Terbitkan Artikel, Allan Nairn Sebut Prabowo Ancam Demokrasi Indonesia
Terbitkan Artikel, Allan Nairn Sebut Prabowo Ancam Demokrasi Indonesia. (Kolase dari berbagai sumber).
Jakarta, law-justice.co - Seorang wartawan investigasi senior dari Amerika Serikat, Allan Nairn menyebut bahwa Prabowo Subianto akan membawa Indonesia menuju rezim diktator fasis jika terpilih menjadi Presiden RI pada pemilu 14 Februari mendatang.
Pernyataan itu dia sampaikan dalam tulisannya di The Intercept berjudul `Indonesia State Apparatus Is Preparing to Throw Election to a Notorious Massacre General` yang diterbitkan menjelang hari tenang, Sabtu, 10 Februari 2024.
Awalnya dia memulai tulisannya dengan mengingatkan tentang sejarah kelam Indonesia sebelum reformasi.
"Indonesia, yang telah menyaksikan dua pembantaian besar di abad ke-20, mungkin akan kembali ke pemerintahan militer di bawah jenderal yang paling terkenal," ujarnya.
Nairn dengan tegas menyebutkan bahwa Jenderal Prabowo Subianto, yang telah lama dibina oleh AS, terlibat dalam berbagai pembantaian terhadap sipil.
"Pada tahun 2001, saya bertemu dan mewawancarai Prabowo sebanyak dua kali, membahas tentang pembantaian yang dilakukan oleh tentara, termasuk satu insiden di Dili, Timor Timur, yang saya sendiri berhasil selamat," tulisnya.
Menurutnya, saat itu Prabowo mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk demokrasi dan masih memerlukan sebuah rezim otoriter yang lembut.
"Prabowo menyatakan dukungannya untuk pemerintahan militer. Ia memuji kudeta di Pakistan dan merenungkan kemungkinan melakukan langkah serupa di Indonesia," lanjutnya.
Nairn juga menyebut bahwa Prabowo pernah mencoba melakukan kudeta dan telah gagal dua kali dalam pemilihan Presiden.
Namun, menurut Nairn, Pemilu 2024 ini berbeda karena Prabowo mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kekuatan besar lainnya untuk memenangkan pemilu tersebut.
"Kekuatan aparatur negara berperan penting dalam kampanye. Pejabat lokal diancam akan dituntut jika mereka tidak mendukung jenderal tersebut. Di seluruh negara, tentara dan polisi menginstruksikan masyarakat untuk memilih Prabowo," jelasnya.
Melalui apa yang disebut Nairn sebagai `topeng` bantuan sosial, Jokowi menyebarkan beras dan minyak goreng bertanda Prabowo ke seluruh negeri.
"Pada sebuah pertemuan internal Rabu lalu, pejabat militer dan intelijen membahas rencana penggunaan aparatur negara untuk melakukan kecurangan pemilu, menurut dua sumber yang mengetahui rencana tersebut," kata Nairn.
Dalam skema tersebut, polisi dan Babinsa akan dilibatkan sebagai mata dan telinga.
Mereka juga akan melibatkan tentara untuk menerima dan mendistribusikan uang, memperbaiki lembaran tabulasi di tingkat lokal, serta melakukan kecurangan dengan memanipulasi entri data komputer di tingkat distrik dan kabupaten, termasuk kemungkinan meretas sistem internal Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Pejabat kampanye di masa lalu telah membual kepada saya tentang menggunakan taktik seperti itu di tingkat lokal. Penerapannya di tingkat nasional oleh negara dapat sangat membantu dalam menyerahkan demokrasi Indonesia, sekali lagi, ke tangan pemerintahan tirani," jelasnya.
Selanjutnya, Nairn mengungkap sisi gelap Prabowo dalam hubungannya dengan Presiden Soeharto dan AS. Disebutkan bahwa Prabowo berasal dari keluarga perbankan kaya, memiliki ratusan ribu hektare lahan perkebunan, pertambangan, dan properti industri. Ia juga merupakan menantu dari Soeharto.
"Jenderal Soeharto, yang didukung oleh AS, memerintah Indonesia selama 32 tahun. Soeharto mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 1965, menggulingkan Soekarno, presiden sipil pendiri negara tersebut," paparnya.
Nairn mengeklaim, dengan bantuan dari CIA yang menyediakan daftar kematian sebanyak 5.000 nama, Soeharto membunuh antara 400 ribu hingga satu juta warga sipil Indonesia.
Pada tahun 1975, setelah bertemu dengan Presiden AS Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, Soeharto menyerang Timor Timur. Dalam insiden tersebut, Nairn menyebutkan, tentara Indonesia membunuh sepertiga dari populasi Timor Timur.
"Prabowo, sebagai menantu Soeharto, merupakan komandan senior dalam pembantaian di Timor Timur. Dalam satu kasus, di Kraras, pada tahun 1983 di Gunung Bibileo, ratusan warga sipil dibunuh," terangnya.
“Tidak hanya itu, Prabowo juga secara pribadi menyiksa tahanan. Seseorang pernah menceritakan kepada saya tentang Prabowo yang mematahkan giginya. Prabowo menggambarkan dirinya sebagai `anak laki-laki Amerika yang berambut pirang`," ungkapnya.
Prabowo menerima pelatihan dari AS di Fort Benning di Georgia dan Fort Bragg di North Carolina (sekarang dikenal sebagai Fort Moore dan Fort Liberty).
"Prabowo secara rinci berbicara kepada saya tentang kerja samanya dengan Pentagon, termasuk dengan Badan Intelijen Pertahanan, yang menurutnya, ia melaporkan setidaknya setiap minggu," tegasnya.
Akan tetapi, menurut Nairn, gambaran negatif tentang Prabowo dalam Pemilu 2024 ini telah coba dihilangkan dengan kampanyenya yang menarik perhatian.
Untuk diketahui, Allan Nairn pernah melakukan investigasi terhadap operasi militer di Timor Leste. Saat itu, 12 November 1991, ia bersama rekannya, Amy Goodman, juga sempat dipukuli oleh oknum anggota ABRI setelah mereka menyaksikan pembunuhan massal demonstran Timor yang dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz.
Menyaksikan peristiwa itu, Nairn yang juga seorang aktivis HAM mengaku pernah melobi Kongres AS agar dukungan kemiliteran dari AS untuk Indonesia harus dihentikan.
Tidak hanya di Indonesia, Nairn juga pernah melakukan investigasi terhadap praktik kejahatan HAM di sejumlah negara, seperti Guatemala, Honduras, El Savador, dan Nicaragua.
Di Indonesia sendiri, Nairn juga kerap menyuarakan keadilan HAM yang harapannya dapat menyeret para aktor yang terlibat ke pengadilan.
Indonesia adalah negara besar, apa yang terjadi di sini selalu dalam pengamatan dunia luar. Mereka mungkin melihat beberapa tahun terakhir demokrasi Indonesia goyah dengan banyaknya cara non-demokratis.
Bagi William `Bill` Liddle, profesor emeritus Ilmu Politik Ohio State University, AS, Indonesianis yang puluhan tahun hidup di Indonesia dan menjadi guru banyak cendikiawan di sini, masa kepemimpinan Jokowi justru menyeret balik (setback) Indonesia ke era-era kelam zaman Orde Baru.
"Serentetan tindakan antidemokratis terus terjadi," tulis Prof Liddle dalam artikelnya yang berjudul `Jangan Merusak Demokrasi` yang terbit di harian Kompas edisi Jumat, 26 Januari 2024 lalu.
Dengan jejak itu, mereka melihat kemungkinan robohnya demokrasi di Indonesia sekaligus munculnya penguasa otoritarian baru.
Komentar