Soal Polemik Draf RUU Penyiaran,

Kejaksaan Agung-KPK Sebut Jurnalisme Investigasi Bantu Penegakan Hukum

Senin, 13/05/2024 10:16 WIB
Dirdik Jampidsus Kejagung (kiri), Agung Kuntadi dan Kapuspenkum Kejagung (kanan) Ketut Sumedana dalam konpers di Kejagung, Senin 15/5/2023). Foto: Rohman Wibowo (Law Justice).

Dirdik Jampidsus Kejagung (kiri), Agung Kuntadi dan Kapuspenkum Kejagung (kanan) Ketut Sumedana dalam konpers di Kejagung, Senin 15/5/2023). Foto: Rohman Wibowo (Law Justice).

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung (Kejagung RI) menyatakan bahwa jurnalisme investigasi justru membantu pengungkapan kasus hukum dan Kejaksaan dengan informasi yang dipaparkan.

Seperti melansir tempo.co, pernyataan ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana.

Hal ini dia sampaikan untuk mengomentari soal klaim jurnalisme investigasi bisa menganggu proses pro justitia aparat penegak hukum dan membentuk opini publik dalam proses penegakan hukum.

Klaim ini menjadi alasan Komisi I DPR RI memasukan pasal larangan penayangan karya jurnalisme investigasi dalam draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran.

Ketut, yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, mengatakan media investigasi sudah ada sejak dulu dan membantu penegakan hukum, serta menjadi bagian dari demokrasi.

“Saya kira tidak masalah (dengan media investigasi),” kata Ketut lewat keterangan WhatsApp kepada Tempo. “Karena penegak hukum bekerja dan memperoleh alat bukti dari berbagai sumber, termasuk media yang obyektif, transparan, dan tidak tendensius.”

Ketut mengatakan Kejaksaan Agung juga tidak pernah berseberangan dengan media. Menurut dia, media justru membantu Kejaksaan dalam hal apapun termasuk opini publik.

“Sepanjang membantu tugas-tugas penegakan hukum saya kira tidak ada masalah,” ujar Ketut. “Kan masing-masing memiliki batasan, kewenangan dan tugs, serta tanggung jawab sesuai peran masing-masing lembaga.”

Senada, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengatakan jurnalisme investigasi justru dibutuhkan di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum. Jurnalisme investigasi, kata dia, menjadi bagian dari pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh media.

Menurut Alex, jurnalisme investigasi justru diharapkan mampu memberikan tekanan kepada aparat penegak hukum agar bekerja secara professional dan berintegritas. Dia menyebut jurnalisme investigasi kadang membantu KPK dalam penyelidikan.

“Saya pribadi senang membaca laporan investigasi,” kata Alex kepada Tempo, Ahad, 12 Mei 2024. “Kadang-kadang laporan investigasi menjadi masukan untuk melakukan penyelidikan. Laporan investigasi tak ubahnya laporan masyarakat.”

Dalam draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 terdapat sejumlah pasal yang dikritik karena berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. Draf RUU Penyiaran yang diperoleh Tempo berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.

Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.

Kemudian Pasal 50 B Ayat 2 huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Dalam catatan rapat pembahasan draf RUU ini, Komisi I beralasan pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja.

Anggota Komisi I DPR, Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, mengatakan DPR tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuat pasal yang melarang siaran eksklusif jurnalisme investigasi.

Politikus PDIP itu menjelaskan, pelarangan diusulkan guna mencegah terpengaruhinya opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Hasanuddin menyebut soal pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi ini masih didiskusikan karena jurnalisme investigasi itu ada banyak hal yang berpengaruh.

"Saya kira bisa dipahami. Jadi jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi," katanya.

Kendati begitu, Hasanuddin mengatakan pendapat yang meminta agar siaran eksklusif jurnalisme investigasi tetap ditayangkan juga masih bergema di ruang rapat Komisi.

"Saya pribadi mendukung agar tidak dilarang. Dengan syarat tidak mempengaruhi opini publik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung saja," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, juga mengatakan DPR tidak memiliki maksud dan tujuan untuk melemahkan keberadaan pers.

"Kami menghormati pers dan tidak memiliki niat untuk membungkam atau melemahkan," kata Dave.

Politikus partai Golkar itu mengatakan, DPR membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran tersebut.

"Silakan kawan-kawan beri masukan yang baik untuk kita memperkaya, memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang ini," ujar Dave.

Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI mengecam sejumlah pasal dalam draf RUU tersebut. Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, meminta agar DPR menghapus pasal-pasal bermasalah.

Bayu mengatakan DPR mestinya menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, konsideran draf RUU Penyiaran tidak mencantumkan Undang-Undang Pers sama sekali.

"Ini sebuah upaya pembungkaman pers yang sangat nyata," kata Bayu saat dihubungi, Sabtu 11 Mei 2024.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut dia, Undang-Undang tentang Pers telah mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. "Ini tidak ada dasarnya dan justru akan memberangus pers," kata Yadi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024.

Yadi mengatakan, Undang-Undang Pers telah mengatur ihwal panduan dan kode etik jurnalistik selama lebih dari dua dekade. Sehingga, kegiatan jurnalisme investigasi tidak perlu dikhawatirkan dilaksanakan tanpa aturan.

"Pedomannya sudah ada dan tidak ada Undang-Undang lain yang mengatur soal ini, semua soal pers diatur pada Undang-Undang 40 Tahun 1999," ujar Yadi.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar