Radhar Tribaskoro, Pengamat Politik
Dilema Pilpres dan Chaos
Ilustrasi Pilpres Satu Putaran (Tv One)
Jakarta, law-justice.co - Masalahnya kecurangan itu telah, masih dan akan terjadi. Ketika Prabowo-Gibran menang satu putaran atau masuk ke putaran kedua, di tengah kecurangan, apakah rakyat bisa menerima?
Kecurangan yang dimaksud bukan kecurangan dalam penghitungan suara saja. Kecurangan yang lebih substansial adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat negara. UUD 1945 dan berbagai undang-undang mewajibkan aparat untuk netral. Namun Presiden Jokowi sebagai pimpinan tertinggi mengatakan bahwa ia akan memihak dan berkampanye untuk capres yang didukungnya.Secara diam-diam ia meminta menteri-menterinya untuk menambah suara, polisi diperintahkan untuk menakut-nakuti dan menggalang suara, ia juga melipatkan anggaran bansos dan membagikannya sendiri.
Semua kecurangan rejim Jokowi itu telah terekam secara digital di podcast Bocor Alus dan berbagai media sosial. Apa yang akan terjadi bila pasangan Prabowo-Gibran menang satu putaran atau maju ke putaran kedua? Apakah rakyat bisa menerima?Namun, dalam situasi sekarang saya tidak percaya bahwa dilema pilpres bisa diselesaikan dengan moral. Ada dua alasan, pertama figur kepala negara sebagai simbol persatuan dan moral sudah tidak ada. Jokowi selama hampir satu dekade selalu menjalankan maunya sendiri, ia tidak pernah mau mendengar aspirasi rakyatnya. Kedua, rejim penguasa saat ini sangat tidak menghargai moral. Percuma bicara moral dengan mereka.
Apakah bisa diselesaikan dengan kompromi politik? Rakyat pasti tidak bisa menerima sebuah kompromi politik dimana Jokowi dan Prabowo, dua pelaku kecurangan, tetap berkuasa. Kompromi semacam itu akan dianggap mengkhianati republik dan demokrasi.Kemungkinan ketiga adalah penyelesaian melalui panggung DPR. Masalahnya DPR selama ini dianggap telah menjadi budak rejim Jokowi. Rakyat akan sulit percaya lembaga tersebut dapat memberikan putusan yang adil.Bila ketiga cara di atas tidak dimungkinkan, maka jalan terakhir adalah street showdown. Seperti terjadi 1966 dan 1998, chaos menyeruak. Kalau hal itu terjadi, tidak ada yang dapat mengalahkan rakyat.
Komentar