Korupsi di Perguruan Tinggi, Transparansi Jadi Penyebab

Universitas Udayana Denpasar, Bali (Foto: Infokampus.news)
Jakarta, law-justice.co - Peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina menyoroti transparansi perguruan tinggi negeri (PTN) yang hingga kini masih menjadi celah terjadinya praktik korupsi. Ia menekankan ada tiga pola modus praktik korupsi di PTN, yakni pengadaan barang dan jasa, penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri dan anggaran.
Dalam hal pengadaan barang dan jasa, kata dia, modus korupsinya serupa dengan korupsi di instansi lain. Yakni permainan antara pihak penyedia dengan pelaksana. “Rawan mulai dari konflik kepentingan, rawan adanya pemberian suap atau gratifikasi. Sudah banyak kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang ditangani misal auditorium, ruang kelas hingga RS kampus,” ujar Almas kepada Law-justice.co
Sedangkan modus korupsi terkait penerimaan mahasiswa baru berkutat pada relasi antara pihak kampus dan calon mahasiswa. Korupsi SPI yang ada di Udayana mengonfirmasi bahwa adanya transaksi gelap untuk meloloskan mahasiswa yang memiliki kekuatan finansial.
“Soal pola, kampus bukan jadi pihak yang pasif dan kemudian menerima suap. Tapi pada posisi aktif juga. karena mereka membuka ruang. Modusnya ada suap, gratifikasi atau hadiah,” kata Almas.
Adapun soal anggaran, ia menekankan, korupsi sudah dirancang sejak perencanaan. Sehingga anggaran bisa digelembungkan. “Misalnya anggaran yang tidak dibutuhkan tapi diadakan,” tuturnya.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan, Ubaid Matarji mengatakan maraknya korupsi di perguruan tinggi negeri merupakan imbas dari regulasi pemerintah yang mengharuskan kampus berbadan hukum. Dalam status demikian, kampus secara otonom mengelola keuangannya dan di sisi lain dapat mencari sumber pendanaan sebanyak mungkin.
“Lalu apakan PTN sudah siap mengelolanya? Kalau belum siap, korbannya adalah mahasiswa yang diperas melalui UKT tinggi, jual beli kursi, pengadaan korupsi PBJ. Ini dampak dari UU PTN. Sehingga membuat PTN ugal-ugalan melakukan pendanaannya sendiri dengan cara melanggar aturan,” kata Ubaid kepada law-justice, Kamis.
Menurutnya regulasi pemerintah soal kampus berbentuk badan hukum ini melahirkan komersialisasi pendidikan. Akses pendidikan dibikin tak mudah dijangkau bagi kelompok ekonomi menengah bawah. Sementara kalangan berduit memiliki keistimewaan.
Celakanya, kata dia, Kemendikbudristek selaku pemangku kepentingan tak cakap mengawasi pengelolaan keuangan PTN. Tidak jelas implementasi regulasi dalam hal pengawasan demi memastikan transparansi.
“Tidak ada mekanisme pengawasan, misal bagaimana peran mahasiswa dalam mengontrol terhadap pendanaan PTN. Misal melalui BEM. Jadi ini kebijakan yang kosong,” katanya.
Kasus Korupsi uang pangkal mahasiswa di Udayana
Pihak rektorat Universitas Udayana butuh waktu lima tahun untuk membuka data pengelolaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) kepada mahasiswa. Dalam rentang 2018-2023, mahasiswa kampus itu pula tak henti mendesak transparansi melalui sejumlah demonstrasi. Tetapi, itikad pihak kampus bukan karena terdesak aksi mahasiswa, melainkan karena sang rektor terjerat korupsi dana SPI.
Awal 2023 ini, rektor Udayana, I Nyoman Gde Antara ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Bali. Ia bersama tiga pelaku lain yang berstatus staf kampus yakni I Ketut Budiartawan, Nyoman Putra Sastra, dan I Made Yusnantara diduga korupsi dana uang pangkal kuliah mahasiswa baru yang masuk melalui jalur seleksi mandiri. Kerugian keuangan negara ditaksir hingga Rp335 miliar. Belakangan, proses hukum sudah memasuki persidangan.
Koordinator analisis pergerakan BEM Udayana, Dimastio mengatakan sebelum pihak kampus membuka data pengelolan dana SPI pada tahun ini, mahasiswa hanya mengandalkan laporan keuangan tahunan. Itu pun tak spesifik menjelaskan pengelolaan pungutan uang pangkal. Dalam penggunaan dananya pun, mahasiswa tak mengetahui apa saja yang telah dilakukan kampus.
“Mahasiswa merasa selama dipungut SPI ini tidak ada pembangunan yang signifikan, baik secara infrastruktur. Di sisi lain mahasiswa mengeluhkan kurangnya fasilitas dan gedung tidak layak. Artinya SPI selama 5 tahun ini jadi pertanyaan, dananya mengalir kemana,” kata Dimastio kepada Law-justice, Kamis (24/11/2023).
Adapun hak perguruan tinggi negeri di lingkungan Kemendikbudristek untuk memungut jenis uang pangkal ini diatur dalam Pasal 8 Permen Ristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek, juga dalam Pasal 10 Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. SPI sendiri termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang alokasi dan proporsinya ditetapkan dengan Keputusan Rektor—yang penggunaan dananya untuk pembangunan infrastruktur kampus.
Kata Dimastio, besaran uang pangkal berbeda setiap tahun dengan nominal variatif per program studi. Besaran uang pangkal yang berubah-ubah ini lah diduga sarat permainan lantaran tidak adanya transparansi kampus ihwal alasan perubahannya. “Dalam aturan seharusnya proporsional nominalnya, mahasiswa yang tidak mampu tidak dibebani SPI dan SPI tidak boleh jadi penentu kelulusan. Tapi, SPI di Udayana tidak proporsional, misal di fakultas besar seperti teknik, ekonomi, kedokteran,” kata Dimas.
Ia mengatakan besaran uang pangkal mahasiswa fakultas kedokteran bisa mencapai Rp1,2 miliar, sementara fakultas hukum di angka Rp15 juta. Dari besaran SPI ini, tak heran pemasukan kampus dari dana ini mencapai ratusan miliar setiap tahunnya. Besaran uang pangkal ditentukan sebelum calon mahasiswa mengikuti seleksi mandiri. Semakin tinggi, semakin besar pula peluang lolos. “Nah di situ potensi titip-menitipnya,” katanya.
Dalam sidang perdana I Nyoman Antara pada Oktober lalu, jaksa mengungkap adanya dugaan kongkalikong untuk meloloskan mahasiswa yang merupakan titipan pejabat kampus hingga pejabat negara. Dalam bukti berupa percakapan WhatsApp, Nyoman Antara kedapatan memberi instruksi kepada Putra Sastra yang berstatus kordinator pengolah data penerimaan mahasiswa baru.
Satu di antara pesannya berbunyi demikian, “Mang ini prioritas 1, klrg senat” “tlg diusahakan sgr”. Lalu, Putra Sastra menjawabnya, “Sudah. Nilainya dibuat tinggi.”
Belakangan, kata Dimas, terungkap ada sejumlah prodi yang sebenarnya tidak dibebankan SPI. Namun selama 5 tahun terakhir justru kampus mewajibkan uang pangkal yang mahal kepada calon mahasiswa. “Dalam SK rektor (yang tidak diwajibkan SPI) ada di FIB sebanyak 6 prodi ditambah 2 prodi di level diploma,” ujar dia.
Dengan segala penyimpangan SPI, Dimas mewanti-wanti bahwa Udayana menyandang predikat Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU). Status demikian seharusnya tidak mewajibkan Udayana memungut dana SPI. Sebab, dana pungutan semcam itu tidak tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51/PMK.05/2015 tentang tarif layanan BLU yang menjadi dasar pendanaan Udayana.
Ia menekankan Udayana masih bisa hidup tanpa bergantung pada dana SPI. Karena pendanaan PTN yang ditujukan untuk peningkatan kualitas dan prestasi mahasiswa juga berasal dari sumber pendanaan lain seperti alokasi dana APBN, Uang Kuliah Tunggal (UKT), kerja sama, hingga pengelolaan aset.
Menurutnya, aktor yang terlibat dalam korupsi ini tidak hanya I Nyoman Antara beserta tiga stafnya. Sebab, adanya pemberlakuan SPI ini bermula dari SK Rektor pada 2018. Saat itu rektor Udayana dijabat oleh A.A Raka Sudewi. Adapun I Nyoman Antara bertugas sebagai Warek yang merangkap ketua panitia penerimaan mahasiswa baru.
Komentar