Korupsi APD: Libatkan Petinggi Kemenkes dan BNPB

Sabtu, 01/06/2024 20:59 WIB
Aksi Demonstrasi Berkostum APD Tolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di DPR. Dalam aksinya mereka menyerukan Tolak dan Hapus RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta. Robinsar Nainggolan

Aksi Demonstrasi Berkostum APD Tolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di DPR. Dalam aksinya mereka menyerukan Tolak dan Hapus RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Penyidikan kasus dugaan korupsi Alat Pelindung Diri (APD) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengacu pada temuan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Diduga ada penyelewengan anggaran negara hingga Rp625 miliar dari proyek pengadaan 5 juta APD pada masa pandemi Covid-19, 2020 lalu. Pihak yang terlibat diduga mulai dari Kemenkes selaku penanggung jawab proyek, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memiliki dana anggaran hingga dua perusahaan swasta, yakni PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan PT Permana Putra Mandiri (PPM) yang menggarap proyek dengan total anggaran Rp3,03 triliun itu.

Sumber Law-justice di BPKP mengungkapkan proses pengadaan APD bermula dari rapat di BNPB pada Maret 2020. Selain perwakilan BPKP, saat itu hadir pula perwakilan BNPB, Kemenkes, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan para vendor. Dalam rapat itu, Direktur Utama PT EKI, Satrio Wibowo memasang harga satu setel APD senilai USD 60 atau setara Rp973.800 dengan merujuk kurs Rp 16.230 per dolar AS pada kala itu.

Singkat cerita, pemerintah sepakat dengan penawaran Satrio, setelah ada penyesuaian harga. Kesepakatan pengadaan APD ini dengan catatan bahwa BPKP bakal melakukan audit. Sebab, bila ditemukan ketidakwajaran harga, perusahaan penggarap proyek wajib mengembalikan sisa uang yang tidak sesuai kepada pemerintah.

“Rapat saat itu cukup alot saat bicarakan harga,” kata sumber kami di BPKP saat ditemui, Senin (27/5/2024).

Lantas, pada 28 Maret 2020, Kemenkes menunjuk PT EKI dan PT PPM untuk menyediakan 5 juta APD dengan Surat Pesan APD No. KK.02.91/1/460/2020. Kontrak perjanjian dalam surat itu menyebut PPM sebagai distributor yang hanya diperbolehkan membeli APD dari PT EKI. Sedangkan, EKI berperan sebagai penyedia. PT EKI tidak bisa mendistribusikan APD secara langsung karena tidak memegang izin penyalur alat kesehatan (IPAK).

Awal Mei 2020, pengadaan dari total 5 juta baru terealisasi 2,1 juta APD dengan total anggaran adalah Rp1,33 triliun. Kala itu, Kemenkes baru membayar sebanyak 1,01 juta APD senilai Rp719,81 miliar. Di tengah proses pengadaan proyek APD, BPKP merilis hasil auditnya yang mempertanyakan ketidakwajaran harga.

BPKP menyebut ketidakwajaran harga dari pembelian APD tersebut sebesar Rp615,17 miliar. Dari catatan BPKP, harga normal untuk pembelian 2,1 juta APD berkisar Rp 709,84 miliar. BPKP lantas menyarakan agar PPK atau pejabat pembuat komitmen proyek ini untuk memperhitungkan ketidakwajaran harga sebesar Rp625.147.194.192 terkait pengadaat yang saat itu sudah sebanyak 1 jutaan. Angka ketidakwajaran tersebut termaktub dalam hasil audit BPKP Nomor 01 Gugus/PW/02/05/2020.

Audit BPKP mengungkap kerja sama pengadaan APD ini tidak sesuai ketentuan. Sebab dalam peneluruan auditor, PT EKI tidak memiliki surat izin pengedar alat kesehatan. Korporasi itu juga bukan termasuk pengusaha kena pajak. Ada pula kejanggalan terkait dokumen kepabeanan proses pengiriman produk. Juga, perjanjian kontrak antara PT PPM dan PT EKI dinyatakan bermasalah yang mengarah pada pengkondisian proyek.

“Ada semacam indikasi praktik monopoli dari pengadaan APD ini. PT EKI yang garap produksinya, sedangkan PPM ditunjuk langsung untuk distribusinya, tanpa penunjukan yang fair,” kata sumber kami.

“Temuan audit ini jadi atensi penegak hukum. Kemenkes dalam posisi yang diminta untuk menagih ke pelaksana proyek,” dia melanjutkan.

Atensi yang dimaksud adalah adanya rapat antara BNPB dan Kemenkes dengan sejumlah aparat penegak hukum, mulai dari KPK hingga Kejaksaan Agung. Para penegak hukum meminta Kemenkes menagih kelebihan bayar kepada pelaksana proyek agar temuan BPKP tidak berlanjut menjadi persoalan hukum yang bisa dipidanakan terkait korupsi anggaran.

Sumber kami yang pernah bekerja di lingkar satu Kemenkes mengatakan ada dugaan intimidasi kepada Budi Sylvana yang dalam proyek ini sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Adapun Budi saat waktu pengadaan proyek ini menjabat Kepala Pusat Krisis Kemenkes. Yang jadi masalah oleh Budi, bukan hanya soal negosiasi harga dari pihak ketiga, tetapi tekanan dari BNPB selaku pemilik dana.

Doni Monardo (almarhum) yang saat itu menjabat Kepala BNPB diduga mengintimidasi Budi untuk meneken kontrak perjanjian pengadaan proyek APD ini. “Ditodong kepalanya (Budi Sylvana) sama pistol (oleh Doni),” kata sumber kami.

Petinggi BNPB disebut juga memiliki afiliasi dengan PT EKI dan PT PPM sehingga dana siap pakai atau DSP yang dimiliki oleh BNPB bisa digunakan melalui pertanggung jawaban pejabat Kemenkes. Selain Doni, petinggi BNPB itu adalah Harmensyah yang saat itu menjabat Sekretaris Utama BNPB. “Keterlibatan di antara mereka cukup kuat sampai akhirnya cair proyek ini,” kata sumber kami.

Dugaan adanya intimidasi oleh Doni, melatarbekalangi peran aktif Budi Sylvana yang berulang kali menegosiasi harga satuan APD. Sampai akhrinya, negosiasi menyepakati penurunan harga menjadi Rp366.850 per APD yang diproduksi sejak 28 April hingga 7 Mei 2020 sebanyak 503.500 APD. Dalam negosiasi ini pula, disepakati harga baru senilai Rp294 ribu per APD untuk sejuta APD yang diadakan sejak akhir Maret 2020.

Budi Sylvana, Satrio Wibowo, dan Ahmad Taufik (Direktur PT PPM) menjadi pihak yang disebut-sebut menjadi tersangka. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan pemeriksaan terhadap ketiganya berjalan intens. Teranyar pada 31 Mei lalu, Satrio Wibowo dipanggil kembali oleh penyidik. “Dalam waktu dekat, akan dirilis resmi siapa saja tersangkanya,” kata dia kepada Law-justice, Rabu (29/5/2024).

Asep juga bilang penyidik sedang menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang bisa membuka kemana saja aliran dana bancakan. Dalam kasus ini, anggaran yang digunakan milik BNPB, meski penanggung jawabnya adalah Kemenkes. Dana siap pakai yang berjumlah triliunan untuk proyek ini, kata Asep, bakal ditelusuri transparansinya.

Saat ditanya, apakah akan ada tambahan tersangka yang berasal dari BNPB, Asep enggan berkomentar. “Kita lihat saja nanti. Tapi yang jelas beberapa pihak di BNPB juga diperiksa,” ujarnya.

KPK, katanya, mengacu pada temuan audit BPKP. Bahwa penyidik sedang mengusut kemana aliran dana Rp625 miliar yang dianggap auditor sebagai kelebihan bayar akibat harga tidak wajar. Secara gambaran besar, KPK juga sedang mengusut transparansi DSP yang dimiliki BNPB, selain yang telah dikucurkan untuk APD, sebesar Rp700-an miliar.

Dari total itu, KPK menemukan indikasi adanya TPPU Rp 208 miliar. Uang miliaran tersebut diduga dibagi-bagi di antara tiga tersangka. Lain itu, uang mengalir ke satu pengacara bernama Isdar Yusuf, dan empat orang saksi yang telah diperiksa KPK. Adapun KPK menyebut empat saksi yang dipanggil adalah Direktur Utama PT DS Solutions International, Ferdian; Komisaris PT Nawamaja Silatama, Agus Subarkah; seorang dokter di salah satu rumah sakit Lampung, Afnizal; dan Direktur PT Tria Dipa Medika, Dewi Affatia.

Dalam temuan KPK, Agus Subarkah diduga menerima uang Rp 15 miliar, Afnizal Rp 1 miliar, Dewi Rp 1 miliar, dan Ferdian Rp 1 miliar. Dalam penyidkan kasus ini, selain menetapkan tiga tersangka, komisi antirasuah juga mencekal beberapa orang bepergian ke luar negeri. Mereka adalah A Isdar Yusuf, pengacara Satrio Wibowo, dan Harmensyah (PNS BNPB).

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyoroti sumber anggaran DSP yang digunakan dalam pengadaan APD di Kemenkes. Menurutnya, agak janggal ketika DSP yang dipunya BNPB justru dibebankan kepada Kemenkes sebagai penanggung jawabnya.

“Sumber anggaran proyek ini yang perlu ditelusuri oleh KPK. Walau Kemenkes sebagai PPK, tapi tetap ada keterlibatan BNPB selaku pemilik anggaran,” kata Diky kepada Law-justice, Rabu.

Menurutnya, penyidik KPK mesti melakukan pemeriksaan terhadap pejabat BNPB yang terlibat dalam perumusan anggaran untuk proyek APD di Kemenkes. Selain itu, katanya, penelesuran lebih lanjut keterlibatan pejabat Kemenkes, perlu juga dilakukan. “PPK dalam korupsi pengadaan barang dan jasa hanya sebagai operator, tapi masih ada pihak lain di belakangnya,” ujar dia.

Dalam catatan ICW, yang merujuk data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kebutuhan APD secara nasional sebanyak 5 juta buah per bulan. Namun apabila menghitung realisasi pendistribusian, rata-rata APD yang dapat didistribusikan oleh pemerintah di awal pandemi hanya sebanyak 1,8 juta unit atau sekitar 38 persen. Artinya, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan APD dinilai buruk.

ICW juga mneyoroti tambahan anggaran BNPB sebesar Rp3,5 triliun untuk pengadaan APD di tengah buruknya tata kelola pengadaan. Buruknya tata kelola almatkes makin diperparah ketika pemerintah memutuskan membuka keran ekspor untuk APD. Padahal masih terdapat sejumlah daerah yang mengeluhkan kekurangan APD untuk menangani pasien Covid-19, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Papua Barat.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artike bertajuk "Dugaan Korupsi APD Kemenkes, Negara Rugi Rp625 M". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar