Herlambang P. Wiratraman, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Potret Politik Hukum Pelumrahan

Rabu, 19/06/2024 22:05 WIB
Konflik Lahan Cinta Manis, antara PTPN VII dengan warga OKI, Palembang.

Konflik Lahan Cinta Manis, antara PTPN VII dengan warga OKI, Palembang.

Jakarta, law-justice.co - Minggu (9/6/2024) malam, Muhriyono, petani warga Desa Pakel, Banyuwangi, diseret dan dipaksa masuk kendaraan oleh belasan orang tak dikenal. Tidak ada penjelasan apa dan mengapa ia ditahan. Belakangan, setelah desakan banyak pihak, diketahui ia ditahan polisi dengan alasan melanggar Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atas dugaan kasus penganiayaan terhadap petugas keamanan PT Bumisari dan warga Pakel (Kompas, 11/6/2024).

Solidaritas warga kampung kembali bergerak. Soal ketidakadilan agraria, ketimpangan sosial ekonomi, pemiskinan akibat perampasan hak tanah, dan kekerasan adalah pemandangan keseharian nan berulang di negeri ini. Seakan, ’pedang dewi keadilan’ terus berayun menghantam nasib rakyat jelata. Ironisnya, tidak pernah ada evaluasi, pertanggungjawaban institusi, atau bahkan ganti rugi atas derita warga tersebut.

Penangkapan secara paksa Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan, dengan tuduhan dugaan pencurian dengan kekerasan yang terjadi di PT Sawit Mandiri Lestari (Kompas, 29/8/2020), begitu juga 43 warga Pulau Rempang yang ditahan dikaitkan dengan penolakan relokasi (Kompas, 15/9/2023), adalah sebagian kisah serupa. Kisah keberulangan kriminalisasi dan kekerasan aparat terhadap warga menjadi pelumrahan hukum hari-hari ini. Mengapa kian melekat nan lumrah dalam penegakan hukum?

Otokratisme hukum

Persoalan paling mendasar dalam penegakan hukum yang tak pernah selesai adalah impunitas. Impunitas, tak lagi bisa dibaca sebagai persoalan formal prosedur hukum yang sekadar menempatkan penegak hukum tak profesional, tak punya cukup kapasitas, atau nir etika. Melainkan, bekerjanya politik kekuasaan yang memang menguat menangguk keuntungan dalam struktur politik elite kekuasaan. Artinya, impunitas menjadi problem yang sistematik dan penuh kendali kekuasaan.

Belakangan, lapisan pengungkapan dan pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia kian bertambah ketebalan masalahnya akibat pemanipulasian hukum dalam kebijakan, aturan, dan penegakan hukumnya. Pemanipulasian ini bekerja dari proses yang tentu bukan asal atau serabutan, melainkan terorganisasi rapi dengan pemanfaatan strategi dan teknologi digital, utamanya serangan siber.

Formalisme hukum bisa termoderasi dengan penarasian dan bahkan kontra penarasian yang tentu menguntungkan, ke mana, untuk apa, dan siapa dari cara bekerjanya hukum. Ketentuan formal dan formalisme bukan dihindari, melainkan justru dimanfaatkan sebagai strategi berhukum model baru dengan menopang kepentingan politik kekuasaan tertentu. Di titik ini hukum mendapati situasi keseharian otokratisme, yang rapi, tertata, dan melegitimasi diri.

Ketika terjadi pergantian Hakim Konstitusi Aswanto ke Guntur Hamzah dianggap normal saja karena ’sesuai aturan dan mekanisme’. Begitu juga dikabulkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi karpet merah bagi Gibran menjadi cawapres, atau putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 soal perubahan batas minimal usia gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun untuk Kaesang, kini dianggap hal biasa, lumrah, dan wajar karena melalui proses formal ketatanegaraan.

Pelumrahan terjadi pula di ranah pembentukan hukum. Hal yang seharusnya ditentang karena bertentangan dengan demokrasi, pula lahir secara masif dari tangan parlemen dan eksekutif. Mengaktifkan kembali pasal-pasal defamasi secara eksesif melalui KUHP (2024), wewenang sensor jurnalisme investigatif di Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran, wewenang pengawasan dan penindakan dalam kendali media sosial di rencana revisi melalui RUU Polri, bukti sederet masalah demokrasi dan kebebasan sipil belakangan ini, dianggap biasa saja.

Padahal, betapa berbahayanya pelegalisasian pasal yang berpotensi abusif itu. Bahkan, narasi absurd dikemukakan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Ia menyatakan, ’TNI sudah menjadi multifungsi ABRI, bukan lagi dwifungsi ABRI seperti saat Orde Baru’ (Kompas, 7/6/2024). Pernyataan terkait respons kekhawatiran publik atas RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Bukahkah ini merefleksikan betapa pelumrahan hukum yang otokratis terjadi dari hulu hingga hilir. Sedari pembentukan hukum hingga penegakan hukumnya. Penyalahgunaan kekuasaan dari kesengajaan represifnya hingga pembiaran dan penyangkalannya. Dari Jakarta hingga lokal di kampung-kampung, seperti Pakel, Banyuwangi.

Instrumentasi pelumrahan

Hukum dan penegakan hukumnya yang cenderung memihak kepada yang kuat, punya kekuasaan atau pemodal besar, sudah menjadi pemikiran Karl Marx (1867) satu setengah abad lalu. Dalam karya Das Kapital disebutnya sebagai ’hukum borjuasi’. Baginya, kaum borjuasi, kelas penindas, ditetapkan sebagai pemimpin seluruh organisasi sosial dan politiknya sehingga pemaknaan hukum dan keadilan tidak lain adalah ’bentuk organisasi yang oleh kaum borjuis harus diadopsi baik untuk tujuan internal maupun eksternal kuasa’.

Kini, represivitas hukum memerlukan instrumentasi adaptif terhadap ide demokrasi. Institusionalisasi hukum yang berkarakter represif itu kini mendemokratisasi dirinya loyal pada mekanisme dan representasi formal ketatanegaraan. Itu sebab penarasian pelumrahan terbantu dengan soal formalisme demokrasi dan instrumentasi politik ketatanegaraan. Realitasnya adalah berangkat dari pemilu yang mengunci kemenangan politik kartel, pelembagaan otokratisme legislasi, kekuasaan kehakiman yang terdisiplinkan, serta kekuasaan yang dibagi secara transaksional.

Pelumrahan untuk mendapati tujuan kekuasaan, dilumasi dengan strategi penarasiaan di ruang publik, melalui tiga hal, yakni pengultusan, pendangkalan informasi, dan pemanipulasian. Pengultusan atau pemujaan pribadi terhadap elite penguasa justru rapi ditopang dengan daya dukung intelektual melalui simbolisasi dan pemaknaan yang, celakanya, menihilkan sains.

Rachman dalam The Age of the Strongman: How the Cult of the Leader Threatens Democracy Around the World (2022) mengingatkan betapa pemujaan terhadap elite penguasa yang mendaku membela rakyat tampil sebagai elite globalis melawan ’asing’, berpose sebagai perwujudan bangsanya meneguhkan nasionalisme, sekalipun konservatif nan paradoks, tidak hanya beroperasi dalam sistem politik otoriter, tetapi justru menguat di jantung demokrasi liberal.

Itu sebab, kendali kuasa pengetahuan, pendisiplinan terhadap ilmuwan, pembungkaman kebebasan sipil, serta pendangkalan sekaligus pemanipulasian narasi menjadi keseharian otoritarianisme model baru.

Model ini praktis tak mudah dikenali sehingga alih-alih dilawan, yang terjadi justru merayakan pesta pembodohan di ruang publiknya. Di titik ini, perlawanan hanya bisa dan mungkin dilakukan dengan strategi melipatgandakan pencerdasan di ruang publik, seraya mengorganisasikan dan membangkitkan kesadaran politik kewargaannya atas kebutuhan masa depan negara hukum demokratis

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar