Bongkar Modus Dugaan Korupsi di Balik Kerugian Kimia Farma
Abaikan Rekomendasi BPK, Kimia Farma Tekor Rp1,4T
Ilustrasi: BUMN Kimia Farma merugi hingga Rp 1,48 Triliuan diduga akibat praktik korupsi di internal BUMN tersebut. (Bing)
law-justice.co - PT Kimia Farma Tbk (KAEF) mencatat kerugian bersih Rp 1,48 triliun di tahun 2023. Angka ini anomali dan tidak dijelaskan dengan gamblang penyebabnya. Tak mengejutkan jika muncul dugaan adanya unsur kesengajaan alias korupsi dalam kerugian ini. Di tambah lagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) menemukan kalau korporasi ini sengaja mengabaikan rekomendasinya. Menteri BUMN Erick Thohir siap membawa kasus ini ke ranah hukum.
Kerugian emiten pelat merah ini membengkak ketimbang tahun sebelumnya yang hanya Rp 190,4 miliar. Padahal, penjualan bersih KAEF tercatat sebesar Rp 9,96 triliun, meningkat 7,93% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 9,23 triliun. Namun, beban pokok penjualan justru turut membengkak 25,83% menjadi Rp 6,86 triliun dari sebelumnya yang sebesar Rp 5,45 triliun. Alhasil laba bruto Kimia farma turun menjadi Rp 3,10 triliun dari sebelumnya, Rp 3,77 triliun.
Di laporan keuangan 2023, Direktur Utama (saat itu) Kimia Farma David Utama justru mengklaim pihaknya membukukan kinerja yang cukup baik. Perseroan mampu meningkatkan penjualan menjadi Rp9,96 triliun, naik 7,93% dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar Rp9,23 triliun. Pertumbuhan penjualan Perusahaan meningkat lebih tinggi di tengah kondisi pasar farmasi nasional yang penuh tantangan pada tahun 2023.
Ihtisar Data Keuangan di Laporan Keuangan Kimia Farma 2023. (ist)
Dia menyinggung kenaikan HPP sebagai biang kerok tergerusnya laba perusahaan, Harga Pokok Penjualan (HPP) tahun 2023 meningkat 25,83% (YoY) menjadi sebesar Rp6,86 triliun. Kenaikan HPP ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan penjualan yang hanya sebesar 7,93%. Kenaikan HPP berasal dari beberapa faktor yaitu belum optimalnya portofolio produk sesuai dengan perencanaan awal, dinamika harga bahan baku, dan tren obat untuk kebutuhan terapi yang berbeda dengan sebelumnya sehingga penjualan menjadi kurang tercapai.
Dari sisi beban usaha tahun 2023 meningkat hingga 35,53% (YoY) menjadi Rp4,66 triliun dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar Rp3,44 triliun. Kenaikan beban usaha terjadi secara dominan pada anak usaha yaitu Kimia Farma Apotek (KFA), dimana kondisi ini tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Beban keuangan tahun 2023 naik 18,49% (YoY) menjadi Rp622,82 miliar seiring dengan kebutuhan modal kerja perusahaan dan adanya kenaikan suku bunga. Kedepannya, Perseroan akan menjalankan restrukturisasi keuangan guna meringankan beban keuangan.
Meskipun mengakui, adanya kerugian Perusahaan secara konsolidasi pada tahun 2023 mencapai Rp1,82 triliun. Namun David tetap berkilah Perusahaan masih memiliki kas dan setara kas yang cukup kuat yaitu sebesar Rp832,67 miliar dan persediaan sebesar Rp2,48 triliun. “Hal tersebut menunjukan bahwa Kimia Farma memiliki modal yang kuat untuk dapat meraih kinerja yang lebih baik di tahun- tahun mendatang,” ujarnya.
Rupanya, Menteri BUMN Erick Thohir memiliki pendapat berbeda. Di tengah sengkarut keuangan Kimia Farma, RUPS teranyar pada akhir Juni memutuskan untuk mencopot David Utama sebagai dirut. Terkait kerugian luar biasa ini, Erick Thohir menyebut akan melakukan koordinasi dengan BPK untuk mengetahui lebih jauh soal kerugian yang dialami oleh Kimia Farma. Dia juga menegaskan, pihaknya akan membuka potensi untuk membawa persoalan PT Kimia Farma Apotek ke ranah hukum.
Erick menyampaikan hal tersebut merupakan bagian dari komitmen bersih-bersih BUMN. "(Kalau) Indofarma inikan sudah ada di Kejaksaan, nah untuk Kimia Farma kalau ada kasus korupsi ya kita sikat," kata Erick sebelum rapat kerja Menteri BUMN dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (10/07/2204).
Erick memastikan bila Kementerian BUMN akan terus berupaya menindak oknum yang melakukan tindakan koruptif yang merugikan perusahaan dan negara. Erick menyebut terkuaknya sejumlah kasus fraud hingga rekayasa keuangan di tubuh BUMN farmasi merupakan bagian dari komitmen bersih-bersih BUMN. “Tentu kalau bersih-bersih pasti jalan terus, yang penting bukan korup secara sistem, tapi ini ada oknum yang korup. Kita mesti bedakan korupsi secara sistematik dan oknum yang korup," ujarnya.
Menurutnya, mayoritas kasus terjadi pada di masa terdahulu, namun Erick akan tetap berkomitmen untuk melakukan penyelesaian di BUMN Farmasi. Erick mengatakan Kementerian BUMN memiliki tanggung jawab penuh menuntaskan sejumlah kasus-kasus lama untuk perbaikan kondisi BUMN ke depan. "Bersih-bersih ini kita akan terus jalankan, kita tidak menutup mata kalau 90 persen itu kasus lama, tapi 10 persen ada juga kasus baru, ini yang kita coba berikan solusi," imbuhnya.
Erick mengatakan kasus BUMN farmasi merupakan bentuk kolaborasi antara Kementerian BUMN, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Erick menyebut kolaborasi ini telah dilakukan sejak awal dan berhasil mengungkap sejumlah penyelewengan di BUMN. "Contohnya kita bicara dengan BPK, akhirnya BPK koordinasi Kejagung untuk kasus Indofarma, kita bilang silakan," kata Erick.
Menteri BUMN Erick Thohir. (Ghivary)
Permasalahan yang terjadi di Kimia Farma sudah pernah diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga. Arya mengungkapkan kasus rekayasa keuangan yang dilakukan anak usaha PT Kimia Farma, yakni PT Kimia Farma Apotek. “Kimia Farma Apotek ini ada masalah di rekayasa keuangan. Kalau Indofarma itu kan memang hilang uangnya diambil. Kalau ini (Kimia Farma Apotek) dia rekayasa, menggelembungkan, misalnya, distribusi-distribusi dan sebagainya. Seakan-akan penjualan semuanya bagus, padahal tidak," ujar Arya melalui keterangannya, Rabu (05/06/2024).
Arya mengatakan bila PT Kimia Farma mempunyai persoalan tersendiri yang menyebabkan kerugian pada perusahaan tersebut. Salah satunya mengenai inefisiensi lantaran memiliki cukup banyak pabrik. Untuk itu, Kimia Farma pun akan menutup lima pabrik dari 10 pabrik yang ada. "Jadi tidak efisienlah. Pokoknya dulu itu mereka terlalu banyak bangun pabrik, padahal tidak butuh," katanya. Arya menyampaikan tidak menutup kemungkinan kasus Kimia Farma juga akan diteruskan ke Kejagung seperti yang telah dilakukan terhadap Indofarma.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Kimia Farma, Ganti Winarno, mengatakan kondisi keuangan Kimia Farma menjadi dasar putusan pergantian pimpinan. Dia mengakui kerugian perusahaan karena inefisiensi pabrik yang digarap manajemen sebelumnya. Katanya, beban operasional dan produksi yang mendatangkan kerugian, semisal dari bisnis PT Kimia Farma Apotek. Anak usaha tersebut mencatatkan beban operasional dan produksi naik hingga 35,5 persen menjadi Rp4,66 triliun. Sehingga, korporasi merugi dari bisnis apotek mencapai Rp800 miliar dan dari jasa laboratorium sebesar RP119 miliar. "Kinerja keuangan sedang bermasalah karena tidak sejalannya jumlah produksi dengan penjualan. Saat ini sedang ada audit investigasi dari pihak luar (terkait Kimia Farma Apotek)," katanya kepada Law-justice, Kamis (11/7/2024).
Kental Dugaan Korupsi
Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) rupanya telah mengendus indikasi perilaku fraud yang terjadi di perusahaan ini. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Tahun 2020 Sampai Dengan 2022 (Semester I) Pada PT Bio Farma (Persero) Dan Anak Perusahaan Serta Instansi Terkait Lainnya Di DKI Jakarta Dan Jawa Barat auditor menemukan permasalahan berulang dalam penetapan dan perhitungan harga pokok produksi (HPP) yang mengakibatkan harga produk tidak kompetitif dan berisiko merugikan Kimia Farma.
Secara historis, Harga Pokok Produksi pada Kimia Farma telah menjadi permasalahan yang menjadi perhatian baik berdasarkan temuan BPK pada pemeriksaan terdahulu ataupun hasil kajian dari Ikatan Akuntan Indonesia. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor 12/AUDITAMA VII/PDTT/01/2016 atas Kegiatan Pengadaan, Penjualan dan Biaya pada Kimia Farma dan Anak Perusahaan dengan masa pemeriksaan Tahun 2013 s.d Tahun 2015 (Semester 1), salah satu hasil pemeriksaan adalah penyusunan HPP per satuan produk Kimia Farma tidak menghasilkan data yang akurat dan valid.
Penyusunan HPP tidak dilakukan secara konsisten dimana HPP SK Tahun 2013 tidak membebankan biaya administrasi umum (BAU) dan biaya penjualan (BPJL), sedangkan HPP SK Tahun 2014 membebankan BAU dan BPJL. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan pihak pemasaran tidak menggunakan HPP riil sebagai dasar penetapan harga jual/Harga Netto Apotik (HNA) di tahun 2014. HPP yang digunakan adalah HPP yang ditetapkan Direksi di awal tahun 2014. Atas kondisi tersebut BPK merekomendasikan kepada Direksi Kimia Farma agar menyusun sistem informasi terkait perhitungan HPP persatuan produk yang lebih valid dan akurat berdasarkan data yang up to date dan memperhitungkan seluruh unsur biaya produksi. Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti dimana Kimia Farma telah menggunakan SAP sebagai sistem informasi.
Pada tahun 2022, Kimia Farma ternyata masih menggunakan HPP Standar berdasarkan RKAP, yang berarti rekomendasi BPK pada pemeriksaan terdahulu tersebut ditindaklanjuti secara formalitas oleh Kimia Farma dengan mengembangkan sistem informasi SAP namun tidak menyelesaikan permasalahan terkait penggunaan HPP Standar berdasarkan RKAP. Direktur Produksi dan Supply Chain mengakui bahwa HPP yang digunakan sebagai dasar untuk penjualan adalah HPP Standar RKAP, yang ditetapkan pada awal tahun anggaran, dengan metode full costing. Nilai HPP menggunakan HPP Standar menggunakan full costing tersebut dinilai terlalu tinggi oleh Bagian Marketing.
Secara tegas laporan BPK tersebut menyatakan Kimia Farma telah melanggar Prinsip Business Judgement Rules yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Praktik tersebut di atas tidak memenuhi persyaratan-persyaratan business judgment rules antara lain keputusan yang diambil dan dilasanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Rekomendasi BPK Kajian Standarisasi HPP. (Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Tahun 2020 Sampai Dengan 2022 (Semester I) Pada PT Bio Farma (Persero) Dan Anak Perusahaan Serta Instansi Terkait Lainnya Di DKI Jakarta Dan Jawa Barat)
Pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menduga ada kesengajaan untuk mendesain atau kesalahan strategi bisnis terutama pasca covid di proyeksi bisnis Kimia Farma. Sepakat dengan Badiul, seharusnya BUMN farmasi ini untung, alih-alih merugi jika mengingat sebagai status pemain utama dalam pasar farmasi. “Saat pandemi, banyak perusahaan farmasi yang naik neraca keuangannya yang seharusnya men-generate profit pasca pandemi. Tapi kan setelah Covid, enggak terjadi. Ini membuktikan adanya salah stragegi dalam me-running bisnis yang kemungkinan besar di kimia farma tidak memiliki ahli kesehatan yang mumpuni,” kata Achmad kepada Law-justice, Jumat (12/7/2024).
Selain salah strategi yang disengaja, kata Achmad juga ada masalah kapasitas dari manajemen perusahaan. Ia menitikberatkan ketika muncul indikasi fraud, mala penanggung jawabnya adalah manajemen. “Manajemen ini lack of competence untuk memprediksi masa depan kesehatan. Lalu pasti ada juga benturan kepentingan yang mengarah pada perilaku koruptif. Ada motivasi tidak baik yang dimiliki oleh eksekutif di Kimia Farma. Motivasi yang bukan menguntungkan BUMN tapi ingin memperkaya diri sendiri dan kelompok,” ujar dia.
“Kalau dilihat trennya yang pernah menyumbang deviden ke holding (Bio Farma) sekitar 7 triliunan, tapi sekarang merugi, itu jelas ada akibat perilaku koruptif para eksekutifnya,” ia menambahkan.
Bicara soal dugaan modus korupsi di Kimia Farma, Achmad menduga ada permainan di balik peningkatan nilai produksi. Sebab, nilai produksi tidak sejalan dengan nilai penjualannya. “Lalu yang jadi pertanyaan, apa dasarnya menggenjot produksi. Ini jangan-jangan kejar produksi aja untuk ambil cost of production yang bisa jadi bancakan eksekutif Kimia Farma. Semisal terus mengeluarkan dana untuk penyediaan vaksin Covid-19 di tengah tren pandemi sudah melandai pada beberapa tahun lalu,” katanya.
Manajer riset Seknas Fitra Badiul Hadi. (Media Indonesia)
Manajer riset Seknas Fitra, Badiul Hadi menilai sengkarut tata kelola Kimia Farma diduga Badiul karena perilaku koruptif. Sebab, katanya, kerugian korporasi yang karena salah tata kelola erat kaitannya dengan unsur kesengajaan. Sehingga, proses pengusutan tindak pidana korupsi perlu dilakukan untuk mengetahui aktor korupsi, modus dan kerugian keuangan. Kementerian BUMN mesti mengambil inisiatif untuk melaporkan dugaan bancakan ini. “Ada problem tindak pidana korupsi di Kimia Farma yang perlu diungkap. (Tapi) sampai saat ini belum ada klarifikasi dari Menteri BUMN sebagai pemangku kepentingan tertinggi dalam tata kelola BUMN ya,” katanya.
Badiul menduga modus penggelembungan atau mark up sangat potensial terjadi. Mark-up yang dimaksud adalah anggaran produksi yang dibikin besar jummlahnya tanpa melihat kebutuhan pasar. “Itu yang patut diduga sebagai modus korupsi di Kimia Farma jika melihat kerugian yang besar. Kerugian dari produksi bisa mencapai triliunan, itu tidak masuk akal. Korupsi secara tersistematis menyalahgunakan keuangan negara itu harus diungkap,” katanya.
Menurutnya, peningkatan kapasitas produksi digenjot naik sembari dilakukan rekayasa dalam pelaporan akuntabilitas penggunaan anggaran produksi. Sehingga, bancakan bisa diraup dari anggaran produksi yang akal-akalan diajukan. “Artinya duitnya dari penanaman modal. Di saat perusahaan merugi, ada suntikan modal lagi dari APBN karena misal rugi dari sektor produksi. Padahal sebenarnya, bisa saja produksi obat atau vaksin itu tidak merugi, tapi dilaporkan merugi karena alibi obat atau vaksin tidak terserap pasar yang sejak awal sudah direncanakan untuk merugi.
Inefisiensi Berujung Rencana Penutupan Pabrik
Menyikapi adanya kerugian dari Kimia Farma, Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino menyebut perlu ada upaya dari PT Kimia Farma Tbk (KAEF) untuk fokus menata bisnisnya dengan mengoptimalkan kapasitas terpakai pabrik. Harris menyatakan bila langkah pengoptimalan tersebut penting untuk dilakukan oleh Kimia Farma. Pasalnya, dari 10 pabrik yang ada saat ini utilitasnya cukup rendah, yakni hanya 40 persen saja.
“Ini jauh di bawah rata-rata utilitas pabrik farmasi swasta yang di kisaran 70 persen," ujar Harris ketika dikonfirmasi, Rabu (10/07/2024).
Dengan tingkat utilitas yang jauh tertinggal tersebut, Haris mengatakan akan membuat beban biaya produksi membengkak. Hal terebut membuat KAEF jadi sulit bersaing dengan para kompetitornya dari sektor swasta. Meski begitu Haris menyatakan bila hal tersebut bukan perkara mudah bagi KAEF untuk dapat mendongkrak tingkat utilitas tersebut, sehingga setara dengan para pesaing dari kalangan swasta. Salah satunya adalah dengan pengurangan kapasitas produksi existing, dari saat ini sebanyak 10 pabrik, menjadi hanya lima pabrik saja.
Saat ini, KAEF diketahui memiliki 10 pabrik obat yang tersebar di wilayah Indonesia. Pabrik Sinkona (Subang), Pabrik Banjaran (Bandung), pabrik Marin Liza (Bandung), pabrik Lucas Djaja (Bandung), Pabrik Sungwun (Cikarang), pabrik Phapros (Semarang), pabrik Watudakon (Jombang), dan 3 pabrik lainnya yang berlokasi di Jakarta, Semarang, dan Bali. "Jadi secara teknis, KAEF harus tentukan pabrik-pabrik mana saya yang masih bisa dioptimalkan kapasitasnya. Lalu pindahkan fasilitas produksi dari pabrik-pabrik yang tidak optimal ke pabrik yang mau dipertahankan tadi. Artinya, suka atau tidak, memang harus ada (pabrik) yang ditutup untuk efisiensi," tuturnya.
Daftar Pabrik milik Kimia Farma. (Annual Report Kimia Farma 2023)
Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi juga memberikan tanggapannya terkait dengan kerugian yang dialami oleh Kimia Farma. Politisi yang akrab disapa Awiek ini mengatakan kerugian yang terjadi di Kimia Farma harus menjadi perhatian bersama. Awiek menduga ada terjadi mal management didalam Kimia Farma yang tentu ini harus dilakukan penelusuran secara lebih lanjut. Menurutnya, tentu menjadi sebuah pertanyaan karena disatu sisi BUMN Farmasi yang lain ada yang tidak mengalami kerugian.
“Ini menurut saya ada mal management dan terkadang miss management dalam pengelolaannya itu dan ini perlu dilakukan penelusuran kenapa bisa sampai mengalami kerugian seperti itu sementara di BUMN Farmasi yang lain ada yang mengalami keuntungan,” kata Awiek kepada Law-Justice, Selasa (09/07/2024).
kerugian yang terjadi di Kimia Farma tidak bisa dipandang sebagai kesalahan manajemen semata. parameter dan indiklasinya kuat mengarah kepada dugaan adanya korupsi, terutama dalam upaya menggangsir uang perusahaan melalui biaya operasi yang dimarkup. Sikap Menteri BUMN sudah tepat untuk membawa kasus in ke ranah hukum, denga meminta BPK mengaudit investigatis dan melaporkan hasilnya ek Jaksa Agung.
Namun, tak kalah penting adlah peran Erick Thohir sendiri. Dalam kasus kerugian Kii Farma ini jelas terjadi saat dia menjadi Menteri BUMN. Harus dilakukan klarifikasi apakah Erick Thohir benar tidak mengetahui adanya hanky-pangky di Kimi Farma yang menyebabkan kerugian luar biasa tersebut. Selain itu perlu juga diteliti baik oleh BPK maupun penegak hukum, apakah kerugian ini berkaitan dengan korupsi sektor politik atua tidak. Mengingat, kerugian terjadi di tahun panas menjelang Pemilu 2024.
Selain patut juga dicatat, kerugian luar biasa bukan hanya terjadi di Kimi Farma, namun di anak perusahaan Biofarma lainnya yakni Indofarma. Dengan modus kerugian yang kurang lebih sama, perlu diinisiasi investigasi yang lebih mendalam. Apakah kasus kerugian ini merupakan kegagalan manajemen atau justru modus manajemen untuk menganggsir duit operusahaan yang notebene uang negara.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar