Kenapa Subsidi Energy Kotor Semakin Menggila ?

foto alinea.id
law-justice.co - Kenapa Harus Transisi Energi? Transisi energi adalah upaya beralih dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Transisi energi penting dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim, meningkatkan ketahanan energi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas udara, dan membangun masa depan yang berkelanjutan
Agenda transisi energi tidak mungkin dihentikan. Karena pada dasarnya manusia sedunia sudah penat dalam kepungan asap dan debu. Kota kota di dunia telah ditupi asap logam berat. Orang orang kaya yang hidup dikota kota mulai panik, ternyata mereka tidak dapat membeli udara bersih dengan uangnya yang banyak tersebut.
Bagaimana energi kotor bisa sedemikian berkembang? Karena negara mendukungnya dengan subdidi. Membuat rakyat tergantung, akhirnya subsidi menjadi bisnis yang melibatkan banyak pelaku usaha.
Di dalam APBN 2023 Jumlah penerima subsidi listrik 40,7 juta pelanggan, nilai subsidinya senilai 72,6 triliun. Separuh dari energi listrik dipasok oleh pembangkit kotor milik swasta atau IPP. Menghasilkan energi kotor listrik batubara sangat diminati oleh swasta indonesia. Murah dan didukung subsidi negara serta untungnya gede. Karena ada PLN sebagai tukang bayar kepada swasta.
Bagaimana dukungan subsidi pemerintah atas bisnis energi kotor BBM? Lebih dashyat lagi! Jumlah penyaluran subsidi LPG 3 kg mencapai 8 juta kl pada tahun 2022. Ada perintah tertulis untuk melakukan subsidi tepat sasaran. Namun ternyata tidak pernah dilaksanakan.
Penentuan harga dan nilai subsidi LPG didasarkan pada contract price aramco/cp aramco dan nilai tukar rupiah terhadap USD.
Energi kotor lain yakni solar yang disubsidi mencapai 17 juta kilo liter pada tahun 2023. Jumlah yang cukup besar untuk kapasitas energy kotor yang disubsidi. Naik 2 juta KL dibandingkan tahun lalu entah mengapa?
Menurut data APBN 2023 subsidi BBM tertentu dan LPG 3 kg pada tahun 2022 senilai Rp149,36 triliun. Selanjutnya nilai subsidi energy tahun 2023 senilai Rp211, 9 triliun.
Subsidi tetap solar senilai 1000 rupiah per liter. Subsidi energi kotor yang sangat menggila adalah subsidi LPG 3 kg.
Menurut informasi dalam APBN 2023 subsidi energi dialokaiskan senilai Rp 211,9 triliun, terdiri atas BBM tertentu dan LPG senilai Rp139,4 triliun.
*Disebutkan bahwa subsid jenis BBM tertentu senilai 21,5 triliun dan subsidi LPG 3 kg senilai 117,8 triliun.
Jika subsidi listrik walaupun separuh kotor karena dihasilkan dengan batubara dan solar, namun jelas sasaran penerimanya 40 juta KK. Bahaya adalah subsidi LPG dan solar yang nilainya sangat besar, termasuk energi kotor yang tidak jelas penerimanya. Siapa mereka yang mendapat subsidi sebesar itu. Tak mungkin orang miskin sebanyak itu.
Jadi bagaimana pemerintah keluar dari jeratan subsidi energi kotor ini. Rakyat sudah sangat tergantung, karena digantung oleh pemerintah sendiri dengan energi kotor tersebut.
Dilain pihak orang orang yang terlibat dalam bisnis subsidi energi kotor makin menggurita dan bagkan belali guritanya telah membelenggu APBN. Sehingga hampir hampir masalah ini tidak ada jalan keluarnya lagi. sebagi tulisan Salamuddin Daeng.
Masalah ini bukan hanya di Indonesia tapi seluruh dunia . Negara-negara produsen minyak yang disebutn sebagai energi kotor seperti Arab Saudi, Rusia, dan negara-negara di kawasan Teluk Persia telah menghadapi tekanan ekonomi karena pergeseran global menuju energi terbarukan dan upaya untuk mengurangi emisi karbon. Pergeseran ini telah menyebabkan penurunan permintaan terhadap bahan bakar fosil, yang dapat mempengaruhi pendapatan negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor minyak dan gas.
Dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu lingkungan dan perubahan iklim, banyak negara telah meningkatkan investasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Hal ini telah menyebabkan peningkatan dalam kapasitas energi terbarukan di seluruh dunia dan berpotensi mengurangi ketergantungan pada minyak dan gas.
Negara-negara produsen minyak , energi kotor ini telah merespons dengan berbagai strategi, termasuk diversifikasi ekonomi mereka dan meningkatkan investasi dalam energi terbarukan serta teknologi lainnya. Meskipun demikian, pergeseran ini masih menjadi tantangan bagi ekonomi mereka, karena mereka bergantung pada pendapatan dari ekspor bahan bakar fosil untuk mendanai anggaran negara mereka dan membiayai proyek-proyek pembangunan
Komentar