Salamudin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Sampai Di Mana Proses Pertamina Transisi Energi?

Senin, 27/11/2023 19:05 WIB
Ilustrasi: Gedung Kantor Pusat Pertamina di Jakarta. (Beritacenter)

Ilustrasi: Gedung Kantor Pusat Pertamina di Jakarta. (Beritacenter)

Jakarta, law-justice.co - Tantangan paling berat bagi Pertamina sekarang adalah transisi energi. Perusahaan minyak terbesar di tanah air yang memegang kendali pasokan energi nasional itu, harus mengejar net zero emission (NZE).

Bagaimana caranya? Sementara ini adalah perusahaan yang menjual, mendistribusikan, serta mendapat uang dari menjual bahan bakar fosil?

Tidak hanya Pertamina, National Oil Companies (NOC) juga mengalami tekanan. Memang di dunia model bisnis tradisional para pelaku migas sedang mengalami tekanan dan guncangan. Secara umum berbagai usaha dilakukan dengan berinvestasi dalam rantai nilai energi berkelanjutan dapat memberikan peluang untuk melakukan diversifikasi energi.

Sementara perusahaan-perusahaan minyak dan gas, yang produk-produknya berbahan dasar fosil dan telah lama menjadi bagian integral dalam sektor pasokan energi, memiliki kendala yang lebih besar karena sumber daya mereka, lingkungan keuangan dan jaringan lainnya.

Publik sangat tergantung pada perusahaan minyak. Sementara bagi perusahaan minyak transisi energi seperti tulang pinggang. Mereka bisa saja lumpuh karena transisi energi karena ekosistem mereka tidak mendukung.

Pada tingkat target pengurangan karbon yang semakin ketat sekarang ini, akan mempengaruhi keputusan investasi. Bagaimana mendukung kegiatan seperti pembangkit listrik lepas pantai, pengisian kendaraan listrik (EV), serta produksi dan pengembangan hidrogen dengan sumber daya yang tidak banyak dikuasai oleh NOC?

Meskipun demikian, minyak dan perusahaan gas masih mempunyai posisi yang baik untuk memainkan peran penting dalam transisi dengan cara membangun rantai nilai energi berkelanjutan. Strateginya mencakup pengembangan model bisnis yang berpusat pada pelanggan sebagai inti, peningkatan manajemen energi dan praktik paparan risiko, diversifikasi portofolio energi, serta upaya mencapai keunggulan modal dan kemampuan proyek.

Ukuran Utama adalah Investasi Energi Baru?

Belakangan ini perusahaan-perusahaan minyak dan gas besar yang paling banyak berinvestasi di pasar rendah karbon belum mendapatkan manfaat dari peningkatan signifikan dalam penilaian perusahaan.

Fakta menunjukkan bahwa keuntungan bagi beberapa perusahaan terkemuka mulai terwujud ketika lebih dari 40 persen total portofolionya adalah rendah karbon, sementara perusahaan minyak dan gas terkemuka biasanya mengalokasikan kurang dari 25 persen investasi baru mereka pada energi baru.

Salah satu NOC terbesar di dunia baru-baru ini mengumumkan target emisi nol bersih pada tahun 2050 serta investasi signifikan pada energi terbarukan. Pihak lain telah berkomitmen untuk menginvestasikan miliaran dolar selama beberapa tahun ke depan untuk membangun bisnis energi terbarukan dan meluncurkan dana sekitar 500 juta dolar AS untuk berinvestasi dalam efisiensi energi dan solusi energi terbarukan.

PT Pertamina (Persero) bersiap menjadi `panglima` atau yang terdepan dalam mendukung transisi energi di Indonesia menuju netral karbon atau net zero emission (NZE) hingga tahun 2060. Untuk transisi energi ini Pertamina menyiapkan alokasi anggaran sebesar 150 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.322 triliun (asumsi kurs Rp 15.490 per dolar AS). Ini disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tahun lalu.

Investasi besar harus dilakukan Pertamina menghadapi tekanan publik atas polusi di perkotaan. Dalam kasus Jakarta, ibu kota negara Indonesia, polusi PM2.5 telah berada pada level membahayakan. Sektor transportasi telah disimpulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai kontributor utama polusi dan membutuhkan solusi mendesak.

Gambaran umum dari perusahaan energi fosil masih sangat lamban dalam investasi EBT. Perusahaan-perusahaan minyak dan gas saat ini hanya menyumbang 1 persen dari investasi energi ramah lingkungan secara global, di mana 60 persen dari jumlah tersebut berasal dari empat perusahaan saja.

Diversifikasi Bisnis

NOC di berbagai belahan dunia melakukan diversifikasi bisnis untuk mengejar target NZE dari negaranya. Investasi tersebut dilakukan pada sektor produksi energi, usaha usaha distribusi energi dan produksi barang yang mengkonsumsi energi energi baru.

Dalam hal ini, para pemain minyak dan gas dapat menawarkan proposisi nilai yang berbeda dalam bidang transisi energi di antaranya:

-Pengembangan proyek lepas pantai. Pemain minyak dan gas dengan pengalaman luas dalam proyek skala besar dapat mengembangkan dan membangun proyek terintegrasi, termasuk pembangkitan energi terbarukan serta produksi hidrogen dan heating.

Selain itu, beberapa penawar proyek memberikan penawaran yang mencakup investasi oil heating dan hidrogen. Produksi dan transportasi hidrogen.

- Perusahaan minyak dan gas seringkali memiliki sejarah panjang dengan produksi hidrogen dalam proses penyulingan dan kimianya.

Selain itu, kemampuan yang ada dalam penyimpanan dan transportasi gas relevan untuk produksi dan transportasi hidrogen karena kesamaan kimianya; baik gas maupun hidrogen adalah gas yang mudah terbakar sehingga perlu dijaga tekanannya dan dikelola dengan hati-hati.

- Menjalankan bisnis pengisian daya listrik. Para pemain di seluruh rantai nilai, termasuk pengecer, pengilangan, dan produsen, dapat memanfaatkan merek, hubungan dengan pelanggan, real estate, dan stasiun bahan bakar mereka di dekat jalan raya untuk memberikan layanan pengisian cepat untuk kendaraan listrik.

- Solusi dekarbonisasi. Tekanan terhadap perusahaan minyak dan gas untuk melakukan dekarbonisasi telah mendorong mereka untuk mengembangkan solusi teknis dan pengetahuan yang relevan dengan industri lain.

Perusahaan minyak dan gas dapat memanfaatkan hal ini untuk menawarkan solusi dekarbonisasi, termasuk pembangkitan energi terbarukan, ritel energi, baterai, dan penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS).

Dan karena industri ini saat ini bergantung pada bahan bakar fosil dan memiliki hubungan jangka panjang dengan para pemasok, para perwakilannya juga ikut serta dalam merancang jalur transisi.

Delapan Program Transisi Energi Pertamina

Pertamina telah mengumumkan 8 (delapan) program utama untuk transisi energi yakni diantaranya dua yang paling mengemuka dalam industri pengolahan yakni memproduksi bio energy dan gasifikasi batubara.

Pertamina memproduksi B20 yakni mencampur minyak sawit dengan solar. Program ini akan berlanjut hingga B100. Sementara program gasifikasi batubara untuk menghasilkan pengganti LPG sampai sekarang masih berlanjut, namun tidak ada laporan tentang itu.

Sayangnya dua proyek ini yakni solarisasi sawit dan gasifikasi batubara menghadapi kontroversi karena ditolak oleh komunitas Uni Eropa karena berkaitan dengan deforestasi.

Ada juga penolakan publik nasional karena bahan makanan, yakni sawit diubah menjadi bahan bakar sementara rakyat masih kekurangan dan minyak goreng masih mahal.

Di bidang pengolahan juga rencana membangum green revinary dan pabrik hidrogen. Untuk green refinery belum diketahui akan mengolah sumber terbaharukan atau nabati apa?

Kemungkinan besar adalah bio ethanol. Sekarang pertamina sudah mencoba menjual bensin campur etanol. Sementara pabrik hidrogen belum ada laporan akan dibangun di mana dan berapa investasinya.

Program yang telah berjalan meninggalkan yang lain adalah geothermal. Ini telah lama menjadi bisnis Pertamina sebelum heboh isu transisi energi. Pertamina geothermal sebagian saham sahamnya telah dimiliki publik, dan perusahaan ini sekarang aktif memobilisasi utang untuk ekspansi dalam rangka eksplorasi dan produksi panas bumi.

Proyek cukup ambisius adalah melalui PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power & New Renewable Energy Pertamina (PNRE). Dalam keterangan pers membeberkan bahwa perusahaan akan menyiapkan investasi hingga 5 miliar dolar AS atau setara Rp 75 triliun untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Direktur Utama PNRE Dannif Danusaputro mengatakan, investasi tersebut terutama untuk menyiapkan infrastruktur pengisian tenaga baterai kendaraan listrik senilai 3 billion dolar AS hingga 5 billion dolar AS (CNBC, 2/8/2023).

Digitalisasi dan Transparansi Energi Baru adalah Kunci

Walaupun terdengar banyak usaha yang telah dilakukan namun tampaknya langkah langkah yang dilakukan masih parsial. Tidak ada integrasi dari segenap lini bisnis pertamina mulai dari hulu sampai ke hilir untuk menggabungkan pencapaian mereka dalam transisi energi.

Padahal kekuatan digitalisasi menjadi tools utama ke depan untuk menjalankan transisi energi. Mengapa? Karena investasi di masa mendatang, produk perusahaan, belanja perusahaan, hingga perhitungan emisi, perpajakan karbon dan keuangan karbon akan berlangsung secara digital.

Transisi energi bukan tempat bersembunyi, tapi ruang terbuka yang seluruh masyarakat dunia mengetahuinya.

Program digitalisasi Pertamina harus bergerak lebih jauh bukan lagi soal bisnis fosil tetapi ke dalam digitalisasi transisi energi, digitalisasi investasi, digitalisasi proyek proyek dan digitalisasi perdagangan emisi.

Ini akan membuka ruang partisipasi publik untuk terlibat menginvestasikan sumber daya ekonomi mereka dalam agenda ini.

Transisi energi adalah agenda yang hanya akan dijalankan dengan cara inclusive, bukan mainan mega proyek yang selama ini hanya menjadi makanan segelintir oligarki.

Transisi energi mengarusutamakan masyarakat yang untuk terlibat berada dalam rantai transisi energi baru terbaharukan untuk bersama sama memperbaiki lingkungan hidup.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar