Peneliti UGM: Bisnis Tambang NU Hambat Transisi Energi di Indonesia

Senin, 10/06/2024 13:12 WIB
PBNU (Republika)

PBNU (Republika)

Jakarta, law-justice.co - Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Rahma Wardhana menyatakan bahwa bisnis tambang Nahdlatul Ulama (NU) nantinya hanya akan menghambat transisi energi di Indonesia.

Sebagai informasi, Ahmad merupakan salah satu dari 68 warga NU atau Nahdliyin alumni UGM yang menolak pemberian izin tambang atau konsesi kepada ormas keagamaan.

Ahmad berpendapat, bisnis tambang NU akan membuat para pengusaha batubara urung menarik diri dari upaya bersama melanjutkan transisi energi yang dikampanyekan Pemerintah RI sendiri menjelang G-20 lalu.

"Jelang G-20 Indonesia itu sangat gencar mengampanyekan transisi energi sedemikian rupa, sehingga mendapat hibah internasional sekian ratus juta USD atau ratusan triliun untuk menutup beberapa pembangkit listrik batubara," kata Ahmad dalam konferensi pers secara daring, Minggu (9/6) malam.

Langkah pemerintah itu diikuti para pengusaha, di mana sebagian korporasi batubara mulai melakukan diversifikasi usahanya. Muncul pula kesadaran menutup pembangkit listrik tenaga batubara dari mereka.

"Tetapi ketika NU masuk, itu mereka akan ragu melanjutkan transisi. Kenapa, NU itu dikenal sebagai lembaga yang (punya) pengaruh sosial politik yang besar, NU punya image lembaga yang menentukan halal haram atau makruhnya sesuatu. Para pengusaha tambang batubara, dan pembangkit listrik batubara jadi ragu. Lha, wong NU saja masuk ke batubara, kenapa saya harus pergi," katanya.

"Ini mereka jadi ragu, NU bukan hanya menghalalkan, tapi menganjurkan, kenapa menganjurkan, karena langsung ikut. Sehingga kalau ini dilanjutkan oleh PBNU agenda transisi energi di Indonesia bisa batal, bisa batal," sambungnya tegas.

Padahal, lanjut dia, dampak negatif pertambangan batubara secara lingkungan tak lagi terbantahkan. Demikian pula pembangkit listrik tenaga batu bara yang efek buruknya tak kalah signifikan.

Pihaknya juga mengkhawatirkan saat dampak perubahan iklim kian terasa di masa mendatang, penutupan pembangkit listrik batubara ini malah makin sulit terwujud dan bahkan terus berjalan dengan mengatasnamakan kemaslahatan umat.

"Saya beli batubara dari tambangnya NU, kalau saya tutup pembangkit listrik saya, berarti saya nanti merusak kemahaslatan umat, karena berarti saya mengentikan usahanya NU. Ini lebih bahaya lagi ke depan," ungkap salah satu penulis buku Fikih Energi Terbarukan itu.

"Pada titik di mana kita harus benar-benar pergi dari batubara, tapi NU sudah tergantung pada bisnis batubara, pertanyaannya adalah apakah NU berani balik badan untuk pergi dari batubara? Atau sebaliknya, (berpikiran) karena ini adalah penghasilan kami, kami enggak mau pergi dari batubara, buat bahtsul masail menghalalkan penambangan batubara, naudzubillah min dzalik. Dan kalau itu terjadi berarti NU turut serta berkontribusi dalam bencana perubahan iklim yang menyeluruh," ucapnya.

Bersama puluhan warga NU alumni UGM, Ahmad menyatakan menolak konsesi tambang kepada ormas keagamaan dari pemerintah. Para nahdliyin ini berasal dari kalangan aktivis, akademisi, pengajar pesantren, peneliti, budayawan, hingga pengusaha.

Mereka menyinggung NU yang sejatinya telah mengeluarkan beberapa keputusan terkait tambang dan energi. Seperti pada Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015 yang menyerukan moratorium semua izin tambang.

Kemudian, Bahtsul Masail LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada 2017 dengan hasil dorongan bagi pemerintah untuk memprioritaskan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Lalu, Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 2021 juga telah merekomendasikan bahwa pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022 dan penghentian produksi mulai 2022 serta early retirement/phase-out PLTU batubara pada 2040 untuk mempercepat transisi ke energi yang berkeadilan, demokratis,bersih, dan murah.

Mereka berpendapat putusan, seruan, dan rekomendasi NU ini seharusnya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU sekarang dan ke depan dalam menjalankan roda organisasi.

Dalih bahwa menerima konsesi tambang adalah kebutuhan finansial untuk menghidupi roda organisasi harus dibuang jauh-jauh karena itu justru menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU.

Dari puluhan orang yang menyatakan menolak konsensi tambang untuk ormas keagamaan ini, sebagian diklaim tergabung dalam kepengurusan NU atau mantan pengurus di daerah, pusat, juga cabang istimewa di luar negeri.

Ahmad dalam hal ini menambahkan, sependek sepengetahuannya, para pengurus NU di daerah juga tidak pernah dimintai masukan sampai akhirnya PBNU melakukan konferensi pers dan menyatakan akan menerima konsesi itu.

"Tidak ada arahan lebih lanjut, sehingga kami semua terutama aktivis yang bergerak di bawah, grassroot, peneliti, ada juga teman di Kalimantan Timur yang jadi korban tambang batubara, itu kemudian bersuara, menyuarakan keprihatinan, prihatin kenapa PBNU tiba-tiba menerima begitu saja, bahkan sudah mengajukan izin," pungkasnya.

Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Tidak berselang lama, PBNU langsung tancap gas. Kementerian Investasi/BKPM mengatakan PBNU adalah ormas keagamaan pertama yang meminta izin tambang ke negara.

Bahlil menyebut NU juga sudah membuat badan usaha dan mengurus wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada Kementerian Investasi/BKPM. Dia berjanji akan segera menerbitkan izin tersebut pada pekan depan.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar