Nawaitu Redaksi

Revisi UU MK Upaya Ganti 3 Hakim yang Dissenting Opinion Hasil Pilpres

Minggu, 19/05/2024 11:08 WIB
Ilustrasi Saat Tokoh publik ini protes dengan pencopotan Hakim MK Aswanto (MI)

Ilustrasi Saat Tokoh publik ini protes dengan pencopotan Hakim MK Aswanto (MI)

[INTRO]

Adanya perubahan atau revisi UU Mahkamah Konstitusi diyakini telah selangkah menuju pengesahan di rapat paripurna DPR. Proses revisi yang berlangsung di luar masa sidang DPR dan hanya diikuti sebagian anggota Komisi III DPR itu dinilai sebuah pembalasan terhadap tiga hakim yang membuat putusan berbeda pada sengketa Pilpres 2024 lalu.

Menurut keterangan seorang mantan hakim MK yakin tidak akan ada partai yang menjegal pengesahan revisi beleid itu pada rapat paripurna DPR. Konsekuensinya, hakim Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat berpotensi tidak dapat melanjutkan masa jabatan mereka.

Rapat sangat tertutup, peserta terbatas

Anggota Komisi III DPR bersama Menko Polhukam Hadi Tjahjanto sepakat mengesahkan pembahasan tingkat pertama perubahan UU 24/2003 tentang MK pada Senin (13/05).

Rapat kerja yang digelar di Gedung DPR, Jakarta, tersebut berlangsung tertutup. Situasi itu berbeda dengan proses penyusunan UU pada umumnya yang mengacu pada asas keterbukaan.

Saat rapat itu berlangsung, anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, tengah berada di Portugal. Sebagaimana kebiasaan di luar masa sidang DPR—biasa disebut masa reses—anggota dewan melakukan berbagai kunjungan kerja.

“Saya tidak hadir dalam rapat tersebut,“ kata Taufik kepada BBC News Indonesia. “Saya tidak mendapatkan info ataupun undangan, mungkin karena sedang kunjungan kerja,“ ucapnya. “Saya juga tidak tahu bagaimana proses pembahasannya dan siapa saja yang hadir,“ kata Taufik.

Tiga perubahan UU MK yang pernah terjadi seluruhnya berfokus pada jabatan hakim, bukan untuk memperbaiki sistem peradilan, kata eks hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.

Berbagai pemberitaan media massa mengabarkan bahwa rapat kerja yang mengesahkan pembahasan tingkat satu revisi UU MK itu hanya diikuti segelintir anggota Komisi III.

Rapat itu dipimpin Adies Kadir selaku wakil ketua Komisi III dari Fraksi Golkar. Pada rapat itu dia meminta persetujuan dari Hadi Tjahjanto yang mewakili pemerintah terkait daftar inventarisasi masalah rancangan revisi UU MK.

Daftar tersebut berisi sejumlah pasal beserta pengaturan terbarunya. Satu hari setelah rapat tersebut, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, membantah rapat tertutup Komisi III itu bermasalah.

“Kalau ada pembahasan di masa reses, seharusnya sudah izin pimpinan DPR. Dan itu sudah saya cek, ada izin pimpinannya," kata Dasco kepada wartawan di Gedung DPR.

`Balas Dendam ke hakim MK`

Di luar persoalan proses pembahasan yang tertutup dan hanya diikuti segelintir anggota dewan, perubahan UU MK ini tidak substansial, kata Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Artinya, menurut Susi, sejumlah perubahan pasal yang diusung DPR dan pemerintah tidak bertujuan untuk memperkuat sistem peradilan di MK. Revisi UU MK saat ini diyakini sejumlah mantan hakim konstitusi sebagai respons atas sengketa Pilpres 2024.

Sebaliknya, kata Susi, materi revisi UU MK justru menyasar kedudukan para hakim karena mengubah regulasi masa jabatan dan mengatur ulang komposisi Majelis Kehormatan MK.

“Itu merupakan bentuk pembalasan terhadap hakim-hakim yang sudah menjatuhkan putusan ataupun yang mengeluarkan pertimbangan dalam bentuk dissenting opinion, yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang mengusulkan hakim-hakim tersebut,“ kata Susi, Kamis (16/05).

Adapun pasal yang diubah

Regulasi masa jabatan hakim konstitusi yang diubah dalam rancangan revisi UU MK berada pada Pasal 23A dan dan Pasal 87. Pasal 23A mengatur bahwa masa jabatan hakim MK adalah 10 tahun.

Pasal 87 mengharuskan hakim yang telah lima tahun menjabat untuk mendapat persetujuan ulang dari lembaga yang mengusungnya. Tiga lembaga yang berhak mengusulkan pencalonan hakim MK adalah baik DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Sang hakim bisa melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun jika mendapatkan persetujuan tersebut.

Pasal 87 juga mengatur, para hakim yang telah menjabat 10 tahun harus mendapat persetujuan serupa agar bisa meneruskan jabatan sampai usia pensiun. Persetujuan tingkat satu antara Komisi III dan Menko Polhukam soal draf revisi UU MK diambil pada 13 Mei lalu, saat DPR tengah berada pada masa reses.

Pada dua proses itu, lembaga pengusul bisa memberi persetujuan atau mengajukan calon hakim konstitusi baru. Seluruh pengaturan tersebut, merujuk draf revisi UU MK, akan berlaku bagi para hakim yang saat ini menjabat—ketentuan yang bertentangan dengan putusan MK sebelumnya, kata Susi Harijanti.

“Merujuk putusan 81/2023, MK menegaskan batasan yang harus menjadi pedoman para pembentuk UU, antara lain revisi UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi target substansi perubahan,“ ujar Susi. “Khusus UU MK, perubahan itu tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat,“ tuturnya.

Siapa hakim yang akan terkena?

 

Merujuk perubahan pada pasal 87, lima hakim MK yang saat ini tengah menjabat akan terdampak secara langsung. Tiga di antara mereka adalah hakim yang memberikan pendapat berbeda pada putusan sengketa Pilpres. Tiga hakim itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Saldi dan Enny, masing-masing telah menjabat selama tujuh dan enam tahun. Oleh karena itu, jika revisi UU MK disahkan di rapat paripurna DPR, mereka harus meminta persetujuan presiden agar dapat meneruskan jabatan sampai 10 tahun.

Dalam putusan sengketa pilpres lalu, Saldi menyatakan bantuan sosial dan mobilisasi aparatur negara melanggar asas jujur dan adil dalam pemilu karena mempengaruhi hasil suara.

Saldi membenarkan dalil pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dia memandang, pemungutan suara ulang harus dilakukan KPU di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

Enny juga menyatakan pendapat serupa soal adanya ketidaknetralan penjabat kepala dearah dalam Pilpres. Dia menyatakan pemungutan suara ulang harus dilakukan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.

Adapun, hakim Arief Hidayat berpotensi harus meminta persetujuan dari DPR untuk bisa meneruskan jabatannya hingga usia pensiun. Arief telah berkarier sebagai hakim konsitusi selama 13 tahun.

Dalam putusan sengketa Pilpres 2024, Arief menyatakan presiden dan sejumlah aparatur negara tidak netral karena mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Dua hakim lainnya yang berpotensi terdampak revisi UU MK adalah Suhartoyo dan Anwar Usman.

Suhartoyo berpeluang terdampak aturan yang sama seperti Saldi dan Enny karena telah menjabat sembilan tahun. Sementara itu, Anwar berpotensi terdampak aturan seperti Arief karena sudah menjadi hakim MK selama 13 tahun. Menurut mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, perubahan regulasi soal masa jabatan itu mengancam independensi hakim.

Karena harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul di tengah masa jabatan, Palguna menilai para hakim berpotensi membuat putusan yang selalu menguntungkan lembaga pengusulnya.

“Karena kalau Anda tidak ‘baik-baik’ di lima tahun berkuasa menjadi hakim konstitusi, walaupun ayat 1 mengatakan masa jabatan 10 tahun, ‘kami punya kewenangan loh untuk mengeluarkan Anda, kami mempunyai kewenangan untuk mengganti Anda dengan hakim yang baru’. Kan seolah-olah mau menyampaikan begitu,” kata Palguna.

Lebih dari itu, Palguna menyebut pasal-pasal yang diubah dalam rancangan revisi UU MK saling bertentangan. Dia merujuk Pasal 23A yang menyatakan masa jabatan hakim MK adalah 10 tahun. Namun pada Pasal 87, hakim yang telah menjabat lebih dari 10 tahun dapat meminta persetujuan untuk meneruskan jabawan asalkan belum berusia 70 tahun.

Mantan hakim konstitusi lainnya, Hamdan Zoelva, menyoroti tidak adanya materi dalam bagian pertimbangan dan penjelasan umum draf perubahan UU MK.

“Lalu ini apa maksud perubahannya?” tanya Hamdan. “Kacau negara ini kalau pembentuk undang-undang seperti ini,“ ucapnya. Hamdan menilai berbagai persoalan substansial pada draf revisi UU MK muncul bukan karena ketidaktahuan anggota DPR maupun pemeirntah.

“Saya memastikan memang ada kehendak di balik rumusan formal untuk melumpuhkan atau paling tidak mempengaruhi independensi MK. Secara implisit, bisa dibaca seperti itu,“ kata Hamdan.

Merujuk sejarah, Hamdan yakin rapat paripurna DPR akan mengesahkan revisi tersebut. Dia berkata, tidak pernah ada draf UU yang batal disahkan setelah dibawa ke rapat paripurna.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar