Radhar Tribaskoro, Dewan Pembina Front Pergerakan Nasional dan Kita Anies
Ketika Iriana dan Gibran dalam Permainan Catur Jokowi
Jokowi dan Putra Sulungnya Gibran Rakabuming Raka (Demokrasi)
Jakarta, law-justice.co - Dalam beberapa kesempatan Tempo, baik majalah maupun podcastnya (Bocor Alus) melemparkan isu bahwa istri Presiden Joko Widodo, Iriana, adalah figur utama dibalik munculnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Bocor Alus menceritakan bagaimana Iriana menggunakan senjata “perempuan” untuk memaksa Jokowi meloloskan keinginannya itu. Iriana, katanya, menolak melayani suaminya. Ia memaksa Jokowi tidur di sofa dan menghindari sang suami dengan “melarikan diri” ke rumah anak perempuannya di Medan.
Terpilihnya Gibran menjadi cawapres dikatakan sebagai semata-mata hasil kemauan keras Ibu Suri. Betulkah demikian?
Berikut ini saya akan menjelaskan bahwa framing Iriana itu adalah keliru besar. Iriana tidak lepas dari skenario besar suaminya. Artinya, menjadikan Gibran sebagai cawapres adalah keinginan Jokowi sendiri. Ia menggunakan Iriana sebagai pion skenario politiknya agar terbebas dari tuduhan cawe-cawe dalam pemilu presiden.
Skenario Jokowi
Apakah skenario besar Jokowi pasca-2024? Rencana besar itu adalah mempertahankan keberadaan klan Jokowi secara permanen dalam jagad politik Indonesia. Terkait dengan skenario itu Jokowi ingin semua potensi kesalahan dan tindak kejahatan yang melibatkan klan dan anggota rezimnya ditutup.
Selain itu semua projek yang telah ia inisiasi, seperti IKN, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi, dapat dilanjutkan. Jokowi beranggapan bahwa semua perojek-projek itu tinggal menunggu hasil. Jokowi berharap dengan semua hasil itu namanya dan klannya akan terangkat.
Untuk apa Jokowi membangun klan politiknya sendiri? Pada deduksi tingkat pertama kita menduga bahwa Jokowi saat ini mewakili suatu kelompok sosial yang belum direpresentasikan oleh sistem politik yang ada.
Kelompok sosial itu mungkin anak-keturunan PKI, kelompok minoritas etnis seperti suku Kalang dari subkultur Jawa, pemeluk agama non-Islam yang merasa terancam oleh sebutan kafir, kelompok minoritas relijius seperti Ahmadiyah dan Syiah yang bahkan tidak diakui keIslamannya.
Kelompok-kelompok sosial di atas menunjukkan dukungannya kepada Jokowi terlepas dari keberadaannya di PDI Perjuangan. Jokowi merasa bahwa peran politiknya tidak lagi tergantung kepada PDIP. Jokowi bersiap, kalau PDIP tidak dapat ia manfaatkan maka ia tidak ragu memisahkan diri. Jokowi tahu pada akhirnya ia akan berhadapan dengan Megawati.
Pada mulanya Megawati tidak berkeberatan membesarkan karir Jokowi. Melalui restunya Jokowi berhasil menjadi walikota Solo dua periode, memenangkan pilgub Jakarta dan akhirnya menjadi presiden RI dua periode. Namun Megawati mulai curiga ketika Jokowi memberitahukan niatnya untuk menjadi presiden 3 periode.
Kecurigaan tersebut muncul dari alasan Jokowi, bahwa presiden 3 periode dibutuhkan agar ia bisa mengklaim keberhasilan projek-projek yang telah ia mulai.
Kenapa begitu, bukankah kerja pemerintahan adalah kerja kolektif (partai)? Kenapa harus Jokowi sendiri yang mengklaim keberhasilannya? Jokowi dicurigai mau mengabaikan peran partai yang selama ini membesarkan dirinya.
Partai PDIP tidak menyadari bahwa selama 9 tahun terakhir Jokowi telah memupuk modal politik sangat besar dari personality politics yang dibangun untuk dirinya.
Personality politics merujuk kepada fenomena dimana karakteristik pribadi, citra dan kepribadian seorang politisi menjadi lebih penting daripada kebijakan dan ideologi yang mereka wakili (Lobo dan Curtis, 2014). Dalam era media sosial dan komunikasi masif, personality politics semakin menonjol karena fokusnya pada citra individu daripada substansi politik.
Aspek penting dari personality politics adalah cara pemimpin politik memanfaatkan citra pribadi mereka untuk memengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan. Ini sering terjadi di banyak sistem demokrasi di mana kampanye pemilihan umum dan diskursus politik sangat berfokus pada individu daripada partai atau program.
Singkatnya, _personality politics_ telah menjadikan pemerintahan di era Jokowi menjadi pemerintahan yang personal. Semua berkenaan dengan Jokowi. Apapun yang baik adalah karena Jokowi; apapun yang buruk pasti bukan karena Jokowi.
Megawati sudah menyadari kecenderungan itu sejak lama. Itu sebabnya ia mengatakan Jokowi adalah “petugas partai”. Megawati di sini tidak bermaksud menghina Presiden, ia hanya ingin menekankan bahwa Jokowi mewakili kebijakan dan ideologi partainya.
Kita tidak lupa Megawati pernah memvisualisasikan “petugas partai” itu dengan memperlihatkan Jokowi duduk menghadap dirinya dalam sebuah setting seperti “warga menghadap lurah”. Sekali lagi, saya tidak melihat Megawati sedang merendahkan kedudukan seorang presiden. Ia bermaksud mengingatkan keterikatan Jokowi dengan partainya.
Namun, keadaan justru dibalik. Buzzer-buzzer Jokowi berlomba membully Megawati, menuduhnya telah merendahkan presiden. Personality politics Jokowi malah meningkat karenanya.
Indikasi atas personality politics dapat dilihat dari serangkaian survey yang membuat kesimpulan kontradiktif: kepuasan rakyat kepada Jokowi tinggi padahal kondisi negara semakin hari semakin buruk. Kepuasan publik itu ternyata hanya didukung oleh pencitraan atau mitos-mitos yang dibangun Jokowi selama ini.
Okki Madasari, novelis dan pengajar UGM, membongkar mitos-mitos itu, antara lain bahwa Jokowi adalah orang baik. Karena itu tidak mungkin Jokowi salah dan korup. Kalau pemerintah ada kesalahan dan korupsi maka itu adalah perbuatan orang-orang di luar Jokowi.
Fenomena personality politics itu secara langsung dan tidak langsung telah memberi modal politik yang sangat besar kepada Jokowi.
Sayangnya, bagi Jokowi modal politik tersebut masih bersifat virtual karena diciptakan oleh iklan dan kampanye komunikasi. Modal itu menjadi kongkrit hanya bila projek-projek yang ia inisiasi berhasil. Itu sebabnya ia sangat bernafsu mengendalikan pemerintahan pasca-pilpres 2024.
Gibran Bidak Promosi
Pada mulanya Jokowi ingin mewujudkan keinginannya itu melalui PDI Perjuangan. Ia menggunakan Ganjar Pranowo sebagai Kuda Troya. Ketika PDIP mengusung Ganjar sebagai capres maka dari perut Kuda Troya akan keluar relawan-relawan Jokowi untuk mendominasi. Kemenangan Ganjar dalam pilpres kemudian akan ia manfaatkan untuk menaklukan sang Banteng.
Sayangnya, Megawati mengetahui siasat itu, ia mengambil Ganjar si Kuda Troya untuk menjadi caprea PDIP, tetapi ia membuang semua isi perutnya. Megawati menolak semua relawan Jokowi yang ingin menguasai Tim Pemenangan Nasional Ganjar. TPN berada sepenuhnya dalam kendali partai.
Tanpa kehadiran relawan-relawannya Jokowi tidak bisa mengendalikan capres dan cawapres. Sekalipun menang pasangan itu akan berada di bawah kendali PDIP, bukan dirinya. Inilah alasan Jokowi meninggalkan Ganjar. Ia tidak bisa menggunakan Ganjar sebagai alat untuk memperbesar kekuatan politiknya di masa depan.
Tetapi siapa pengganti capres yang bisa ia tunggangi? Opsi terbuka bagi Jokowi hanya Prabowo. Ketua Partai Gerindra itu sangat memahami keadaan Jokowi. Ia pun mengajukan diri lengkap dengan “proposal yang tidak mungkin ditolak”.
Prabowo sanggup “melanjutkan” (dalam pengertian menutup semua kasus kriminal yang dilakukan klan Jokowi dan anggota-anggota rezimnya) paradigma politik ekonomi dengan segala proyeknya. Prabowo bahkan menawarkan jabatan Ketua Umum Partai Gerindra kepada Jokowi. Apakah itu cukup?
Prabowo adalah musuh Jokowi yang telah ia kalahkan dua kali. Betapapun Prabowo telah menunjukkan dukungannya atas apapun kebijakan Jokowi, Jokowi tetap tidak bisa mempercayai Prabowo 100%.
Menyadari hal itu Prabowo mengajukan lagi penawaran yang akan membuat Jokowi kehabisan liurnya. Prabowo menawari Gibran, putra sulung Jokoei, kursi cawapres. Dengan tawaran itu lingkaran rencana besar Jokowi bulat sudah. Di papan caturnya, Jokowi berbasil meletakkan Gibran di kotak promosi.
Iriana Bidak Pengorbanan
Sebelum menjadi Ibu Negara, Iriana adalah Ibu anak-anaknya dan istri Jokowi. Selama sembilan tahun menjadi Ibu Negara Iriana tidak pernah menyentuh persoalan sosial, apalagi politik. Ia adalah Ibu sederhana yang fokus kepada kewajibannya dalam keluarga.
Ia bukan Ibu Negara dalam pengertian sesungguhnya. Ia berbeda dari Ibu Tien yang mempelopori dan mengawal Keppres 10, membangun Taman Mini Indonesia Indah dan Taman Buah Mekarsari. Ia juga bukan Ibu Ani yang mendirikan Partai Demokrat, menginisiasi dan mengawal program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat dan Indonesia Hijau.
Maka sungguh tidak biasa bila tiba-tiba Iriana punya agenda politik menjadikan anaknya Gibran sebagai cawapres.
Kalau hal itu benar, Iriana telah menimbulkan resiko yang sangat besar bagi suami dan anak-anaknya yaitu kemarahan rakyat yang menuduh Jokowi memperkuat politik dinasti dan menghancurkan demokrasi. Kemarahan rakyat ini berdampak luas kepada keamanan seluruh keluarga. Itu jelas bukan hal yang diinginkan Iriana.
Setiap Ibu pada umumnya, termasuk Iriana, menginginkan suami dan anak-anaknya hidup tenang dan damai. Iriana hanya akan memaksa Gibran menjadi cawapres bila ada jaminan keamanan bagi putranya pasca-pilpres, menang atau kalah. Lantas, siapa yang memberikan jaminan keamanan itu?
Hanya Jokowi sendiri, menurut saya, yang bisa menjamin keamanan itu kepada Iriana. Jokowi bagaikan Marquise de Merteuil dari Dangerous Liaison yang menanamkan bibit kerakusan kuasa ke dalam pikiran Vicomte de Valmont.
Bibit itu kemudian malah membunuh Valmont dan orang yang ia cintai. Iriana tidak lain hanyalah bidak yang dikorbankan untuk memperkuat mitos “Jokowi orang baik”.
Komentar