Analisis Hukum RUU Polri; Upaya Menuju Pembentukan "NKRI"

Sabtu, 08/06/2024 00:01 WIB
Logo Polri (Polri.go.id)

Logo Polri (Polri.go.id)

Jakarta, law-justice.co - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat ini menjadi salah satu lembaga hukum yang memiliki status istimewa usai pisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. Bagaimana tidak, pasca-reformasi, Polri langsung diambil alih pengawasannya oleh Presiden RI.

Sehingga presiden menjadi atasan atau komandan dari institusi berseragam cokelat ini. Berbeda dengan kakak tertuanya yakni TNI yang masih berada di bawah tanggung jawab atau pengawasan dari menteri pertahanan (menhan), Polri menjadi institusi yang langsung dibawah Presiden sebagai pengendali.

Kini , di tengah transisi estafet kekuasaan pemerintahan Jokowi ke Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR secara tiba-tiba menginisiasi RUU Polri.  Munculnya RUU Polri secara tiba tiba ini sepertinya akan menjadi ‘hadiah baru’ bagi Polri karena substansi RUU ini sarat dengan penambahan kewenangan yang selama ini telah dimiliki Polri.

Munculnya RUU Polri ditandai dengan adanya Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Mei 2024 yang secara resmi menjadikan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) sebagai usul inisiatif DPR, untuk segera dibahas pada masa sidang DPR  kali ini.

Namun, keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini. RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memposisikannya diri sebagai lembaga yang kian “superbody”.

Munculnya RUU Polri dimasa pemerintahan transisi ini memunculkan kecurigaan akan akan adanya misi untuk menjadikan Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI). Apa yang dimaksud dengan Police State atau Negara Polisi ?, Apa pula yang menjadi indikator suatu negara dikatakan telah menjelma menjadi Negara Polisi ?. Apakah munculnya RUU Polisi saat ini  memang sudah mengarah kepada upaya untuk mewujudkan “NKRI” ?

Negara Polisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Negara polisi atau polizeistaat adalah sebuah istilah yang menandakan bahwa pemerintah memegang kekuasaan arbitrasi melalui kekuatan pasukan polisi sebagai pengendalinya. Para penduduk dari sebuah negara polisi mengalami pembatasan pada mobilitas mereka, atau pada kebebasan mereka untuk berekspresi atau berkomunikasi tentang pandangan politik atau yang  lainnya.

Menurut Merriam-Webster Dictionary, negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik.

Negara polisi (polizei staat) awalnya merupakan suatu kondisi negara dimana kedudukan penguasa diatas warga negaranya. Hubungan antara penguasa dan warga negaranya bisa dianggap hubungan yang sepihak, karena penguasalah yang menentukan segalanya.

Walaupun penguasa bertugas untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat, tetapi rakyat tidak boleh ikut campur didalamnya. Oleh karena rakyat tidak mempunyai hak terhadap penguasanya, dan segala sesuatunya ditentukan oleh sang penguasa.

Rakyat tidak diikutsertakan dalam urusan menentukan hubungan kedua belah pihak yaitu sang penguasa dan rakyatnya. Dari segi lain, karena semuanya ditetapakan oleh penguasa (walaupun dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum), tentu saja rakyat tidak dapat menuntut kepada penguasa apabila dalam pelaksanaan pemerintahan penguasa melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum ataupun penyalahgunaan kekuasaannya.

Pada tipe negara polisi ini, kalaupun mungkin ada hukum administrasinya, maka hukum admistrasi negara hanya berbentuk intruksi-intruksi (insrtuktiefsrecht) yang harus diindahkan oleh aparat negara dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus merupakan aturan yang mengatur tentang cara bagaimana alat perlengkapan negara melaksanakan fungsinya.

Sejak zaman feodal dan kolonial dimana sebelum meletusnya Revolusi Perancis, kepolisian memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan penguasa daripada rakyatnya. Pada era Norman Feodalism di Inggris misalnya terdapat campur tangan penguasa pada penyelenggaraan fungsi kepolisian disana. Istilah constable yang lahir pada saat itu bukan merupakan perwakilan kelompok-kelompok masyarakat melainkan orang-orangnya raja.

Penggunaan kepolisian bagi kepentingan penguasa ternyata juga diadopsi oleh negara-negara jajahan seperti Indonesia pada zaman Hindia Belanda.  Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda (2011) memberi pengertian negara polisi sebagai, “negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan (bangkitnya nasionalisme atau kebangsaan di kalangan masyarakat) menjadi sekadar masalah kepolisian belaka” (hlm. 317-318).

Praktik yang paling banal dari pengertian itu adalah pembatasan terhadap kebebasan dan aktivitas politik warga dan pengawasan ketat terhadap gerak individu disuatu wilayah negara. Bahkan pengawasan macam ini dilakukan secara kebablasan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Polisi kolonial tak hanya menyasar eksponen politik, tapi juga setiap individu yang dianggap punya potensi ancaman terhadap pemerintah Belanda. Fenomena ini misalnya seperti yang diceritakan oleh  sejarawan Ong Hok Ham tentang akademikus kolonial asal Perancis bernama G.H. Bousquet dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003).

Cendekiawan ini dikisahkan sedang mengunjungi Hindia Belanda pada 1930. Sebagai pengamat, Bousquet sebelumnya punya kekaguman dan citra positif tentang Hindia Belanda. Namun begitu sampai di sana seluruh kekagumannya sirna seketika, mengapa ?.

Karena ke mana-mana ia diawasi dan ceramah-ceramahnya diancam undang-undang subversi/ dianggap melawan negara. Padahal ia adalah seorang konservatif yang cenderung setuju dengan kolonialisme dan ceramahnya pun tak berkaitan langsung dengan Hindia Belanda. Dalam penilaiannya, aparat Hindia Belanda terlalu banal dalam membelokkan hukum untuk mengamankan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.

Menurut Ong Hok Ham, kebijakan polisionil diterapkan karena memang cocok untuk Belanda. Dimana Belanda sebagai negara kecil harus pintar-pintar mengatur daerah jajahannya dengan meminimalisasi penggunaan senjata.

Eksekusi dan hukuman mati sebisa mungkin dihindari karena Belanda tak menginginkan adanya martir yang bisa membangkitkan perlawanan rakyat di daerah jajahannya. “Oleh karena itu, politik Hindia-Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak mereka,” tulis Ong Hok Ham (hlm. 173)

Indikasi  Negara Polisi

Pada zaman Hindia Belanda,  wilayah Nusantara  dijuluki sebagai Negara Polisi bukan hanya karena pengawasan ketat pemerintah penjajah Belanda pada warga Indonesia tetapi juga faktor faktor lainnya. Bloembergen menyebut setidaknya ada tiga lagi alasan kuat yang mencirikannya.

Pertama, memukul rata semua persoalan politik sebagai gangguan ketertiban dan keamanan daerah jajahannya. Kedua, adanya lembaga kepolisian yang diberi wewenang turut campur dalam politik warga. Ketiga, kepolisian menjadi alat negara yang langsung dikendalikan pemerintahan pusat di Jakarta (hlm. 319).

Apakah kondisi Indonesia saat ini sudah mengarah pada police state atau negara polisi yang menggunakan polisi sebagai alat untuk memelihara kekuasaan, mengawasi dan menjaga kehidupan warganya, hal ini sesungguhnya bisa dinilai dari praktek yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kita.

Beberapa indikasi yang mengarah pada perwujudan negara polisi diantaranya dapat digambarkan dalam rangkaian peristiwa, diantaranya  :

Pertama, Keberpihakan Polisi Kepada Penguasa. Dalam negara polisi sikap aparat akan cenderung membela kepentingan penguasa daripada mengabdi kepada rakyatnya sehingga sering muncul istilah abdi penguasa bukan abdi negara apalagi abdi pada rakyatnya. Polisi yang seharusnya menjadi abdi rakyat telah menjelma menjadi abdi penguasa dan juga pengusaha.

Sebagai contoh kita bisa menyaksikan sendiri  bagaimana ‘behaviour’ (perilaku) kepolisian di masa pemerintahan yang sekarang berkuasa ketika digelar pemilu atau pemilukada. Akan terlihat bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilu/pemilukada. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye dan penghitungan suara.

Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, cenderung telah berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka.

Kiranya sudah cukup banyak fakta terhidang terkait dengan kiprah kepolisian yang mengindikasikan lembaga ini cenderung menjadi abdi penguasa daripada mengabdi kepada kepentingan rakyatnya. Pada hal sesungguhnya mereka bekerja dengan gaji yang dibayar oleh rakyat melalui pajak pajak yang dipungut oleh negara.

Kedua, Rangkap Jabatan Diuar Institusinya. Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota Polri aktif di berbagai lembaga. Fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota Polri aktif ini problematik karena tiga alasan: hukum, etik, dan profesionalisme. Dari aspek hukum, fenomena ini bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rangkap jabatan Polri aktif juga bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengatur bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha.

Berdasarkan dua UU tersebut, seharusnya anggota Polri aktif tidak menjabat di kementerian/lembaga negara maupun di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Namun nyatanya tak sedikit perwira polisi  yang menduduki jabatan publik termasuk menjadi Pjs Gubernur, Bupati atau Walikota.

Dari aspek etik, fenomena anggota Polri yang rangkap jabatan menduduki  posisi sipil ini bisa menyebabkan pelanggaran etis khususnya “korupsi lunak” karena meniadakan kesempatan bagi orang sipil yang telah memenuhi syarat untuk menduduki posisinya.

Terakhir, dari aspek profesionalisme, fenomena rangkap jabatan dapat menyebabkan menurunnya kinerja anggota Polri aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Karena  pemegang rangkap jabatan tidak akan selalu dapat melayani dua tuan sekaligus dibawah tanggungjawabnya.

Ketiga, Sikap Polisi pada Kelompok Oposisi.Pihak oposisi adalah kelompok kelompok masyarakat yang berseberangan pendapat dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka itu biasanya bersuara kritis untuk menyikapi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Sikap kritis ini dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 sehingga harus dihormati hak haknya.

Namun sikap kritis tersebut seringkali berakhir di penjara bagi pelakunya. Menurut Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta Abdul Fickar Hajar mengatakan Pemerintah sangat paranoid dengan setiap kritik yang dilancarkan oleh masyarakatnya.

Polisi nampak begitu sigap menangkapi mereka yang dinilai “melawan” pemerintah yang sedang berkuasa. Nasib naas pernah dialami oleh aktifis 212 yang disangka makar terhadap pemerintah yang sah dimana mereka diantaranya adaKivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin, Rachmawati, Sri Bintang Pamungkas dan yang lainnya. Mereka dijerat pidana makar usai menggelar aksi di depan Istana Merdeka pada 2 Desember 2016 atau yang dikenal dengan  Aksi 212.

Selain nama nama yang disebutkan diatas, ada juga Muhammad Al Khaththath, Zainudin Arsyad, Irwansyah, Andre Zainudin dan Dikho Nugraha. Mereka semua ditangkap pada 31 Maret 2017 sebelum Aksi Bela Islam di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan tuduhan melakukan upaya makar kepada penguasa.

Beberapa ustadz dan tokoh agama sebelumnya juga sudah banyak yang ditangkapi karena sikap kritisnya terhadap pemerintah yang sekarang berkuasa sebutlah diantaranya seperti Habib Riziek Shihab yang dipenjara dengan tuduhan melanggar Protokol Kesehatan saat pandemi virus corona. Sebuah peristiwa unik karena hanya terjadi di Indonesia dimana pelanggar Prokes sampai dipenjara bertahun tahun lamanya.

Keempat,Lewat Polisi, Negara mengawasi rakyatnya. Di sebuah negara polisi maka negara akan getol mengawasi gerak gerik rakyatnya melalui polisi atau aparatnya. Upaya pengawasan tersebut bisa menggunakan  Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengandung pasal karet didalamnya karena bisa digunakan sesuai dengan selera penafsirnya.

Saat ini sebagian anak anak bangsa mungkin merasa diawasi kebebasan berpendapatnya melalui seperangkat alat alat negara seperti UU ITE (yang mengandung pasal karet), polisi virtual sampai dengan pemberian lencana penghargaan kepada warga negara yang berjasa. Adanya seperangkat “alat pengawas” yang berfungsi sebagai bangunan panopticon tersebut akhirnya membuat warga negara berpilkir berulangkali untuk menggunakan hak hak menyatakan pendapatnya.

Aparat negara yang menangani penegakan hukum yang berfungsi sebagai Panopticon itu tidak bekerja secara adil untuk semua warga. Sehingga hal ini semakin membuat rakyat kebanyak menjadi ciut nyalinya.

Kelima, Polisi sebagai Institusi yang banyak melanggar Hak Azasi Manusia.   Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri ini juga ditunjukkan oleh dokumentasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta.

Selama periode Januari-Mei 2024, ada setidaknya 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tiga puluh lima orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai.

Menukil catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di tahun 2023, kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753.1 

Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022,2 Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus. Tahun 2021, Pori juga terdata menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM, yakni 661 aduan.

Demikianlah beberapa kejadian atau rangkaian peristiwa yang menggambarkan hubungan antara negara, polisi dan rakyatnya. Dalam banyak kasus riak riak adanya Negara Polisi di Indonesia memang bisa di potret dari rangkaian kejadian tersebut meskipun seringkali fluktuatif tergantung pada perkembangan politik yang ada.

Terkadang polisi juga bisa tampil begitu humanis sesuai harapan rakyat pada umumnya. Tetapi dalam situasi tertentu ia juga bisa berubah menjadi sangat bengis karena membela kepentingan penguasa yang di dukungnya.

Analisis Hukum RUU Polisi Menuju “NKRI” ?

Setelah lebih dari 26 tahun reformasi bergulir, institusi negara seperti Polri  ternyata masih juga menjadi ajang “rebutan kuasa”.  Kalau dulu pada zaman Orde baru (Orba) berkuasa eksistensi daripada  tentara begitu digdaya, kini telah muncul kekuatan baru yang bernama Kepolisian Republik Indonesia. Secara yuridis formal, jalan  demokrasi yang kita tempuh memang telah memberikan mandat penuh bagi mereka sebagai penegak hukum dan keamanan negara.

Tetapi dalam perjalanannya, mandat tersebut tidak selalu dijalankan sebagaimana mestinya. Selalu ada saja penyimpangan penyimpangan sehingga membuat tujuan yang ingin dicapai tidak bisa diwujudkan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh  para pimpinan Polri, yang sering mengusung tagline “democratic policing” atau perpolisian demokratis, dinilai sering kali gagal menunjukkan komitmennya.

Adanya ruler appointed police alias jenis polisi pemerintah seperti Polri , seolah ditakdirkan untuk sulit berjarak dengan kekuasaan yang ada. Ini juga kultur warisan yang mereka dapat, terutama selama 32 tahun berada dalam payung lembaga yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Juga ada gelagat masih mewarisi semangat polisi pada era pemerintah kolonial Belanda.

Rupanya takdir Polisi yang selalu “lengket” dengan penguasa ini hendak dilestarikan atau mungkin  dikuatkan melalui RUU Polri yang baru . Keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU Polri.

RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannya kian “superbody”. Di samping itu, RUU Polri secara substansi tidak memiliki agenda memperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.

Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya.

Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik  yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi.

Selain itu, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri bukannya membenahi institusi Polri dan merancang Polri menjadi lembaga yang profesional dan akuntabel namun justru membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody.

Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian.

Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Berdasarkan kajian terhadap draf revisi UU Polri, terdapat beberapa pasal-pasal baru revisi UU Polri yang bisa mengarah pada upaya untuk mewujudkan sebuah “NKRI”. Beberapa pasal yang membahayakan itu diantaranya:

Pertama, Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri. Di pasal ini Polri diberikan kewenangan untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

Dengan adanya kewenangan ini maka dipastikan ruang Siber akan semakin mengecil. Sehingga kesempatan untuk adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah semakin tertutup.

Selain itu, hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara lainnya seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN)

Kedua, Pasal 16A dan 16B RUU Polri. Melalui Pasal 16A RUU Polri, Polri diberikan kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).

Sementara itu Pasal 16B RUU Polri memperluas kewenangannya dengan pemberian kewenangan Intelkam yaitu memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.”

Selain itu, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip HAM dalam implementasi Pasal tersebut, karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas sehingga dengan dalih “kepentingan nasional”, Kepolisian dapat bertindak menurut penilaian sendiri. Hal ini berpotensi bakal memberikan ruang yang sangat besar pada penyalahgunaan wewenang.

Dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM. Kewenangan untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan yang mengancam “Kepentingan Nasional” kemudian juga diperkuat dengan yang memperluas fungsi intelkam Polri sehingga mampu untuk meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Ketiga, Pasal 14 ayat (1) huruf o. Di Pasal ini Polri diberikan kewenangan untuk untuk melakukan penyadapan Kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK.

UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.

Ke empat, Pasal 14 Ayat 1  RUU Polri. Di pasal ini, polisi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup.

Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian.

Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian.

Diaturnya perihal penyelidikan dan penyidikan dalam RUU Polri juga nampak mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang proses pembahasannya masih menggantung sejak 2014. Pemerintah seharusnya mendahulukan agenda pembahasan RKUHAP dan menyelaraskan substansi dari RUU Polri dengan RKUHAP.

KUHAP sendiri merupakan undang-undang utama yang mengatur perihal Sistem Peradilan Pidana dan KUHAP yang kini berlaku telah berlaku selama 43 tahun sehingga urgensi terhadap pembaruannya seharusnya didahulukan oleh pemerintah.

Pada tahap pelaksanaan tugas, terdapat kekhawatiran bahwa seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus mendapat petunjuk dari Kepolisian sehingga berpotensi mengintervensi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK serta penyidikan kejahatan lingkungan hidup yang membutuhkan petunjuk langsung dari Kepolisian.

Dampaknya tidak sederhana, hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dengan isi Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya.

Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) huruf p Revisi UU Kepolisian, Kepolisian menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum.

Rancangan perluasan kewenangan di bidang penyidikan tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.

Kelima, Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e dan c). Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM.

Sementara itu Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan.

Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan keamanan

Pasal pasal kontroversial dalam RUU Polri tersebut kalau disahkan tentu akan sangat mengancancam kehidupan demokrasi di Indonesia karena akan memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, serta hak warga negara atas privasi terutama di media sosial dan ruang digital yang selama era reformasi  ini bisa dinikmati oleh seluruh warga bangsa.

Dengan kewenangan yang begitu luas yang dimiliki Polri melebihi lembaga lembaga lain melalui Intelkam, terutama dalam menjalankan fungsi penyadapan dan intelijen bisa berpotensi menjadikan Polri sebagai alat bagi penguasa untuk menginteli rakyatnya. Kewenangan superbody yang dimilikinya bisa berpotensi dijadikan sarana untuk membungkam lawan lawan politik penguasa dan rakyatnya.

Kewenangan Polri lewat RUU Polri itu akan semakin mengkhawatirkan dengan tidak adanya secara tegas pasal pasal yang mengatur perihal mekanisme pengawasan atau oversight mechanism bagi institusi Polri dan anggotanya.

Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian tetapi mengapa hal ini justru tidak dimunculkan ?

Pada akhirnya, segala fenomena yang dikemukakan diatas telah memunculkan kecurigaan keinginan dari pihak pihak tertentu untuk  menjadikan Indonesia sebagai Negara Polisi yaitu suatu kondisi di mana penguasa memelihara kekuasaan dengan jalan mengawasi, menjaga, dan mencampuri lapangan kehidupan rakyat dengan alat kekuasaannya.

Apakah munculnya RUU Polri di masa transisi dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo ini sebagai  indikasi bahwa kita memang  sedang menuju Negara Kepolisian Republik Indonesia ?.Atau semua itu sebenarnya hanya merupakan agenda oligarki yang ingin mengamankan kepentingannya melalui institusi negara yang bernama Kepolisian Republik Indonesia ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar