DPR Bakal Bentuk Panja Respons Lonjakan Biaya Pendidikan Kampus

Kamis, 16/05/2024 19:08 WIB
Ilustrasi mahasiswa. Mahasiswa berkumpul di Trisakti untuk makzulkan Jokowi (Dok.CNN Indonesia)

Ilustrasi mahasiswa. Mahasiswa berkumpul di Trisakti untuk makzulkan Jokowi (Dok.CNN Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Komisi X DPR bakal membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas masalah biaya pendidikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang mengalami kenaikan belakangan ini.

Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf menyatakan Panja itu berfungsi untuk mengetahui apa yang jadi alasan biaya pendidikan kerap naik.

"DPR juga langsung membuat Panja biaya pendidikan. Karena kita juga ingin tahu sebenarnya pembiayaan pendidikan itu seberapa dan kenapa harus menaik," kata Dede di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (16/5).

Lebih lanjut Dede menyampaikan nantinya Panja tersebut akan mengulas lengkap komponen biaya pendidikan, tak sebatas hanya biaya kuliah namun hingga ke taraf sekolah dasar.

Ia menyebut review terhadap komponen biaya pendidikan itu belum pernah dilakukan.

Alhasil, peserta didik dan orang tua pun tak mengetahui kemana kenaikan biaya pendidikan yang mereka bayarkan itu akan dialokasikan.

"Apakah biaya komponen pendidikan seperti UKT itu naik dikarenakan membayar gaji dosen atau mungkin uang gedung atau biaya riset. Kita belum tahu, itu yang nanti kita akan bahas," ungkapnya.

Selain akan membentuk Panja, Dede menyampaikan Komisi X DPR akan segera memanggil Kemendikbud membicarakan soal ini.

"Long term ini Panja, Panja akan melalukan investigasi tentunya terhadap masalah pembiayaan pendidikan," jelas dia.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie sebelumnya telah merespons gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang kian mahal.

Tjitjik menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.

Tjitjik menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Terkait banyaknya protes soal UKT, Tjitjik pun menyinggung bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier atau tidak wajib. Dia menegaskan pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.

"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5).

"Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," imbuhnya.

Tjitjik menjelaskan pemerintah fokus untuk memprioritaskan untuk pendanaan pada pendidikan wajib 12 tahun. Perguruan tinggi tidak masuk prioritas karena masih tergolong pendidikan tersier.

"Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar," jelasnya.

Meski demikian, Tjitjik mengklaim pemerintah tidak lepas tangan dan tetap memberikan pendanaan melalui BOPTN. Namun, besarannya tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa lewat UKT.

Dalam skema UKT, kata Tjitjik, mahasiswa dibebankan bayaran luliah sesuai kemampuan ekonominya. Oleh sebab itu, dalam UKT terdapat beberapa golongan.

Kemendikbudristek telah menetapkan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek.

Dalam aturan itu, kelompok UKT1 sebesar Rp500 ribu dan UKT2 sebesar Rp 1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN. Selebihnya, Tjitjik menyebut besaran UKT ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi.

Tjitjik pun membantah saat ini ada kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT nya yang naik, tetapi kelompok UKT nya yang bertambah.

"Ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT. Tetapi penambahan kelompok UKT," jelas Tjitjik.

Belakangan ini mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan melakukan protes terhadap kenaikan UKT.

Para mahasiswa Unsoed misalnya memprotes lantaran ada kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat. Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Riau (Unri) ketika seorang mahasiswa bernama Khariq Anhar memprotes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayar mahasiswa Unri.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar