Tersangka Korupsi APD Merasa Dijebak, Seret KPK, Polri dan Kejagung

Sabtu, 20/04/2024 15:01 WIB
Ilustrasi APD (Kompas)

Ilustrasi APD (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Direktur PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo merasa dijebak setelah menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes).  

Satrio, kemarin diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (19/4/2024). Dia mengonfirmasi bahwa KPK menetapkannya sebagai salah satu tersangka pada kasus yang diduga merugikan keuangan negara Rp625 miliar. 

Untuk diketahui, PT EKI merupakan pemasok hazmat kepada PT Permana Putra Mandiri (PPM), yang ditunjuk secara darurat oleh Gugus Tugas Pandemi Covid-19 untuk pengadaan APD.  

Lebih lanjut Satrio juga merasa terjebak karena awalnya sudah tidak menyetujui harga satu set APD yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp300.000. Pemerintah disebut memesan total 5 juta set APD.  

Satrio juga tak terima status tersangka karena Gugus Tugas Covid-19, pihak Kedeputian Pencegahan KPK, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan serta Kepolisian hingga Kejaksaan Agung ikut menghadiri rapat terkait pengadaan APD itu bersamanya.  

"Kalau kita sekarang tersangka, saya merasa sangat terjebak. Kita sudah sempat keluar ruangan rapat, kalau mau mencari harga yang menurutnya bisa murah silahkan, kami sudah mundur. Tetapi karena kondisi darurat, kami dipanggil lagi, karena cuma [kami, red] yang punya. Ya kita suplai," ujarnya kepada wartawan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/4/2024).  

Dikutip dari Bisnis Indonesia, Satrio menceritakan, kebijakan pengadaan hazmat saat pandemi diambil alih oleh di antaranya Gugus Tugas Covid-19, yang di dalamnya terdapat unsur TNI hingga Kemenkes.   

Kendati awalnya tak menyetujui harga pemerintah, PT EKI sebagai pemasok APD menyepakati harga Rp300.000 per paket APD untuk total 5 juta set. Harga itu, kata Satrio, disepakati oleh Kemenkes dan PT PPM pada kondisi normal prapandemi. 

Pengadaan 5 juta set APD itu pun belum terserap secara keseluruhan. Satrio menyebut ada sekitar 2 juta set APD yang belum diserap dan dibayar oleh pemerintah kepada PT PPM.  APD itu gagal diserap secara keseluruhan karena adanya audit BPKP, yang menduga indikasi kerugian keuangan negara pada proyek tersebut. Audit itu juga menjadi dasar untuk KPK memulai penyidikan dan menetapkan tersangka.  

Satrio menilai pengadaan APD Covid-19 itu merupakan pengadaan secara darurat. Oleh sebab itu, terangnya, penegak hukum perlu meminta pertanggungjawaban kerugian keuangan negara ke pihak-pihak yang ikut dalam rapat pengadaan itu, termasuk KPK. 

"Harusnya semua yang ikut rapat tersangka. Itu dari saya, ya. Banyak yang ikut rapat itu, dari pihak Itjen [Kemenkes], pihak BNPB, BPKP, kan kita tim pada saat itu. Ada KPK hadir juga. Saya merasa ini enggak adil, karena semua terlibat di sini. Tidak ada niat jahat, tidak ada mens rea," tuturnya.

Sebelumnya, KPK menduga korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kemenkes itu terjadi pada tahun anggaran (TA) 2020-2022. Anggaran korupsi itu melibatkan proyek 5 juta set APD senilai Rp3,03 triliun.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar