Nawaitu Redaksi

Ancaman Krisis Ekonomi Sudah di Depan Mata, Pemerintah Bisa Buat Apa?

Sabtu, 22/06/2024 00:07 WIB
Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Jakarta, law-justice.co - Saat ini ditengah seluruh proses mempersiapkan hadirnya pemerintah baru pada akhir Oktober 2024, Indonesia  dibayangi oleh gejala resesi ekonomi. Ekonomi global akhir-akhir ini mengalami lonjakan harga pada sektor pangan dan energi yang cukup tinggi. Lonjakan tersebut yang membuat kekhawatiran negara-negara global akan terjadinya inflasi dan akhirnya berujung resesi.

Harus diakui akhir akhir ini banyak sekali berita dan media yang mengabarkan akan terjadinya resesi global dan Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam apabila terjadi  resesi. IMF mencatat, perlambatan ekonomi pasca pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di sepanjang tahun ini. Jepang dan Inggris, dua negara industri maju anggota G-7, sudah masuk zona resesi.

Tahun ini, IMF memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 1,6 persen, atau turun dari pertumbuhan ekonomi 2023 yang dua (2) persen, sedangkan ekonomi Tiongkok per 2024 diperkirakan tumbuh 4,5 persen,  atau turun dari pertumbuhan 2023 yang tercatat lima (5) persen.

Karena dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif, Jepang dan Inggris masuk zona resesi. Perekonomian Jepang dilaporkan mengalami kontraksi (penurunan) 0,4 persen pada kuartal IV 2023, setelah sebelumnya mengalami kontraksi 3,3 persen pada kuartal III 2023. Selain inflasi yang relatif tinggi, faktor lain yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian Jepang adalah terus melemahnya konsumsi dalam negeri.

Perekonomian Inggris juga dilaporkan alami kontraksi. Ekonomi Inggris mengalami kesulitan untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19, terutama karena naiknya harga energi. Sudah banyak laporan tentang meningkatnya jumlah warga miskin di Inggris akhir akhir ini.

Kondisi perekonomian global yang tidak sedang baik baik saja itu dikhawatirkan akan segera menular ke dalam negeri. Kekhawatiran itu sangat beralasan sekali kalau kita melihat gejala gejala yang sudah terjadi saat ini.

Lalu seperti apa gambaran  kondisi perekonomian kita saat ini ?.Mampukah APBN kita menjadi salah satu sarana untuk mengantisipasi krisis yang mungkin bakal terjadi ?. Sebagai solusi, mungkinkah  kita kembali saja kepada ekonomi berdikari yang sudah dicanangkan oleh Soekarno, Bapak Presiden pertama RI ?

Kondisi Ekonomi RI

Di pertengahan tahun 2024 ini , Perekonomian masyarakat Indonesia tengah dihantam permasalahan bertubi-tubi, mulai dari pemutusan hubungan kerja yang terjadi di banyak tempat, harga bahan pangan yang melonjak tinggi , hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus melemah nyaris tak terkendali.

Berbagai permasalahan tersebut berpotensi makin menekan daya beli masyarakat karena kantongnya makin tidak terisi. Sebab, pelemahan nilai tukar rupiah itu sendiri bisa membuat barang-barang di dalam negeri makin mahal, seperti barang yang diproduksi di dalam negeri namun bahan bakunya berasal dari impor dari luar negeri.

Secara umum gambaran perkonomian Indonesia yang sedang tidak baik saja dapat uraikan seperti data berikut ini :

Pertama, Dolar Naik, Rupiah Terkapar.Indeks dolar Amerika Serikat (AS) (DXY) cenderung mengalami kenaikan belakangan ini. Pada pertengahan Maret 2024, DXY berada di angka 103 dan pada 22 April 2024 menguat menjadi 106 atau naik sebesar 2,91%.

DXY yang melonjak ini memberikan tekanan bagi rupiah. Pada pertengahan Maret 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di angka Rp15.575/US$. Namun pada 19 April 2024 ambruk ke level Rp16.250/US$1. Pada 1 April 2024, DXY berada di level 106,1. Ini level tertinggi hingga pertengahan 2024.

Mata uang Garuda terus tertekan dan sudah ambruk hampir 2% sepanjang April lalu. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyampaikan, pelemahan rupiah sejak akhir Desember 2023 hingga saat ini mencapai 4,93%. Lebih baik dibandingkan dengan mata uang Filipina, Korea Selatan dan Thailand yang sudah di atas 5%.

Kedua, Pertumbuhan Kredit Menurun.Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pada Maret 2024 kredit perbankan tumbuh double digit, yakni sebesar 12,40% year on year (yoy), dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 11,28 persen yoy atau menjadi Rp7.245 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pertumbuhan kredit perbankan tertinggi pada sektor investasi, yaknio 14,83% yoy. Sedangkan, kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing tumbuh 12,30% dan 10,22%.Namun, sebelumnya pertumbuhan kredit mencapai 11,28% secara tahunan (yoy) per Februari 2024 menjadi Rp7.095 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan Januari yang tumbuh 11,83% yoy.

Berdasarkan jenis penggunaan, mayoritas pembiayaan untuk Rumah Tangga (RT) pada Februari 2024 mengalami kemunduran untuk Kredit Multi Guna (KMG) yakni dari 39,3% menjadi 37,7%.Jenis pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) juga lebih rendah menjadi 22,6%. Begitu pula dengan kredit peralatan RT yang menurun menjadi 12% dari sebelumnya yang berada di angka 12,9%.

Ketiga,Penjualan Mobil Menurun. Penjualan mobil tercatat mengalami penurunan pada tiga bulan pertama 2024. Berdasarkan data penjualan mobil PT Astra International Tbk, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) terkoreksi 23,8% year on year (YoY). Angkanya menjadi 215.069 unit pada periode Januari-Maret 2024, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 282.601 unit.

Kredit yang lebih selektif dalam proses leasing atau perusahaan pembiayaan menaruh perhatian bagi produsen mobil, salah satunya Toyota. Alhasil, ini dapat berdampak kepada penjualan yang menurun.

Ke empat, Suku Bunga Acuan Tinggi.Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.

Suku bunga yang tinggi ini berdampak kepada kredit yang berpotensi akan semakin mahal. Jika bunga kredit terus merangkak naik, maka masyarakat cenderung tidak mau untuk mengambil kredit baik secara perorangan maupun perusahaan untuk ekspansi bisnis. Alhasil, pertumbuhan ekonomi pun dapat terganggu.

Kelima, Harga Pangan Melonjak Tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) terjadi deflasi atau penurunan harga-harga pada bulan Mei 2024 sebesar 0,03% month to month (mtm) dengan inflasi tahunan sebesar 2,84% year on year (yoy). Sedangkan inflasi tahun kalender tercatat sebesar 1,16%.

Harga beras di dalam negeri terpantau terus melonjak hingga berulang kali pecah rekor. Harga beras premium sempat menembus level Rp16.500 per kg dan beras medium tembus Rp14.500 per kg. Harga beras memang terus mengalami kenaikan sejak Agustus 2022 lampau. Pada saat itu, harga rata-rata bulanan nasional untuk beras premium adalah Rp12.310 per kg dan harga beras medium di Rp10.700 per kg.

Ke enam, Porsi Pengeluaran Untuk Konsumsi terus Menurun. Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Mei 2024 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2024 menurun menjadi 125,2. Lebih rendah dari 127,7 pada April 2024. Kendati turun, IKK tetap berada dalam area optimis (>100) yaitu sebesar 125,2.

Porsi pengeluaran responden untuk konsumsi terus mengalami penurunan. Pembelian durable goods atau barang tahan lama turun dari 116,4 pada Maret, menjadi 112,7 para Mei 2024. Penurunan terjadi di semua kelompok pengeluaran. Responden dengan pengeluaran Rp3,1-4 juta mengalami penurunan terdalam, yakni menjadi 112 dari 122,1 pada bulan sebelumnya.Kemudian, pada Mei 2024, rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi mengalami penurunan, dibandingkan bulan sebelumnya, yakni 73,6% menjadi 73% pada Mei 2024.

Ke tujuh, Rasio NPF Naik. Rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance merangkak naik pada tahun ini. Hal ini diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2024 rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF naik 38 bps.Begitu pula dengan NPF net per April 2024 yang naik 20 bps menjadi 0,89% dan naik 25 bps dibandingkan dengan Desember 2023.

Hal itu kemudian diikuti dengan melambatnya pertumbuhan piutang di industri multifinance, utamanya sektor otomotif. Selain menurunnya daya beli, perusahaan pembiayaan juga tengah berhadapan dengan kondisi sulit mencari debitur berkualitas baik.

Ke delapan, Menurunnya kinerja Ekspor. Per Januari 2024, neraca perdagangan Indonesia memang masih surplus 2,01 miliar dolar AS, tetapi pertumbuhan ekspor cenderung melemah. Nilai surplus neraca perdagangan itu mencerminkan penurunan karena harga komoditas andalan ekspor Indonesia juga turun. Tercatat bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2024 turun 8,06 persen, menjadi 20,52 miliar dolar AS. Ada surplus karena nilai impor sekitar 18,51 miliar dolar AS atau naik 0,36 persen.

Ke Sembilan, Merebaknya PHK dimana-mana. Sudah pendapatan yang tak mampu menyaingi tekanan inflasi pangan, masyarakat Indonesia pun dihadapi oleh PHK yang makin menghilangkan pendapatannya, terutama di industri tekstil yang terdampak Permendag Nomor 8 Tahun 2024.

Sebagai contoh pengakuan Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Tengah, yakni Casytha Arriwi Kathmandu. Ia menyatakan telah terjadi PHK besar-besaran akibat perusahaannya tutup, khususnya di industri tekstil akibat kebijakan relaksasi impor melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang telah diterbitkan sejak 17 Mei 2024.

"Saya ingin beri informasi juga bahwa ada beberapa tekstil tutup di Jawa Tengah di Karanganyar estimasi 1.500 orang sudah kena PHK, di Semarang 8.000 orang di-PHK, terakhir di Pekalongan satu pabrik tekstil sudah 700 di-PHK," ucap Casytha."Ini saya mau tanya sebetulnya arahnya antara peraturan keluar dengan visi Indonesia Emas korelasinya di mana karena pasti tingkat pengangguran di Jawa Tengah naik," tegasnya seperti dikutip media.

Itulah beberapa kondisi yang menggambarkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini memang tidak sedang baik baik saja sehingga diperlukan upaya sigap untuk mencari jalan keluarnya. Karena kalau tidak tentu akan berbahaya bagi keberlanjutan ekonomi Indonesia ke depannya.

Berharap pada APBN

Ditengah ancaman krisis ekonomi global yang potensial menular ke Indonesia, kita berharap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bisa menjadi penopang untuk mengantisipasi supaya krisis itu bisa dikendalikan seperti ancaman krisis di tahun tahun sebelumnya.

Hal ini bisa dimungkinkan karena salah satu fungsi dari APBN adalah fungsi stabilisasi. Artinya Anggaran pemerintah menjadi alat dalam memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian negara. Selain itu APBN digunakan sebagai alat untuk mencegah terjadinya terjadi inflasi dan deflasi negara yang tinggi.

Dengan adanya APBN yang penggunaan anggarannya terkendali bisa dimanfaatkan untuk untuk meningkatkan kesempatan kerja, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, Sehingga pada akhirnya tujuan utama pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Itulah sebabnya, Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilakukan dengan hati hati.

Namun akhir akhir ini prinsip kehati hatian itu nampaknya sudah mulai terancam oleh adanya program program ambisius yang melebihi kemampuan APBN itu sendiri. Pada hal Penempatan program yang tidak sesuai dan berlebihan akan membuat APBN jebol yang bisa berujung negara mengalami krisis ekononomi seperti terjadi di Argentina.

Beberapa program di pemerintahan mendatang yang bisa berpotensi membuat APBN jebol adalah terkait dengan program program untuk menempati janji kampanye seperti program makan siang gratis, pelaksanaan pembangunan IKN yang dananya masih belum diketahui apakah akan cukup dan tak menyebabkan proyek itu mangkrak dan proyek proyek infrastruktur lain melalui skeman PSN (Proyek Strategis Nasional) yang didanai dari utang mancanegara.

Fenomena tersebut sebenarnya telah menjadi kekhawatiran dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Meski ada mekanisme APBNP yang diatur dalam UU, Sri Mulyani tetap menegaskan bahwa APBN harus dikelola kesehatannya dengan baik dan dijaga keberlangsungannya untuk pembangunan jangka panjang. Sebab, jika APBN tidak dikelola dengan baik dan dilaksanakan hanya untuk menjalankan suatu program tanpa memperhatikan kesinambungannya hanya akan menciptakan krisis bagi suatu negara."Jangan sampai mengakomodasi begitu banyak persoalan terus APBN nya juga dipaksa melakukan yang di luar kemampuannya sehingga APBN menjadi jebol sendiri," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mencontohkan salah satu bukti tidak terjaganya APBN dengan baik hingga menyebabkan suatu negara krisis terjadi pada Argentina. Pada abad ke 19, ia mengatakan, sebetulnya ekonomi Argentina sangat maju hingga menjadikannya negara kaya, namun karena APBN nya tidak dikelola dengan baik hingga menyebabkan defisitnya terus membengkak membuat negara itu kini malah terjebak ke dalam middle income trap.

"Mungkin bapak-bapak ibu sekalian bisa lihat seperti Argentina, itu dalam 100 tahun dia berapa kali mengalami krisis dan selalu sumbernya dari APBN yang tidak sustainable, sehingga Argentina kalau abad 19 awal termasuk negara kaya dan paling maju, sekarang mengalami setback. Ini yang akan terus kami berkomunikasi karena APBN ditetapkan dengan proses politik, kita juga harus melalui proses politik yang proper juga," tutur Sri Mulyani seperti dikutip media.

Ekonomi Berdikari

Nampaknya kondisi perekonomian Indonesia yang selalu terancam oleh kondisi perekonomian global akan selalu terjadi ditahun tahun mendatang. Apalagi ada pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang telah mewanti wanti bahwa Indonesia harus bersiap siap untuk  menghadapi gelombang resesi yang diperkirakan dapat berlanjut sampai tahun 2024 ini. Sehigga krisis  resesi ekonomi hampir selalu menjadi momok menakutkan bagi perekonomian negara ini.

Sungguh disayangkan jika Indonesia harus terus dihantui mimpi buruk terkait resesi ekonomi, padahal negara ini dianugerahi kekayaan alam yang melimpah serta memiliki asas gotong-royong sebagai kekuatan khas bangsa ini. Namun potensi tersebut justru menjadi lahan basah bagi pihak asing menerapkan politik imperialismenya di NKRI. Indonesia dengan segala jenis sumber dayanya ternyata masih belum mampu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

Di tengah perekonomian yang sedang menderita “sakit” ini, tepat kiranya kalau kita semua perlu mengacu kembali pada “ajaran-ajaran Bung Karno” dengan konsepnya Ekononi Berdikari, sehingga kiranya dapat memberikan inspirasi baru atau gagasan-gagasan yang “genuine” bagi para pemimpin sehingga kita dapat segera keluar dari “lingkaran persoalan” ekonomi.

Belajar dari kebijakan politik ekonomi nasional Orba dengan “trilogi permbangunan”nya justru diwarnai semaraknya praktik korupsi, kolusi dan manipulasi hingga melahirkan “bubble economy”, yang terbukti amat rentan terhadap berbagai gangguan (vulnerability). Keadaan ekonomi seperti inilah yang menjadikan perekonomian negara-negara Asia Tenggara “rontok” oleh krisis ekonomi keuangan 1997.Sehingga seyogyanya hal itu menjadi pelajaran berharga untuk kita bersama melakukan evaluasi.

Kiranya tidak ada salahnya kalau kita kembali menyelami pemikiran Soekarno presiden pertama RI. Beliau mengatakan bahwa seluruh ekonomi kita harus berada dalam lingkar gotong-royong yang dibangun atas kemampuan, modal, tenaga dan kepandaian kita sendiri.

Sebagai bangsa yang besar, kita harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jika kita pernah berjuang untuk meraih kemerdekaan atas penjajahan negara asing, sekarang adalah saatnya kita melakukan perjuangan yang sama demi mendapat kedaulatan dibidang ekonomi.

Kekayaan alam yang kita miliki hendaklah menjadi milik kita sendiri. Bukan dikelola asing, tenaga kerja asing, bahkan sampai dialihkan hak miliknya kepada mereka untuk dikuasai. Namun konsep ini bukan berarti anti modal asing, memboikot produk mereka ataupun menolak investasi. Berdikari yang dimaksud adalah sikap nasionalisme yang tinggi dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang dimiliki bangsa ini agar tidak bergantung pada pihak asing atas nama investasi.

Tujuan pembangunan Indonesia tidak hanya terbatas pada pesatnya pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga terfokus pada pemerataan ekonomi yang dapat dicapai dengan asas gotong-royong untuk kesejahteraan seluruh warga RI. Konsep ini memang dapat dijadikan antitesis dari era globalisasi ekonomi yang telah memberi dampak pada kesenjangan, pengangguran, kemiskinan bahkan kerusakan lingkungan yang sudah dirasakan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini

Kekayaan alam dan semua yang terkandung didalamnya harus kita kelola sebijak mungkin, sehingga tidak hanya menjadi penopang kehidupan ekonomi negara namun juga tersisa untuk anak cucu kita nanti.

Dengan gagasan berdiri di atas kaki sendiri terkait sektor ekonomi, Bung Karno merangkul seluruh entitas rakyat Indonesia untuk tampil percaya diri. Lebih percaya pada kekuatan bangsa sendiri dan teguh menjunjung tinggi jiwa nasionalisme sejati.

Untuk itu langkah revolusioner harus dimulai dari elite bangsa yang tengah diberikan mandate mengelola negeri ini. Keberpihakan pemerintah dapat diawali dengan langkah konkret dalam mereformasi hukum yang memihak kepada kepentingan rakyat jelata termasuk dibidang pengelolaan SDA yang kita miliki. Sehingga rakyat dapat leluasa merasakan keadilan dan kemerdekaan ekonomi yang selama ini dikuasai oleh segelintir orang /kelompok oligarki.

Jadi, apakah berdikari ekonomi yang pernah dicanangkan oleh Bung Karno itu akan mampu menjadi pahlawan yang memberi solusi terhadap ancaman resesi ekonomi ?. Untuk bisa membuktikannya perlu polititicall will yang kuat dari elite bangsa yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengurus negara ini. Yang diberikan kewenangan untuk menentukan arah perjalanan negara sehingga menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi.  

Sejauh ini semua memang hanya sekadar mimpi karena tidak ada petinggi negeri yang mau merealisasi. Apakah mungkin pemerintah baru yang terbentuk nanti bisa berputar haluan 180 derajart untuk menjalankan semangat ekonomi RI yang berdikari dibidang ekonomi ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar