Suroto, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Ketika Putusan Mahkamah Konstitusi Ciptakan Krisis Kepercayaan

Selasa, 23/04/2024 13:55 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 dan nomor urut 1.  MK menyatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya. Sidang dimulai pada pukul 09.00 WIB dan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo. Tujuh hakim MK lainnya juga hadir dalam sidang PHPU. Robinsar Nainggolan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 dan nomor urut 1. MK menyatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya. Sidang dimulai pada pukul 09.00 WIB dan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo. Tujuh hakim MK lainnya juga hadir dalam sidang PHPU. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Baru saja Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan tentang perkara sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) yang pada akhirnya dalam amar putusannya menolak sepenuhnya gugatan pemohon.

Padahal secara kasat mata berbagai bentuk intervensi politik kekuasaan telah terjadi untuk meloloskan dan memenangkan Calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu.

Bahkan MK sendiri dalam putusan perkara persyaratan Pilpres sebelum Pemilu juga telah menetapkan pelanggaran etik berat dengan meloloskan Cawapres Gibran Rakabuming Raka.

Ini artinya sedang terjadi krisis kelembagaan serius. Institusi MK yang menjadi benteng terakhir dari Konstitusi ternyata tak dapat menjaga marwahnya. Pertimbangan hakim Konstitusi yang mengabaikan suara nurani, kebenaran konstitusional ini akan akibatkan krisis kepercayaan masyarakat.

Apa yang terjadi adalah hanya gejala simtomatik-permukaan. Sesungguhnya krisis besarnya itu sudah lama terjadi dan bermula dari krisis ideologi.

Krisis kepemimpinan, krisis kelembagaan dan pada akhirnya krisis kepercayaan yang terjadi itu memang bukan datang begitu saja, namun diawali krisis ideologi.

Partai-partai sebetulnya sudah lama meninggalkan fungsi utamanya sebagai bentuk pembelajaran warga mengambil tanggung jawab kenegaraan dan kebangsaan. Partai sudah berubah jadi tujuan.

Dikelola secara korporatif mementingkan kepentingan individu dan keluarga ketimbang jadi tempat pembelajaran demokrasi. Lalu negara dijadikan alat untuk mengejar kepentingan tersebut.

Merebaknya nepotisme, kolusi dan korupsi dalam skala masif dari pucuk pucuk pimpinan lembaga politik dan negara ini menjadi penanda serius bahwa gejala sistem premanisme akan lahir.

Lalu, model kongkalikong elite politik dan elite kaya yang terjadi akan mendorong timbulnya pengkhianatan kepentingan yang masif terhadap upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat banyak.

Secara keseluruhan kita tidak hanya telah gagal membangun demokrasi, tapi kita gagal berdemokrasi. Ini akan membahayakan bagi kepentingan masa depan bangsa dan negara karena bisa menimbulkan kondisi chaos.

Kemudian, bisa mendorong munculnya tirani minoritas otoritarian yang dibentuk dari elite politik dan elite kaya.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar