Iuran Tapera: Buntung di Pekerja, Untung di Negara

Saat ini pembangunan rumah subsidi BTN bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bersubsi di Puri Kahuripan 7 di Dayeuh, Kec. Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sedang berlangsung. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menargetkan penyaluran KPR FLPP dan Tapera sebesar Rp 27,337 triliun pada 2023. Adapun target tersebut diasumsikan dengan harga rumah sekitar Rp 150 juta per unit kepada 182.250 unit. Robinsar Nainggolan
Jakarta, law-justice.co - Iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai polemik. Kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah atau setara UMR merasa keberatan atas iuran yang diklaim pemerintah sebagai solusi penyediaan rumah. Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari kampus UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan pemenuhan kebutuhan rumah layak bagi rakyat seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Namun, melalui iuran yang dikelola Badan Pengelola (BP) Tapera, pemerintah justru lari dari tanggung jawabnya. Kebutuhan papan bagi rakyat semestinya masuk dalam mekanisme perlindungan sosial yang harus dipenuhi oleh negara, terlebih sudah ada regulasi yang melatarbelakanginya.
“Tapera dalam konteks public policy harus dimasukkan dalam komponen perlindungan sosial. Indonesia sudah punya aturan hukum sola perlindungan sosial. Maka pemerintah harus mememuhi kebutuhan papan atau rumah bagi rakyat. Saya tidak melihat adanya konsistensi niat kelembagaan BP Tapera yang dibentuk,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis (6/6/2024).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang menjadi turunan dari UU Tapera, upah para pekerja diwajibkan untuk dipotong sebesar 3 persen, dengan pembagian 2,5 persen dibayar pekerja, dan sisanya ditanggung perusahaan. Bagi Achmad, iuran ini terkesan sebagai tabungan paksa yang menjerat pekerja. “Tabungan harusnya bersifat tidak wajib. Mengambil iuran dari gaji pekerja, saat ini menjadi sangat tidak adil. Bayangkan saja sudah dikenakan iuran BPJS dan PPH. Jadi, masyarakat dengan penghasilan UMR ini boro-boro untuk menabung, karena untuk penuhi kebutuhan sehari saja cukup sulit dan sekarang dipaksa menabung. Ini akan melemahkan daya beli mereka dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Menurutnya, kalau masalah kebutuhan papan menjadi tanggung jawab negara, maka negara berkewajiban memperluas fasilitas fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, niatan PP 21/2024 sebenarnya bakal memperkecil jumlah FLBB dari APBN dan mengalihkan beban itu kepada rakyat. “Ini sama saja kewajiban penyediaan papan dari negara melalui APBN, kok sekarang masyarakat yang tanggung. Terus, di mana tanggung jawab negara?” tutur dia.
Dalam pandangannya, iuran Tapera yang terakumulasi bakal menimbulkan suatu sumber daya uang yang besar. Jumlanya bisa mencapai 140-150 triliun per tahun. Jumlah iuran sebanyak itu semestinya menjadi modal penggerak roda pertumbuhan ekonomi, bukan sebaliknya. “Kalau (iuran Tapera) ini diwajibkan yang diambil dari potongan upah pekerja, maka yang terjadi pekerja jadi menghemat dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. Sementara, imbas hasilnya (dari iuran Tapera) kan belum jelas berapa hitungannya,” ucap Achmad.
Kata Achmad, skema iuran Tapera yang mematok 3 persen untuk seluruh pekerja ini buntung bagi pekerja, tapi untung bagi pejabat. Dia merujuk pada skema imbal hasil yang tidak berbanding lurus dengan banyaknya dana yang dikelola atau diinvestasikan. “Gaji komitenya (Tapera) bisa sampai 43,5 juta. Itu kan dibiayai dari imbal hasil yang sebenarnya jatah masyarakat. Imbal hasil berkurang karena diambil sebagian untuk operasional BP tapera, termasuk gaji pimpinannya,” katanya.
Bicara soal pengelolaan dana oleh BP Tapera, Achmad mewanti-wanti efektifitas mekanisme investasi yang selama ini diklaim mendulang untung bagi masyarakat. Melalui mekanisme investasi di Surat Berharga Negara atau SBN hingga SUN atau Surat Utang Negara, sejatinya bukan masyarakat yang diuntungkan. Dengan skema investasi semacam ini, siklus perputaran uang menjadi dari rakyat untuk negara. Bukan dari rakyat untuk rakyat.
“Dimana setelah dihimpun dari masyarakat, muncul peraturan bahwa dana yang ada harus dipakai sekian persen untuk membiayai SUN jangka panjang, untuk membiayai APBN. Untuk membiayai APBN ini kan imbal hasilnya rendah. SUN ini imbal hasilnya rendah kendati surat berharga yang risiko investasinya aman. 6,5 persen untuk tenor 10 tahun,” tutur Achmad.
Menurutnya, pemerintah bersiasat menambal APBN yang sedang boncos dengan memeras uang rakyat. Sementara itu, penggunaan APBN tidak jelas arahnya bagi kepentingan publik. “Kalau begini masyarakat yang gotong royong bantu pemerintah, sementara pemerintahnya ugal-ugalan. Coba dilihat program makan siang gratis, proyek IKN sampai utang yang tidak penting. Apakah ini bentuk keadilan?” kata Achmad.
Dari catatannya, imbal hasil dari investasi Tapera ini tak akan besar bagi rakyat lantaran melalui instrumen investasi SBN atau SUN. Dalam laporan keuangan BP Tapera, disebut bahwa penempatan dana investasi dari iuran Tapera di SBN sebesar 45 persen. Lain itu, ada 47 persen surat utang korporasi, yang mana BP Tapera membeli surat utang BUMN. Dan sisanya diputar dalam investasi giro dan deposito. “Jadi, katanya niatnya ingin beri imbal hasil, tapi ini sebenarnya niatnya untuk membiayai korporat yang bermasalah, membiayai APBN yang ugal-ugalan pengelolaannya. Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) sempat bilang bahwa enggak ada hubungannya antara Tapera dan APBN, itu bohong besar. Ya karena perputaran dana masuk ke SBN dan dari SBN itu bisa kemana-mana. Bisa buat program makan siang, IKN dan program pemerintah lainnya yang pakai APBN,” ucapnya.
Achmad menitikberatkan isu ketidakpercayaan publik terhadap negara memang sedang berlangsung, terlebih ihwal pengelolaan dana yang kebanyakan tidak transparan dan akuntabel lantaran dikorupsi. Ketidakpercayaan terhadap negara ini yang melatarbelakangi polemik iuran Tapera. “Banyak badan pengelolaan dana publik yang tidak amanah, banyak konflik kepentingan dan berujung korupsi. Dan publik merasa belum ada solusi yang menjamin penyimpangan tidak akan terjadi di masa depan,” ujarnya.
Kata dia, pemerintah seharusnya fokus mengelola dana sekira Rp8 triliun yang terhimpun di BP Tapera. Sebab, menurutnya, realisasi hasil investasi selama ini amat kecil. “Dibuktikan apakah akan aman dan memberikan imbal hasil yang sesuai. Berdasarkan laporan keuangan 2022 BP tapera, Tapera ini imbal hasilnya itu hanya 2,26 persen. Sementara, standar di SUN saja 6,5 persen sehingga seharusnya imbal hasilnya harus di atas 6,5 persen. Dari track record Tapera, imbal hasilnya kecil. Jadi kalau kinerjanya tidak baik, buat aoa kita berikan iuran,” ucapnya.
Kinerja BP Tapera bisa diukur dari backlog atau kesenjangan antara jumlah ketersediaan rumah yang digarap pemerintah dengan jumlah masyarakat yang membutuhkan rumah. Dalam catatan teranyar, jumlah kesenjangan mencapai 9,9 juta. Namun, Achmad bilang jumlah kesenjangan itu lebih banyak, jika merujuk total populasi semisal Generasi Z dan Milenial yang belum memiliki rumah.
“Sebenarnya data backlog yang diklaim turun tiap tahun dikarenakan ada sejumlah masyarakat yang mendapat rumah dinas, bukan permanen. Itu hanya utak-atik statistik dan bisa terbukti dengan pengendapan dana yang masih banyak di Tapera,” kata dia.
“Jadi, belum banyak yang dilakukan tapera. Dengan kata lain, saya ingin katakan bahwa meski Tapera itu ada, tapi jumlah dana yang disalurkan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu masih amat minim,” ia menambahkan.
Dia menambahkan, PR besar pemerintah saat ini dalam penyediaan rumah bukan perbarui aturan dengan iuran tapera, tapi yang lebih terpenting memperbaiki skema atau regulasi kredit rumah. Sebab, kebanyakan masyarakat mencicil rumah, alih-alih membeli tunai. “Harus diperbaiki suku bunga KPR, dipermudah DP KPR agar bisa memiliki kredit perumahan,” tukasnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan PP Nomor 21 Tahun 2024 yang menjadi turunan dari UU Tapera—yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan praktik penyelundupan hukum. Sebab, beleid hukum lebih banyak konflik kepentingan, dibanding manfaat bagi rakyat. "Sebenarnya, ini adalah cara pemerintah yang seolah-olah dibikin legal, tapi justru ini namanya penyelundupan karena pemerintah sedang membutuhkan dana yang amat besar,” kata Isnur kepada Law-justice, Kamis.
Pemerintah, katanya, sedang ketar-ketir karena arus kas neraca negara sedang jeblok akibat pembangunan yang salah, semisal Ibu Kota Nusantara (IKN). Belum lagi karena ada korupsi, misal di banyak kementerian dan BUMN. “Itu menandakan pengelolaan keuangan negara sedang hancur. Dana yang ada dibangun untuk pembangunan ambisius seperti IKN, jalan-jalan tol, hingga bandara. Celakanya kebanyakan dari pinjaman. Maka APBN habis untuk bayar utang. Dan ada juga subsidi-subsidi yang tidak tepat sasarannya.
Contoh lain, kata dia, penyelundupan hukum di pemerintahan Jokowi adalah revisi UU Minerba. Dalam hal ini, pengusaha tambang batu bara diberi keringanan pajak sampai 0 persen. Juga diganjar HGU hingga ratusan tahun. “Pemerintah memberi karpet merah bagi pengusaha dan oligarki, tapi tidak punya uang. Akhirnya memeras rakyat (melalui iuran Tapera),” ucap Isnur.
Kata Isnur, dana Tapera ini bisa saja diputar untuk pembangunan yang sebenarnya salah arah. Melalui instrumen SUN, nantinya pasti akan menambal APBN yang kurang karena harus bayar utang akibat salah pembangunan. “Ada kesalahan paradigma dari pemerintah, dimana seharusnya penyediaan rumah untuk rakyat menurut UUD 1945, pemerintah wajib menyediakan. Tapi pemerintah tidak punya agenda bangun rumah. Karena hampir semuanya diserahkan oleh real estate atau developer swasta. Jadi, semakin terlihat pengelolaan negara dengan cara yang busuk,” ucapnya.
Pengalihan dana Tapera untuk pembangunan juga nantinya berpotensi mengancam hak rakyat yang sudah memiliki hunian. Dia mencontohkan kasus penggusuran di Rempang dan di IKN. Negara menggusur warga atas nama pembangunan ekonomi. “Jadi iuran Tapera ini tabungan paksa untuk menggusur orang yang sudah punya rumah nantinya,” ucap dia.
Dalam hukum perburuhan, Isnur menitikberatkan iuran Tapera melanggar hak buruh. Pemerintah mencatut iuran dari upah yang tidak sebearapa. “Buruh sudah sangat tercekik akibat UMP yang kecil. Sudahlah sulit memenuhi kebutuhan primer, sekarang diperas lagi 3 persen. Ini kebijakan yang sangat tega. Pemerintah melakukan pelanggaran yang sangat serius terhadap buruh.
“Selain itu, pemerintah melalui iuran Tapera ini justru berpotensi menimbulkan konflik sosial antara pengusaha dan buruh semakin besar. Dampak besarnya, akan menghancurkan investasi, menghancurkan iklim usaha yang sehat dan akhirnya perusahaan akan dirugikan sehingga banyak pengangguran,” imbuhnya.
Bicara soal hukum, pemerintah juga melanggar prosedur hukum saat menerbitkan PP yang menjadi turunan UU Tapera. Yang dilanggar adalah prosedur. Pemerintah membuat peraturan pemerintah tidak pernah bertanya, tidak pernah melibatkan masyarakat. Pemerintah menihilkan meaningful participation. Harusnya kebijakan itu diuji, apakah akan diterima publik, berdaya guna dan bermanfaat. Tapi kan ini enggak, langsung saja terbit aturan. Ini menjadi tanda praktik penyelenggaraan negara yang ugal-ugalan,” ujar Isnur.
Penyulundupan hukum dalam payung hukum Tapera ini, menurut Isnur, memang sengaja dilakukan secara diam-diam demi kepentingan segelintir orang. Sebagaimana penyelundupan hukum di regulasi lain, cara ini menjadi ciri khas pemerintahan Jokowi sejak lama. “Jadi Jokowi ini bukan pemerintah dalam hal ini (kebijakan iuran Tapera), tetapi kepada para pedagang yang menguntungkan pedagang, yang menguntungkan para pemburu rente. Jokowi sebagai katalisator bagi cukong dan oligarki,” tuturnya.
Komentar