Ampun! Dana Revolusi Mental Dipakai PNS Beli Motor Trail

Kamis, 13/06/2024 19:46 WIB
Gedung BAPPENAS di Jakarta (Foto: BUMN Track)

Gedung BAPPENAS di Jakarta (Foto: BUMN Track)

Jakarta, law-justice.co - Komisi XI DPR geram belanja pemerintah selama empat tahun terakhir realitasnya lebih banyak dinikmati oleh aparatur sipil negara atau ASN ketimbang masyarakat Indonesia.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pun mengakui, masih banyak belanja negara untuk masyarakat digunakan pemerintah untuk hal-hal yang tidak perlu seperti hanya untuk perbaikan Pagar Puskesmas hingga Motor Trail.

Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan Dolfie Othniel Frederic Palit salah satu yang vokal menyuarakan kritikan belanja pemerintah pusat tersebut. Ia mengatakan hal ini saat rapat kerja dengan Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa, dan meminta kementerian itu untuk memperkuat fungsinya dalam pengendalian dan perencanaan pembangunan.

"Dari rapat ke rapat dalam membahas anggaran Bappenas yang menjadi atensi kita itu selalu fungsi Bappenas dalam hal pengendalian dan perencanaan yang memungkinkan belanja negara kita itu semakin berkualitas," ucap Dolfie saat rapat kerja di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (13/6/2024).

"Bunyi-bunyi tentang spending better sudah sering banget, kita mencurigai ini bukan spending better yang terjadi, tapi better spending, lebih baik belanja bukan belanja berkualitas," tegasnya.

Dolfie lalu membuktikan besarnya belanja pemerintah pusat selama ini mayoritas dinikmati ASN, termasuk di dalamnya PNS. 

Salah satunya dengan data belanja pemerintah pusat pada 2024 yang telah disepakati DPR sebesar Rp 1.090 triliun Rp 530 triliun dinikmati oleh 4 jutaan ASN, sedangkan untuk rakyat memang lebih besar, yakni Rp 559 triliun, tapi dibanding total penduduk yang 270 juta tentu realita manfaatnya jauh lebih kecil dari yang dinikmati ASN.

"Birokrasi kita berapa sih paling banyak 4 juta, Rp 530 triliun dibagi empat berapa besar itu kalau mau kita bagi itu indeksnya secara nilai, sementara Rp 559 triliun kita bagi 270 juta rakyat Indonesia kecil sekali jatuhnya. Artinya birokrasi kita tidak efektif hasilkan output ke masyarakat," ungkap Dolfie.

Belum lagi berdasarkan prioritas kegiatannya. Ia mengatakan, belanja pemerintah pusat yang prioritas hanya sebesar Rp 467 triliun, sedangkan yang non prioritas mencapai Rp 623 triliun.

Merespons hal ini, Suharso mengakui memang dalam proses pelaksanaan belanja masih banyak kekurangan. Maka ia memastikan pemerintah ke depan akan memperkuat fungsi Bappenas dalam dalam pengendalian dan perencanaan pembangunan.

Ia mencontohkan salah satu bentuk belanja pemerintah yang masih bermasalah terkait dengan anggaran stunting. Selama ini, menurutnya anggaran stunting masih menggunakan prinsip multi tagging, artinya banyak digunakan kementerian lembaga melalui program-programnya masing-masing, tidak single tagging atas nama program stunting.

"Misalnya stunting, pada waktu itu saya lihat di Sistem Krisna, stunting lokasinya saya zoom terus-terus sampai akhirnya programnya apa, ternyata memperbaiki pagar puskesmas, itu terjadi," jelas Suharso dilansir dari CNBC Indonesia.

Demikian juga terkait dengan pelaksanaan anggaran untuk program revolusi mental, Menurutnya bahkan ada kejadian anggarannya digunakan hanya untuk motor trail. Permasalahan ini pun menurutnya telah diketahui Presiden Joko Widodo hingga akhirnya Jokowi geram dan kerap menyampaikan ke publik permasalahan dalam setiap kesempatan pidato.

"Ini yang luar biasa, judulnya mengenai revolusi mental, saya telusuri terus ujungnya adalah membeli motor trail. Saya bilang ada hubungannya memang ya? Motor trail untuk jalan-jalan, tapi kami enggak kuasa. Jadi kami itu seperti mengalami ketindihan intelektual, ketindihan teknokratik, jadi kami mengerti tapi nggak bisa bergerak," tutur Suharso.

Atas dasar permasalahan itu, ia pun memastikan ke depan pelaksanaan belanja negara ke depan akan diperbaiki dengan skema yang lebih kuat pemantauannya.

"Saya sampaikan kepada teman-teman di Bappenas kami tidak mau lagi ke depan multitaging, kami cuma mau single tag karena kalau di tagging ke mana-mana kejadiannya seperti ini. Itu kita ingin mencoba menghindar supaya yang Rp 3.000 triliun (belanja negara) yang banyak itu enggak lagi karu-karuan seperti ini," tegas Suharso.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar