utang rafaksi, Isy mengatakan bahwa pihaknya tidak ada memberikan target tenggat waktu. Ia bilang proses pembayaran itu tergantung dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) selaku pihak yang melakukan verifikasi pembayarannya.

Isy menjelaskan, proses pembayaran utang rafaksi tetap melalui BPDPKS kepada produsen migor, baru setelah itu dibayarkan ke peritel. Hal ini sejalan juga dengan sudah diberikannya hasil verifikasi data mengenai total jumlah utang rafaksi minyak goreng dari Kemendag ke BPDPKS.

"Kita kan bayarnya ke produsen melalui BPDPKS. Jadi masing-masing peritel itu nanti akan klaim ke produsen. Kita sedang bagi (pembayarannya) ke teman-teman produsen (migor) berdasarkan data hasil verifikasi dari Sucofindo," ujarnya dilansir dari CNBC Indonesia.

Sementara saat ditanya terkait proses verifikasi yang tengah dilakukan di BPDPKS saat ini, Isy menjelaskan, itu tak terlepas untuk menghitung besaran pembayaran utang lebih detail lagi.

"Berapa untuk peritel A dan berapa untuk peritel B kayak gitu, jadi untuk menghitung saja pembayaran antara produsen dan peritel," lanjut dia.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengaku bingung kenapa harus diverifikasi atau dilakukan pengecekan lagi. Pasalnya, data-data tersebut sudah diverifikasi oleh Sucofindo selaku surveyor yang sudah dipilih Kemendag sebelumnya.

"Menjadi janggal prosesnya ketika BPDPKS perlu memverifikasi ulang. Memang datanya itu perlu berapa kali diverifikasi? Apanya yang perlu diverifikasi? Ini sudah 2,5 tahun berjalan loh, pemerintah perlu menyadari berapa besar kerugian yang dihadapi para peritel, produsen, dan distributor minyak goreng karena belum mendapatkan pembayaran rafaksi," kata Roy kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

"Ada besaran bunga yang berjalan, karena kan kita sudah bayar minyak goreng pada saat itu dengan harga mahal, tapi disuruh jual murah. Kemudian net present value (NPV) dari tagihan itu kan sudah turun. Besaran tagihannya berubah, tapi NPV nya sudah turun," imbuh dia.

Menurutnya, apabila memang sudah diverifikasi oleh Sucofindo, sebagai lembaga verifikator resmi yang telah ditunjuk Kemendag, maka seharusnya BPDPKS segara membayarkan utang rafaksi tersebut sesuai dengan hasil verifikasi.

"Jika perkara untuk memberi info kepada 54 perusahaan minyak goreng, secara email atau komunikasi telepon atau WhatsApp semestinya dalam waktu paling lambat 1 minggu sampai 10 hari pun sudah selesai. Jadi kalau dibilang pertengahan Juni, kemudian ada perubahan lagi, sebenarnya yang dilakukan apa?" ujar Roy.

"Kalau cuma untuk menginformasikan `Hei PT. A kita sudah mau bayar nih, hitungannya sekian`. Ya sudah dong nggak perlu lagi diverifikasi, langsung saja ditransfer, supaya produsen bisa segera bayar ke kami. Jadi kami minta untuk percepatan pembayaran," sambungnya.

Selain itu, Aprindo juga menyatakan bahwa pihaknya meminta transparansi data, yang selama ini mereka belum dapatkan hitungan pasti secara tertulis, berapa sih yang akan dibayarkan oleh pemerintah kepada peritel.

Peritel Minta Transparansi Data

Roy Nicholas Mandey meminta agar pemerintah memberikan transparansi data, yang selama ini mereka belum dapatkan hitungan pasti secara tertulis, berapa sih yang akan dibayarkan oleh pemerintah kepada peritel.

"Jadi Aprindo itu sampai hari ini belum mendapatkan transparansi hasil verifikasi yang akan dibayar ke ritel. Kita hanya mendengar dari media, bahwa akan dibayarkan lebih kurang produsen 40%, peritel juga 40% dari total perhitungan yang disetor kan ke BPDPKS," ucapnya.

Transparansi data, kata Roy, diperlukan Aprindo, agar peritel dapat mempertanggungjawabkannya kepada para stakeholder atau pemegang saham perusahaan mereka.

"Bisa dibayangkan kalau kita tidak memiliki data hasil dari verifikasi, maka kita mempertanggungjawabkan ke investor jadi kesulitan. (Karena itu) kami memohon dan meminta transparansi data," cetus dia.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar