Kecurangan Pemilu Masif, Pimpinan KPU Didesak Lengser

Sabtu, 24/02/2024 20:15 WIB
Ketua KPU Hasyim Asyari, Komisioner dan jajaran KPU lainnya pada konferensi pers pendaftaran Capres-Cawapres 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (16/10/2023). KPU) akan membuka periode pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pilpres 2024 mulai dari 19 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2023. Robinsar Nainggolan

Ketua KPU Hasyim Asyari, Komisioner dan jajaran KPU lainnya pada konferensi pers pendaftaran Capres-Cawapres 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (16/10/2023). KPU) akan membuka periode pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pilpres 2024 mulai dari 19 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2023. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Peneliti Utama Politik Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyebut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy‘ari semestinya mundur atau dipecat dari jabatannya. Siti berpikir demikian lantaran gelaran Pemilu 2024 masif kejanggalan yang mengarah pada kecurangan, semisal masalah proses rekapituslasi suara Pilpres dan Pileg 2024 dengan sistem Sirekap KPU.

“Sepatutnya mundur atau dipecat. Tapi budaya mundur tidak ada, jika tidak mundur maka KPU terstigma karena dia mendapat peringatan keras beberapa kali,” ujar Siti dalam keterangannya, dikutip Sabtu (24/2/2024).

Siti menegaskan bahwa stigma KPU sebagai penyelenggara negara pemilu yang tidak dipercaya sudah mencuat di tengah publik. Sehingga perlu adanya pembenahan dalam KPU dengan mengganti semua komisionernya, termasuk ketuanya. “KPU harus dibenahi. Ketua KPU sudah mendapat peringatan 3 kali, pelanggaran etika itu tidak ada ampun,” ujar dia. Adapun Hasyim sempat dijatuhi sanksi pelanggaran etik berat terakhir oleh DKPP karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden.

Desakan untuk mengaudit kinerja KPU juga datang dari koalisi masyarakat sipil. Latar belakangnya lantaran KPU di beberapa Kabupaten/Kota menghentikan pleno terbuka rekapitulasi suara secara manual di tingkat kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Pleno terbuka diinstruksikan oleh KPU untuk dijadwalkan ulang. Pada saat yang sama, Bawaslu menyarankan agar SIREKAP KPU RI dihentikan. SIREKAP secara faktual beberapa kali tidak bisa diakses publik.

Ketum PBHI, Julius Ibrani yang juga bagian koalisi mengatakan penghentian pleno terbuka tentang rekapitulasi suara secara manual di tingkat Kecamatan harus dipersoalkan. Sebab, keputusan KPU untuk menghentikan dan menjadwalkan ulang pleno terbuka rekapitulasi suara secara manual menguatkan kecurigaan publik bahwa Pemilu 2024 telah dibajak oleh rezim Jokowi.

“Pemungutan dan penghitungan suara direkayasa sedemikian rupa diduga kuat untuk tiga keinginan Jokowi yang sudah banyak beredar di publik. Pertama, untuk memenangkan Paslon Capres Cawapres Prabowo-Gibran. Kedua, untuk meloloskan Partai Solidaritas Indonesia ke Parlemen. Ketiga, untuk menggerus suara PDI Perjuangan,” kata Julius dalam keterangannya, dikutip Sabtu. 

“Suara demi kepentingan Jokowi yang di duga salah satunya terkait lolosnya PSI di parlemen,” imbuhnya.

Padahal, kata dia, berdasarkan rekapitulasi Form C1 yang dilakukan oleh organisasi pemantau dari kalangan masyarakat sipil, seperti KawalPemilu.org, PSI sejauh ini termasuk partai yang tidak lolos ke DPR RI. “Kekacauan rekapitulasi suara berkenaan dengan siasat jahat rezim untuk membajak Pemilu dan kelembagaan penyelenggara Pemilu. Dengan sendirinya, situasi tersebut membuat legitimasi Pemilu runtuh,” ucap Julius.

Julius lantas menuntut agar seluruh anggota KPU dan Bawaslu mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban karena telah gagal mengemban amanat rakyat untuk menyelenggarakan Pemilu yang Luber dan Jurdil. “Jika mereka tidak mengundurkan diri, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu harus memberhentikan mereka akibat begitu banyak pelanggaran sangat fatal dan serius yang mereka lakukan,” tukasnya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar