Nawaitu Redaksi
Berebut Anies di Pilkada Jakarta, Menuju Politik Tukang Obat

Paslon No urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) memenuhi Jakarta International Stadium di Sunter Jakarta Utara, Sabtu (10/02/2024). Tidak hanya didalam Stadion, tampak diluar JIS para pendukung AMIN turut memadati kampanye paslon no urut 01 tersebut. Givari
Jakarta, law-justice.co - Pilkada Jakarta 2024 diprediksi makin memanas setelah PDI Perjuangan (PDIP) mempertimbangkan Anies Baswedan maju sebagai calon gubernur yang akan di usungnya. Langkah PDIP yang akan menjagokan Anies ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak biasa karena selama ini keduanya hampir selalu berseberangan sikapnya.
Selama bertahun tahun antara pendukung Anies dan PDIP terlihat saling serang antara satu dengan yang lainnya. Keduanya memang mempunyai ideologi yang berbeda. PDIP berideologi nasionalis sementara Anies Baswedan condong beraliran kanan yang kental nuansa keagaamaannya. Hubungan Anies dan PDIP sejauh ini tak ubahnya seperti minyak dan air untuk menggambarkan betapa sulitnya menyatukan keduanya.
Kalau pada akhirnya PDIP dan Anies Baswedan terlihat saling menjajagi untuk bersatu dalam perjuangan memperebutkan kursi Pilkada DKI Jakarta tentu karena antara keduanya mempunyai kepentingan yang sama. Karena sudah lama diketahui kalau dalam politik itu tidak mengenal kawan atau lawan tetapi kepentingan adalah diatas segala galanya. Yang semula berseteru bisa bersatu karena punya kepentingan yang sama.
Lantas, kepentingan apa yang mendasari langkah PDIP untuk mempertimbangkan Anies sebagai kandidat yang akan diusung di Pilgub Jakarta ?. Apa pula kepentingan Anies untuk bergandengan tangan dengan PDIP guna bisa maju menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta ?. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Pilkada Jakarta jika benar nantinya PDI-P menggandeng Anies sebagai calon Gubernur yang di usungnya ?
PDIP Butuh Anies
Sinyal kalau PDIP Perjuangan diperkirakan bakal mengusung Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta sudah hembuskan oleh beberapa elite politik PDIP ketika mengomentari kandidat bakal calong Gubernur DKI Jakarta. Sebagai contoh, Ketua DPP PDIP Puan Maharani ketika berbicara terkait peluang mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk diusung dalam Pilkada Jakarta, Puan mengatakan Anies cukup menarik untuk dipertimbangkan nantinya.
Hal itu disampaikan Puan saat menjawab terkait nama Anies turut diperhitungkan atau tidak untuk diusung PDIP dalam Pilkada Jakarta."Menarik juga Pak Anies," kata Puan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/24).
Sinyal yang sama dilontarkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Utut Adianto yang menilai Anies Baswedan sebagai sosok yang sangat mumpuni untuk maju kembali sebagai cagub Jakarta 2024. "Kalau menurut saya, beliau pernah jadi gubernur, sudah jadi capres. Pasti beliau punya, kalau bahasanya Pak Luhut; paten. Kalau bahasa saya, beliau orang yang sangat sudahlah merah putihnya enggak diragukan," ujar Utut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2024).
Sinya sinyal dukungan untuk Anies Baswedan untuk kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta yang dilontarkan oleh beberapa elit PDIP sebenarnya merupakan cerminan bahwa partai itu memang membutuhkan sosok Anies sebagai jagoan yang akan di usungnya. Lalu apa kepentingan PDIP ingin mengusung Anies dan bukan kader internalnya saja ?
Pertama, Elektabilitas Anies Masih Moncer di Jakarta. Sejauh ini tingkat elektabilitas Anies yang masih tinggi di wilayah Jakarta. Hal itu misalnya terungkap dari hasil survei Katadata Insight Center (KIC). Survei tersebut menunjukkan Anies Baswedan meraih dukungan dari 25,4% responden. Namun, Anies masih berada posisi kedua. Dia berada di bawah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi sosok paling pantas menjadi gubernur Jakarta periode 2024–2029 versi survei KIC. Ahok memperoleh 33,2% suara dalam survei tersebut. Di posisi ketiga, ada nama mantan gubernur Jawa Barat Ridwan yang dipilih 20% responden.
Kedua, Lebih Besar Peluang Menangnya.Meskipun berdasarkan survey KIC suara Anies kalah dengan Ahok yang mendapatkan 33,2 % suara namun peluang menangnya di pilkada 2024 nanti dinilai lebih besar dari Ahok yang juga pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hal ini berkaca pada Pilkada tahun 2017 yang lalu dimana saat itu survey pasangan Ahok-Jarot selalu menang tapi kenyataannya kalah dengan pasangan Anies -Sandiaga.
Bombardir isu dari kubu Ahok saat itu dalam bentuk narasi negative seperti kubu Anies dibilang jualan ayat dan mayat, penganut ideologi intoleran dan lain lainnya terbukti tidak mempan menaklukkan para pemilih di Jakarta untuk menentukan pilihan pada pasangan Anies -Sandiaga. Pada hal pada saat yang sama dimasa tenang, kubu Ahok telah secara massif menyebarkan sembako, duwit dan sapi yang tiada terkira banyaknya tapi masih kalah juga.
Sepertinya pemilih di DKI Jakarta pada pilkada 2017 itu masih berpikir waras untuk tidak terhipnotis dengan bujuk rayu, sembako, duwit dan sapi sehingga tidak mengalihkan dukungan kepada kandidat yang sejak semula menjadi pilihannya.
Ketiga, Kandidat Internal PDIP Dinilai Belum Cukup Kuat Melawan kandidat yang di usung Prabowo-Jokowi. Meskipun banyak kader kader internal PDIP untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, namun mereka dinilai masih belum cukup kuat untuk melawan pasangan yang nanti akan dimajukan oleh penguasa dalam hal ini kubu Prabowo -Jokowi.
Dalam kaitan ini nampaknya PDIP lebih bersikap rasional jika mengusung Anies sebagai cagub dibanding kader-kader internal mereka karena kader internal dinilai tidak cukup kuat untuk bisa menandingi kubu pemerintah dengan segala perangkat pemenangannya.
Ke empat, Guna Menggagalkan Potensi Bersatunya Kaesang dengan Anies Baswedan. Bahkan ada yang manila faktor utama PDIP rela menjalin koalisi dengan Anies Baswedan karena putra bungsu Presiden Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep memiliki peluang besar maju dalam Pilkada Jakarta setelah Mahkamah Agung (MA) memutus batas usia calon kepala daerah
Ketika ancaman itu menjadi kenyataan, PDIP sebagai partai pemenang Pileg harus rela bekerja sama dengan Anies Baswedan yang dulu menjadi rival politiknya.Mungkin bagi PDIP kepentingan untuk menggagalkan Kaesang dalam Pilgub Jakarta 2024 jauh lebih penting daripada mempersoalkan perbedaan ideologis dengan Anies atau kendala lainnya.
Ke lima, Untuk Meningkatkan Elektabilias PDIP di DKI Jakarta. Sudah sejak lama PDIP selalu menjadi pemenang pemilihan legislative di DKI Jakarta. Tetapi selama kontra dengan Anies yaitu pada periode 2017 hingga 2024, suara PDIP jeblok di Jakarta sehingga mereka kehilangan 13 kursi di DPRD DKI Jakarta selama dua kali pemilu (2019 dan 2024). Oleh karena itu dengan mengusung Anies di Pilkada 2024, suara PDIP diharapkan akan kembali terkerek lagi di Jakarta.
Ke enam, Bagian dari Langkah “Balas Dendam PDIP” kepada petugas partainya. Upaya PDIP untuk mengusung Anies di Pilkada DKI Jakarta disebut sebut sebagai bagian dari residu pilpres 2024 yang lalu. Karena seperti diketahui, pencalonan Gibran mendamping Prabowo, oleh PDIP dianggap sebagai pengkhianatan petugas partainya yang bernama Jokowi.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh petugas partainya itu harus dilawan dengan cara memajukan Anies sebagai calon Gubernur yang di usung PDIP. Karena mau melawan secara frontal (misalnya dengan memecat Jokowi) tidak cukup nyali bagi PDIP untuk melakukannya. Akhirnya salah satu cara balas dendamnya adalah dengan mengusung Anies yang selama ini dinilai sebagai antitesa Jokowi selaku penguasa.
Dengan mengusung Anies, sekaligus menjadi langkah PDIP untuk membendung calon calon yang dimajukan oleh Jokowi pada penghelatan Pilkada di Indonesia. Karena seperti diketahui saat PIlkada, Jokowi diketahui begitu rajin memajukan anak, mantua tau kroni kroninya untuk menjadi penguasa dengan dukungan kekuasaannya.
Ke tujuh, Membuat Bingung Jokowi dalam Menentukan Arah Politiknya. Dukungan PDIP kepada Anies Baswedan menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta tentu menjadi suatu sikap politik dari PDIP yang membingungkan Jokowi sebagai petugas partainya. Karena dalam benak Jokowi tidak mungkin PDIP akan mengambil Anies sebagai jagoannya.
Karena itu pencalonan Anies oleh PDIP sebagai sebuah bentuk perlawanan PDIP kepada Presiden Jokowi.Langkah ini bisa membuat bingung Jokowi untuk menentukan arah politiknya. Bisa jadi karena Anies telah diambil oleh PDIP, maka pencalonan Kaesang di DKI Jakarta akan gagal meskipun telah berhasil “mengelabui” MK.
Anies Butuh PDIP
Jika PDIP butuh Anies di Pilkada DKI Jakarta, maka demikian pula hanya dengan Anies sebagai kandidat yang bakal di usungnya. Seperti gayung bersambut, keinginan PDIP menggaet dirinya telah direspon dengan positif melalui pernyataannya.
Sebagai contoh Anies Baswedan ternyata telah menjawab pernyataan Puan Maharani. Ketika menanggapi kemungkinan di pinang oleh PDIP, Anies memberikan sinyal positifnya."PDIP juga menarik, jadi sambil kita lihat hari-hari ini, mudah-mudahan sampai pada kesimpulan," kata Anies, kepada wartawan, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (7/6/24).
Seperti simbiosis mutualisma, PDIP butuh Anies demikian pula sebaliknya. Anies membutuhkan kendaraan politik untuk menduduki kembali kursi DKI Jakarta mengingat Anies tidak punya partai sebagai sarana bagi dia untuk bisa berkuasa.
Dengan posisinya yang berada di kubu PDIP, akan terjaga marwah Anies yang menjadi simbol perubahan melawan penguasa. Karena PDIP sudah menunjukkan sinyal bakal beroposisi pada pemeritah yang nanti akan dibentuk oleh Prabowo dengan pasangannya Gibran Rakabuming Raka.
Dengan di usung oleh PDIP, akan muncul penilaian bahwa Anies tetap konsisten dengan track menuju ide perubahan yang digagasnya. Ide yang bukan sekedar main-main data empirik membuktikan, masyarakat bangsa ini antusias termasuk para tokoh ulama melalui ijtimak ulama, sebagai tanda ketertarikan terkait perubahan terhadap model kekuasaan rezim kontemporer, karena umumnya memang dirasakan amat membutuhkan perubahan di banyak sistim, utamanya keprihatinan pertumbuhan mentalitas bangsa.
Hal tersebut akan berbeda ketika Anies Baswedan, mau menerima pinangan kandidat yang di usung oleh kubu Prabowo -Jokowi, Kaesang misalnya. Karena Kaesang atau sosok lain dari partai yang nota bene merupakan kelompok yang sudah menyatakan anti ide perubahan dan nyata-nyata mendiskreditkan golongan muslim sebagai kelompok terbesar di tanah air dengan penyebutan diskriminatif politik identitas, intoleran dan sebutan sinis lainnya
Kalau Anies masuk ke kubu anti perubahan justru stigma negatif yang akan diterimanya seperti label sebagai pengkhianat, rendah adab, munafik dan sebagainya. Sehingga atas dasar itu demi menjaga krebilitasnya, Anies memerlukan partai partai yang dianggap “melawan” penguasa sebagai pengusung dirinya.
Dalam kaitan tersebut, Anies butuh PDIP selain partai ini identik dengan partai yang akan beroposisi dengan penguasa juga karena Anies sendiri membutuhkan panggung politik selama lima tahun ke depan untuk menjaga relevansinya menjelang Pilpres 2029. Tanpa panggung politik, Anies berisiko tenggelam dalam dinamika politik yang sangat cepat dinamikanya.
Pada hal dengan prestasi dan modal keberhasilan dalam memimpin DKI Jakarta (kalau nanti terpilih nanti menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode keduanya), akan memperkuat posisinya untuk kembali bertarung di Pilpres 2029.
Harus dipahami saat ini hanya ada dua posisi strategis yang bisa membuat Anies tetap menjadi pusat perhatian publik, yakni sebagai menteri di kabinet Prabowo atau kembali sebagai Gubernur Jakarta.Meskipun peluangnya masih terbuka, rasanya sulit bagi Anies masuk kabinet Prabowo sehingga pilihan politik paling realistis saat ini adalah menjadi gubernur Jakarta lagi karena mayoritas publik Jakarta masih merindukannya.
Dengan terpilihnya Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta maka ia bisa menjaga statusnya sebagao media darling selama lima tahun masa jabatannya. Jika berhasil membangun citra positif dan menunjukkan prestasi dalam melayani publik melalui kebijakan yang pro-rakyat, Anies akan lebih mudah maju lagi dalam Pilpres 2029 nantinya.
Bagaimanapun seorang politisi harus tetap berada dalam magnet politik dan tidak boleh lepas dari sorotan publik selama lima tahun mendatang untuk menjaga modal politiknya menuju 2029. Sehingga atas dasar kebutuhan itu maka kehadiran partai seperti PDIP yang berniat mengusungnya patut disambut dengan tangan terbuka.
Politik Tukang Obat
Fenomena Anies Baswedan yang akan diusung oleh PDIP pada hal keduanya mempunyai ideologi yang berbeda memang menarik perhatian kita. Hal ini bisa menunjukkan bahwa partai partai di Indonesia itu memang sudah meninggalkan ideologinya.
Semua partai yang ada sekarang hampir seragam dalam pola kecendrungan ideologinya. Pertimbangan yang sifatnya pragmatisme begitu menggejala sehingga ideologi dianggap sebagai pemanis dibibir saja.
Kenyataan ideologi pragmatis yang dialami hampir semua partai diperparah dengan berlakunya mekanisme pemilihan terbuka. Kecendrungan sosok yang diusung sangat berpengaruh terhadap elektabilitas partainya. Maka, merupakan sebuah konsekuensi logis kalau dalam setiap pemilihan terdapat tokoh-tokoh populer yang bukan kader partai ditarik untuk mendulang suara. Artis, seniman, atlit atau siapa pun yang dianggap memiliki popularitas bisa mendapat rekomendasi dari partai untuk maju sebagai calon DPR atau bahkan Presiden Republik Indonesia.
Pragmatis merupakan ideologi yang saat ini dianut elit politik kita. Hal ini senada dengan ungkapan Lopalombara dan Weiner yang mendefinisikan partai sekedar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan idiil kepada para anggotanya. Kedua ilmuan tersebut mengabaikan faktor ideologi sebagai motivasi dan pemersatu sebuah partai dalam menjalankan misi perjuangannya. Mungkin juga pendapat tersebut dipengaruhi oleh pandangan di barat pada waktu itu bahwa ideologi telah menemui ajalnya (Ramlan Surbakti:1992).
Pada hal tanpa ideologi, dalam berpolitik orang akan saling berebut, saling mencaci dan mencerca lebih menurut dasar “kita” atau “mereka” sebagai kerumunan belaka. Siapapun yang mendapat giliran, arah dan terutama perilakunya sama saja dengan mereka yang semula dijadikan lawannya. Tidak heran, meski banyak politisi yang kemarin kita dengar berkoar-koar dengan retorika “anti Orba” tapi kemudian justru mengulang Orba ketika berkuasa. Sebab, yang diinginkan memang adalah posisinya, bukan karena kesamaan ideologinya.
Makanya, ibarat keledai, kita cenderung berulang-ulang jatuh di lubang yang sama. Atau lebih buruk dari keledai, binatang yang dianggap begitu bodoh dan keras kepala. Sebab, dalam pepatah Suriah itu, bunyi asli kalimatnya adalah “Bahkan seekor keledai pun tak pernah jatuh di lubang yang sama !”.
Politik kita adalah politik tanpa ideologi, tanpa kompas moral sebagai panduannya. Pemilihan pemimpin atau wakil tingkat nasional pun jadi tidak lebih dari versi lebih besar dari pilihan lurah di kampung-kampung atau Desa.
Orang-orang berkerumun memilih partai “jagung” atau “singkong” tanpa tahu persis perbedaan mendasar arah yang hendak ditempuh para calon kelak jika terpilih nantinya. Mereka akan melakukan apa saja untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama, dengan cara bagaimana, demi memperjuangkan nilai apa dan bagaimana mekanismenya, tidak diketahuinya.
Karena tidak ada perbedaan fundamental itulah, maka enteng saja sekarang PDIP mengajak Anies Baswedan atau kubu penguasa yaitu Prabowo dan Jokowi berniat ikut mendekati Anies yang dianggap sangat besar peluang menangnya kalau dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebab, politik kita hari ini adalah soal meraih kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan ideologi yang menjadi landasan utamanya.
Makanya seperti para penjual kaki lima yang secara "sukarela tapi terpaksa " mau membayar "uang keamanan", begitu juga dengan PDIP yang terpaksa mau menggandeng Anies Baswedan karena ada kepentingan pragmatis disana. Celakanya, Anies dengan senang hati nampaknya juga senang menerimanya karena ada juga kepentingan dirinya disana. Karena orientasi keduanya memang mendapat kekuasaan, bukan berkuasa untuk memperjuangkan nilai tertentu atau visi tertentu yang berbeda dengan lawan politiknya.
Alhasil, di kalangan elit, ideologi hanya menjadi kembang-kembang, abang-abang lambe, pemerah bibir, sebagai retorika belaka. Seperti penjual obat di tengah pasar tradisional yang berjanji berapi-api akan segera mempertunjukkan “atraksi hebat" untuk membuat orang berkerumun dan membeli dagangannya, atau minimal menonton pertunjukannya.
Orang-orang yang mengira si penjual obat itu bicara sungguhan baru sadar kalau diri mereka tertipu setelah akhirnya tahu bahwa atraksi hebat itu tidak pernah terjadi meskipun telah ditunggu begitu lama. Celakanya, sebagian sudah terlanjur membeli, atau minimal kehilangan waktu dengan berkerumun dan menunggu-nunggu atraksi yang diharapkannya.
Sampai dengan pasar itu bubar, atraksi hebat yang di harapkan tidak pernah ada.Pada pasaran berikutnya, tukang obat itu akan muncul lagi, dengan janji yang sama atau sedikit berbeda, dengan pelaku dan penonton yang sama, atau sedikit berbeda, dengan kekecewaan yang sama atau sedikit berbeda.
Politik tanpa ideologi memang sangat rawan untuk disalahgunakan sebagai sarana untuk menipu para pemilih yang notabene menjadi pemilik kedaulatan yang sesungguhnya. Mereka bisa di iming imingi mimpi akan sebuah perbaikan hidup sejahtera sesuai dengan harapannya meskipun nyatanya hanya tipuan belaka. Karena politik tanpa ideologi akan membuat kekuasaan, bisa dimainkan mainkan oleh mereka yang telah mendapatkan mandat kekuasaan karena tiadanya kompas panduan ideologi yang menjadi dasar kebijakan yang diambilnya.
Dalam kondisi politik tanpa ideologi, publik hanya bisa berharap pada komitmen pemimpin yang terpilih untuk memperjuangkan kepentinga rakyat yang telah memilihnya. Semoga saja mereka nanti yang terpilih menjalankan amanah jabatan yang disandangnya dengan sebaik baiknya meskipun sejak awal rakyat sendiri masing bingung mau dibawa kemana mereka karena ketidakjelasn panduan ideologi pemimpin yang telah dipilihnya.
Komentar