Alman Helvas Ali, Praktisi dan Konsultan Industri Pertahanan

Konsolidasi Industri Pertahanan dan Opsi Jet Tempur Indonesia

Rabu, 15/05/2024 21:48 WIB
Ilustrasi: Imaji karya digital Pesawat Tempur Mirage 2000. (Bing)

Ilustrasi: Imaji karya digital Pesawat Tempur Mirage 2000. (Bing)

Jakarta, law-justice.co - Industri pertahanan di negara-negara Barat terus mengalami konsolidasi melalui merger dan akuisisi sejak 1950-an hingga saat ini. Melalui konsolidasi, jumlah produsen pertahanan makin sedikit dan terpusat pada beberapa pabrikan tertentu saja.

Konsolidasi merupakan pilihan tidak terhindarkan sebab anggaran pertahanan di negara-negara tersebut sempat mengalami penurunan selepas Perang Dingin. Sementara di sisi lain, biaya pengembangan dan produksi sistem senjata semakin mahal dari dekade ke dekade, misalnya cost F-35 hampir enam kali lebih mahal daripada cost F-16 yang digantikannya.

Pada domain industri pertahanan dan dirgantara, konsolidasi di Amerika Serikat membuat General Dynamics dan McDonnell Douglas hilang dari pasar, Lockheed dan Martin Marietta bergabung menjadi Lockheed Martin, sementara Northrop melakukan merger dengan Grumman sehingga menjadi Northrop Grumman.

Sedangkan di Eropa, Messerschmitt-Bölkow-Blohm, Aerospatiale dan CASA telah diserap oleh EADS sebelum EADS berganti identitas menjadi Airbus. Namun konsolidasi tidak selalu berhasil seperti kegagalan merger antara BAE dan EADS pada 2012 akibat veto Kanselir Jerman Angela Merkel. Penting pula untuk dicatat bahwa tidak semua industri pertahanan dan dirgantara Eropa melakukan konsolidasi, misalnya Dassault Aviation.

Merger dan akuisisi pada industri pertahanan dan dirgantara di Barat tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi, yaitu bagaimana menciptakan pasar yang kompetitif sehingga dapat menawarkan solusi teknis terbaik dengan biaya dan harga terbaik kepada konsumen. Adapun dari aspek politik, konsolidasi dimaksudkan agar dari keberadaan industri pertahanan nasional atau multinasional tetap terjaga sebagai bagian dari sovereign capability.

Di Amerika Serikat, konsolidasi terjadi antar firma-firma pertahanan domestik, sementara di Eropa konsolidasi yang tercipta lebih banyak bersifat multinasional, sebab karakter Eropa yang menekankan nilai bersama Eropa daripada nilai nasional. Namun bukan berarti negara-negara Eropa tidak mengadopsi nilai nasional, karena BAE Systems, Dassault Aviation dan Saab adalah cermin politik dari sovereign capability Inggris, Prancis dan Swedia.

Konsolidasi pada industri pertahanan dan dirgantara, khususnya pembuat jet tempur, terjadi saat teknologi pesawat tempur mengalami peralihan dari generasi keempat menuju generasi kelima. Di antara kedua generasi teknologi tersebut, terdapat transisi teknologi yaitu generasi 4.5 dengan karakter seperti beberapa penempur generasi keempat mengadopsi radar AESA, kemampuan high manoeuverability, semi stealth dan sensor fusion.

Saat ini baru terdapat dua pesawat tempur generasi kelima yang operasional, yaitu F-22 buatan Lockheed Martin yang dikembangkan pada awal 1990-an dan F-35 yang dikembangkan pada awal 2000-an. Di antara karakter jet tempur generasi kelima adalah menggunakan radar AESA, kemampuan super cruise, stealth penuh, sensor fusion penuh dan penyimpanan senjata di dalam fuselage pesawat.

Sebagai hasil konsolidasi, Amerika Serikat saat ini hanya memiliki tiga pembuat pesawat tempur, yaitu Boeing, Lockheed Martin dan Northrop Grumman. Adapun Eropa mempunyai empat produsen jet tempur, yakni Dassault Aviation, BAE Systems, Saab dan Leonardo plus konsorsium Eurofighter.

Dari empat pabrikan plus satu konsorsium, hanya Dassault Aviation, Saab dan Eurofighter yang masih memproduksi dan memasarkan penempur generasi 4.5. Adapun BAE Systems tidak memiliki produk baru setelah Hawk 100/200, sedangkan Leonardo berfokus pada pemasaran pesawat Lead-In Fighter Training (LIFT).

Kini produsen pesawat tempur di Amerika Serikat maupun Eropa mencurahkan sumberdaya pada desain dan pengembangan jet tempur generasi keenam, seperti program Next Generation Air Dominance (NGAD) di Amerika Serikat dan program Future Air Combat System (FCAS) yang merupakan kerja sama antara Dassault Aviation, Airbus dan Indra Sistemas.

BAE Systems bersama dengan Leonardo dan Mitsubishi Heavy Industries menjalin kemitraan untuk program Global Combat Air Program (GCAP). Salah satu karakter pesawat tempur generasi keenam adalah Manned - Unmanned Teaming (MUM-T), yaitu pesawat tempur berawak akan beroperasi bersama dengan pesawat tanpa awak atau disebut Loyal Wingmen.

Sementara kontraktor utama program NGAD belum jelas, program desain dan pengembangan jet tempur generasi keenam lainnya memiliki kesamaan karakter, yaitu kemitraan multinasional. Hal demikian tidak terhindarkan karena biaya Engineering, Manufacturing and Design (EMD) yang sangat mahal, sementara produksi pesawat tempur tersebut diharapkan mencapai skala keekonomian.

Sehingga tidak mengejutkan apabila Prancis dan Spanyol berkolaborasi pada program FCAS, sementara Inggris, Italia dan Jepang bermitra untuk program GCAP. Kecuali Amerika Serikat, nyaris tidak ada negara yang mempunyai kemampuan fiskal untuk mengembangkan penempur generasi keenam secara mandiri.

Indonesia masih akan terus menjadi negara konsumen jet tempur karena tidak memiliki sovereign capability dan kemampuan ekonomi untuk mengembangkan pesawat tempur secara mandiri. Walaupun Indonesia terlibat dalam program KF-21 bersama dengan Korea Selatan, namun peran Indonesia dalam EMD jet tempur generasi 4.5 tersebut sangat terbatas.

Di sisi lain, setelah tahun 2030, Indonesia dipastikan akan memerlukan penempur baru dengan asumsi antara 2025-2029 Kementerian Pertahanan melaksanakan akuisisi F-15EX buatan Boeing. Pertanyaannya adalah apakah usai tahun 2030 Indonesia akan memiliki akses politik untuk membeli jet tempur generasi kelima?

Berdasarkan kalkulasi politik dan engineering, dari sekarang hingga pasca 2030 opsi Indonesia untuk membeli pesawat tempur hanya berasal dari dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat dan Prancis.

Inggris tidak lagi memproduksi jet tempur, sedangkan pengadaan dari Rusia dan Cina sangat kecil kemungkinannya karena berbagai alasan politik, sedangkan Prancis tidak membuat pesawat tempur generasi kelima dan berfokus pada produksi jet tempur generasi keenam.

Satu-satunya produsen pesawat tempur generasi kelima dan sekaligus dapat diekspor adalah Amerika Serikat lewat F-35. Meskipun saat ini beberapa negara berkembang mencoba mengembangkan penempur generasi kelima, namun diperkirakan program mereka paling cepat baru akan matang setelah tahun 2040 kalau dapat mengatasi beragam isu engineering dan sistem propulsi.

Dari uraian tersebut terlihat jelas benang merah antara konsolidasi industri pertahanan dan dirgantara, pasar yang tercipta dan keterkaitan dengan hubungan antar negara. Dihadapkan pada kondisi demikian, Indonesia sejak dini harus mengantisipasi lanskap pasar jet tempur global pasca 2030 agar mempunyai akses terhadap jet tempur generasi kelima.

Bila tidak diantisipasi, hingga 2045 Indonesia hanya dapat mengoperasikan pesawat tempur generasi 4.5. Penting untuk diingat bahwa terdapat hubungan yang kuat antara teknologi pertahanan dan diplomasi, di mana teknologi tidak kebal terhadap pertimbangan politik dan ekonomi.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar