Skor HAM Rezim Jokowi Menurun, Ruang Sipil Berekspresi Dibatasi

Minggu, 10/12/2023 21:43 WIB
Aksi warga Air Bangis, Pasaman Barat minta hentikan Proyek Strategis Nasional. (Singgalang)

Aksi warga Air Bangis, Pasaman Barat minta hentikan Proyek Strategis Nasional. (Singgalang)

Jakarta, law-justice.co - Skor HAM di Indonesia pada tahun 2023 ini menurun menjadi 3,2. Adapun tahun sebelumnya berada di skor 3,3. Penilaian ini berdasarkan hasil survei Setara Institute dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID). Survei dua LSM ini dilakukan guna merefleksi realitas HAM selama masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

"Jadi terkait dengan indeks HAM ini, sebetulnya kalau boleh kami menyebutkan, memang dari tahun ke tahun trennya itu memang selalu hampir jarang kemudian mencapai angka moderat," kata peneliti hukum dan Konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah dalam paparannya di Jakarta Pusat, Minggu (10/12/2023).

"Kalau misalkan tadi Bang Halili menyebutkan angka, kita menggunakan skala 1-7 yang mana berarti kita bisa katakan bahwa skor moderatnya adalah 3,5 ke atas. Nah di dalam temuan indeks HAM kami itu, kami selalu menemukan bahwa angka itu tidak mencapai angka moderat," tambahnya.

Sayyidatul mengatakan menjelang 1 tahun berakhirnya kepemimpinan Jokowi, skor itu tak mencapai skor moderat. Yakni 3,2 dari skor moderat 3,5.

"Dan bahkan termasuk di tahun ini yang menjelang 1 tahun Pemerintahan Jokowi itu ternyata angka yang kami dapatkan itu adalah hanya berada pada angka 3,2 yang mana itu masih di bawah angka moderat 3,5," jelasnya.

Sayyidatul mengatakan skor 3,2 lebih banyak dikontribusi oleh pemenuhan-pemenuhan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) yang dilakukan oleh Presiden dibandingkan variabel Hak Sipil dan Politik (Sipol).

"Kita bisa memotret dengan berbagai peristiwa-peristiwa terutama mungkin satu hal yang bisa kita highlight. Bagaimana pengkerdilan ruang-ruang sipil yang terjadi sepanjang rezim Pemerintahan Jokowi itu kemudian mempengaruhi pencapaian terkait dengan Hak Sipol yang bahkan selalu jauh di bawah angka moderat dan selalu di bawah Hak Ekosob. Walaupun sebetulnya dengan terkait catatan hak Ekosob itu juga masih menuai beberapa catatan-catatan kritis," tuturnya.

Sayyidatul menjelaskan satu hal yang menarik dalam 6 indikator Hak Sipol yakni kebebasan berekspresi pendapat tidak pernah mencapai angka 2. Jika dibandingkan dengan periode awal Jokowi, skor itu hanya mencapai 1,9.

"Angka itu kemudian selalu turun secara terus menerus pada tahun ini hasil penelitian. Kami menemukan bahwa skor untuk berekspresi dan berpendapat hanya berada pada 1,3 dan itu sangat jauh dengan perbandingan dengan hak-hak sub indikator lainnya," jelasnya.

Lalu, terkait Hak Ekosob, Sayyidatul mengatakan pihaknya mengapresiasi cara kerja pemerintah untuk melakukan pemenuhan secara progresif terkait hal itu. Namun, soal hak atas tanah jika dibandingkan dengan Hak Ekosob lainnya juga tidak mencapai skor 2 yakni 1,9.

"Kemudian 1 hal menarik juga, terkait dengan Ekosob terkait dengan hak atas tanah, jadi mungkin kalau misalkan sebelumnya kita juga ada beberapa hal-hal yang kita apresiasi bagaimana dari cara kerja pemerintah. Untuk kemudian mencoba untuk melakukan pemenuhan secara progresif terkait dengan Hak Ekosob," jelasnya.

"Tapi di tahun ini kita melihat ada 1 hak yaitu hak atas tanah yang bahkan angkanya juga kalau misalkan kita coba bandingkan dengan beberapa tahun itu sangat menurun dan di tahun ini bahkan angkanya tidak mencapai 2 yaitu 1,9. Jadi hak yang paling rendah di antara hak pemenuhan Ekosob lainnya," lanjutnya.

Adapun dalam kajian lain, semisal Amnesty International Indonesia, pelanggaran HAM semasa rezim Jokowi dipicu adanya pembangunan ekonomi. Masyarakat adat dan komunitas lokal digusur demi pemenuhan kepentingan investasi. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam urusan publik sengaja dibungkam demi kebijakan percepatan investasi. 

Contoh kasus bisa dilihat konflik yang terjadi dalam rentang waktu 31 Juli hingga 5 Agustus 2023 lallu. Sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumatra Barat. Mereka menolak rencana PSN kilang minyak dan petrokimia dengan luas konsesi 30.000 hektar karena menyerobot lahan yang dikelola warga. Namun aksi protes itu ditanggapi secara represif dengan pengerahan kekuatan oleh aparat keamanan yang memulangkan secara paksa para pemrotes, disertai penangkapan atas 18 orang warga, mahasiswa, dan aktivis serta intimidasi dan kekerasan atas sedikitnya empat jurnalis peliput aksi.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar